Hukum Meminta-Minta di Dalam Masjid

Masjid adalah rumah Allah Ta’ala, yang dibangun dengan niat untuk berdzikir, berdoa, dan menegakkan ibadah kepada-Nya. Masjid tidak dibangun sebagai sarana untuk mengumpulkan harta dan perhiasan dunia. Oleh karena itu, aktivitas jual beli, mencari barang hilang di masjid, dan aktivitas sejenis lainnya itu dilarang untuk dilakukan di dalam masjid.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, masjid bukanlah tempat untuk meminta-minta harta. Hal ini ditambah dengan alasan bahwa hal itu bisa mengganggu orang-orang yang sedang shalat dan berdzikir, serta beribadah di masjid.
Hukum meminta-minta

Para ulama ijma’ (sepakat) bahwa meminta-minta itu terlarang jika bukan dalam keadaan darurat. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak ada sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)
Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

“Barangsiapa yang meminta-minta padahal dia tidak fakir, maka seakan-seakan ia memakan bara api.” (HR. Ahmad no. 17508, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At Targhib no. 802)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan ketika beliau menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah”,

مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ

“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika tidak dalam keadaan darurat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 127)

Dari penjelasan di atas, orang yang fakir dan dalam kondisi darurat dibolehkan minta-minta sekadar untuk keluar dari kondisi daruratnya. Dan inilah kondisi yang menjadi pembahasan kita selanjutnya.

Menggalang dana di masjid untuk kemaslahatan kaum muslimin

Larangan meminta-minta yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah jika untuk memperkaya diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi. Kriteria ini jelas sekali disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak harta, sesungguhnya dia telah meminta bara api. Terserah kepadanya, apakah dia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” (HR. Muslim no. 1041)

Adapun penggalangan dana di masjid untuk kemaslahatan masjid, hal ini tidak tergolong meminta-minta yang terlarang. Karena ini termasuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa (saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan). Dan ini juga kondisi yang masuk dalam pembahasan kita selanjutnya.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Kami memiliki kotak infaq untuk kemaslahatan masjid. Ada orang khusus yang memutarkan kotak ini di tengah-tengah shaf sebelum shalat dimulai. Terkhusus di hari Jum’at. Apa hukum perbuatan ini? Karena telah diketahui bahwa jama’ah mendapati sedikit kesulitan dengan adannya hal tersebut.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab,

هذا فيه نظر؛ لأن معناه سؤال للمصلين وقد يحرجهم ويؤذيهم بذلك ، فكونه يطوف عليهم ليسألهم حتى يضعوا شيئاً من المال في هذا الصندوق لمصالح المسجد : لو تَرك هذا يكون أحسن وإلا فالأمر فيه واسع ، لو قال الإمام : إن المسجد في حاجة إلى مساعدتكم وتعاونكم فلا بأس في ذلك ؛ لأن هذا مشروع خيري

“Perbuatan ini tidak tepat. Karena ketika dia meminta jamaah untuk menyumbang, dia telah mengganggu para jamaah, yaitu dengan memutari shaf hingga para jamaah memberikan sesuatu dalam kotak ini untuk kemaslahatan masjid. Andaikan ini ditinggalkan, itu lebih baik.

Dan ini perkara yang longgar. Imam bisa berkata: masjid ini sedang membutuhkan bantuan anda. MAKA INI TIDAK MENGAPA. Karena ini adalah upaya kebaikan.” (Sumber: https://www.binbaz.org.sa/mat/16368)
Penjelasan beliau ini menunjukkan bolehnya meminta sumbangan di dalam masjid selama itu untuk kemaslahatan masjid, selama tidak menimbulkan gangguan di masjid.

Memberikan harta di masjid tanpa didahului dengan meminta-minta

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya memberi harta kepada orang fakir, namun tidak didahului dengan meminta-minta. Jika kita mengetahui ada orang faqir dan kita tahu kemiskinan dan kebutuhannya, maka boleh kita beri harta dari sebagian harta zakat, sedekah, atau sejenis itu. Juga diperbolehkan membagi harta di masjid kepada orang-orang yang memang berhak menerimanya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَالٍ مِنَ البَحْرَيْنِ، فَقَالَ: «انْثُرُوهُ فِي المَسْجِدِ» وَكَانَ أَكْثَرَ مَالٍ أُتِيَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهِ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ، فَمَا كَانَ يَرَى أَحَدًا إِلَّا أَعْطَاهُ، إِذْ جَاءَهُ العَبَّاسُ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَعْطِنِي، فَإِنِّي فَادَيْتُ نَفْسِي وَفَادَيْتُ عَقِيلًا، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خُذْ» فَحَثَا فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ ذَهَبَ يُقِلُّهُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اؤْمُرْ بَعْضَهُمْ يَرْفَعْهُ إِلَيَّ، قَالَ: «لاَ» قَالَ: فَارْفَعْهُ أَنْتَ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» فَنَثَرَ مِنْهُ، ثُمَّ ذَهَبَ يُقِلُّهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اؤْمُرْ بَعْضَهُمْ يَرْفَعْهُ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» قَالَ: فَارْفَعْهُ أَنْتَ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» فَنَثَرَ مِنْهُ، ثُمَّ احْتَمَلَهُ، فَأَلْقَاهُ عَلَى كَاهِلِهِ، ثُمَّ انْطَلَقَ، فَمَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتْبِعُهُ بَصَرَهُ حَتَّى خَفِيَ عَلَيْنَا – عَجَبًا مِنْ حِرْصِهِ – فَمَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَمَّ مِنْهَا دِرْهَمٌ

Seperti ditunjukkan dalam riwayat Anas bin Malik, ada harta dari Bahrain dikirim untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan, “Letakkan di masjid.”

Itu merupakan harta terbanyak yang pernah diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau kemudian keluar untuk shalat tanpa menoleh ke arah harta benda tersebut. Seusai shalat, beliau datang lalu duduk di dekat harta benda tersebut. Setiap melihat seseorang, beliau pasti memberi bagian untuknya. Kemudian al ‘Abbas pun datang, Beliau berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku karena aku telah menebus diriku dan juga menebus seorang keluarga (anak Abu Thalib yang ditawan saat perang Badar).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bilang kepadanya, “Ambillah”.
‘Abbas kemudian menciduk dengan tangan dan meletakkannya di baju, setelah itu ia angkat hingga tidak kuat. Lalu al ‘Abbas bilang, “Wahai Rasulullah, mungkinkah anda perintahkan seseorang untuk mengangkatkan ini ke pundakku?”.

“Tidak,” kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al ‘Abbas mengatakan, “Kalau begitu, Engkau saja yang mengangkatkan ini ke pundakku.”

“Tidak”, kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al ‘Abbas kemudian meletakkan sebagiannya, baru ia panggul lagi, kemudian pergi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menatap al ‘Abbas hingga tidak kelihatan (karena beliau heran pada semangat al ‘Abbas). Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, di sana tidak tersisa satu dirham pun” (HR. Bukhari no. 421).

Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadits ini di dalam bab,

بَابُ القِسْمَةِ، وَتَعْلِيقِ القِنْوِ فِي المَسْجِدِ

“Bab pembagian harta dan meletakkan tandan kurma di masjid.”

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Maksud bab ini adalah masjid boleh digunakan sebagai tempat menyimpan harta fai’ (harta rampasan yang didapat tanpa melalui peperangan, pent.), harta seperlima ghanimah (harta rampasan perang, pent.), harta sedekah, dan sejenis itu dari harta-harta milik Allah yang dibagikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya”.

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Di dalam hadits tersebut terdapat dalil bolehnya membagi harta fai’ di masjid dan juga menyimpannya di dalam masjid. Inilah maksud Imam Bukhari dengan meriwayatkan hadits tersebut di bab ini.” (Fathul Baari li Ibni Rajab, 3: 154)

Jika ada pengemis di masjid

Adapun jika ada seseorang yang meminta-minta di dalam masjid, sebagian ulama melarang meminta-minta dan memberi uang kepada pengemis secara mutlak, tanpa terkecuali. Ulama yang memiliki pendapat tersebut bisa jadi melihat dalil-dalil umum yang menunjukkan terjaganya masjid dari semua aktivitas selain ibadah.

Permasalahan yang bisa digunakan sebagai bahan analogi dalam kasus ini adalah masalah mencari barang hilang di dalam masjid. Kedua kasus (masalah) ini memiliki persamaan, yaitu mencari dan meminta perkara duniawi. Alasan mencari barang hilang di dalam masjid itu jelas, karena dia mencari barang miliknya sendiri. Meskipun demikian, syariat memerintahkan agar mendoakan orang yang mencari-cari barang hilang miliknya di dalam masjid itu supaya barangnya tidak dikembalikan (tidak ditemukan). Adapun orang yang meminta-minta, dia tidak mencari harta miliknya sendiri, namun harta milik orang lain.

Sebagian ulama memberikan keringanan bolehnya meminta-minta di masjid jika memang betul-betul dalam kondisi terpaksa dan membutuhkan. Itu pun dengan persyaratan bahwa aktivitas meminta-mintanya tersebut tidak menimbulkan gangguan di dalam masjid, baik mengganggu orang yang sedang ibadah di masjid atau dengan lewat di depan orang yang sedang shalat. (Fathul Baari li Ibni Rajab, 3: 157; Al-Haawi, 1: 90; dan Ahkaamul Masaajid fil Islaam, hal. 269)

Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ أَطْعَمَ الْيَوْمَ مِسْكِينًا؟

“Apakah di antara kalian pada hari ini ada orang yang telah memberi makan seorang miskin?”.
Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menjawab,

دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا أَنَا بِسَائِلٍ يَسْأَلُ، فَوَجَدْتُ كِسْرَةَ خُبْزٍ فِي يَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَأَخَذْتُهَا مِنْهُ فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ

“Saya masuk masjid, dan ternyata saya mendapati seorang miskin yang sedang meminta-minta dan aku dapati sepotong roti di tangan ‘Abdurrahman. Maka aku mengambilnya dan aku berikan kepada orang miskin tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1670)

Dari hadits tersebut, terdapat dalil bahwa bersedekah kepada orang fakir di masjid bukanlah perkara yang makruh. Juga terdapat dalil bolehnya meminta-minta di dalam masjid. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan persetujuan kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu atas tindakannya tersebut. Jika meminta-minta di masjid itu hukumnya haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan persetujuan kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang peminta-minta tersebut untuk kembali datang mengemis di masjid. (Lihat Al-Haawi, 1: 89)

Akan tetapi, hadits tersebut, yang digunakan sebagai dalil dalam kasus ini, adalah hadits yang dha’if. Sehingga pendapat ulama yang melarang aktivitas meminta-minta (mengemis) di masjid itulah yang lebih kuat, dalam rangka menegaskan kehormatan masjid dari aktivitas duniawi. Hal ini juga mencegah orang-orang yang lemah jiwanya dari menjadikan masjid sebagai tempat untuk mengemis mencari harta. Lebih-lebih di zaman kita sekarang ini, ketika banyak tersebar kebohongan dan tipu daya. Kecuali meminta sumbangan untuk kemaslahatan masjid, maka boleh di lakukan di dalam masjid, sebagaimana sudah dibahas di atas.

Adapun jika pengemis tersebut duduk di sudut luar masjid atau di depan pintu gerbang masjid, maka diperbolehkan jika ingin memberinya. Adapun jika pengemis tersebut mengganggu orang-orang yang sedang shalat, menghentikan aktivitas dzikir atau membaca Al-Qur’an jamaah, atau sampai lewat di depan orang shalat, maka sangat jelas sekali kalau kita melarang dan mencegahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hukum asal mengemis itu dilarang dilakukan di dalam dan di luar masjid, kecuali karena terpaksa (dharurah). Jika terdapat kondisi darurat, dan dia mengemis di masjid, namun tidak mengganggu seorang pun, baik dengan atau tanpa melangkahi pundak-pundak jamaah di masjid, tidak dusta dengan kondisi yang dia ceritakan ketika mengemis, tidak bersuara keras yang bisa mengganggu jamaah, misalnya dia meminta ketika khatib sedang berkhutbah, atau ketika jamaah sedang sibuk mendengarkan majelis ilmu, atau sejenis itu, maka diperbolehkan. Wallahu a’alam.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 1: 159)

Kesimpulan

Dari seluruh paparan di atas, kesimpulan dari masalah meminta-minta di masijd, kita perlu melihat dari dua sisi:
Pertama, dari sisi orang yang meminta-minta. Maka jika untuk kepentingan pribadi dan tidak dalam kondisi darurat, hukumnya terlarang berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama. Dibolehkan jika dalam dua kondisi: darurat (untuk kepentingan pribadi) atau untuk kemaslahatan kaum Muslimin.

Jika meminta-minta untuk kepentingan pribadi yang memang darurat, maka tidak boleh meminta-minta di dalam masjid. Hal ini karena dapat menimbulkan gangguan dan bisa menyibukkan orang-orang di masjid dengan perkara dunia. Dan boleh dilakukan di luar masjid selama tidak menimbulkan gangguan bagi para jamaah.

Adapun meminta sumbangan untuk kemaslahatan masjid, boleh dilakukan di dalam maupun di luar masjid, juga dengan syarat tidak boleh menimbulkan gangguan bagi para jamaah.

Kedua, dari sisi yang orang yang memberi. Baik yang meminta-minta itu dalam kondisi tidak darurat, atau dalam kondisi darurat, atau meminta untuk kepentingan kaum muslimin, maka mereka semua boleh diberi. Kecuali jika mereka memberikan gangguan di masjid, maka yang lebih tepat adalah menasihati mereka dan melarang mereka untuk meminta-minta di masjid. Wallahu a’lam.

[Selesai]

Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:
[1] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 221-223 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
[2] Tulisan ini dimuraja’ah oleh Ustadz Yulian Purnama hafidzahullah.