Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Berwudhu

Soal:

Apa hukum menyentuh mushaf tanpa berwudhu terlebih dahulu atau memindahkan posisi mushaf tanpa berwudhu? Dan apa hukum membacanya pada saat kondisi-kondisi tersebut?

Jawab:

Tidak boleh bagi seorang muslim menyentuh mushaf sedangkan dia sebelumnya tidak berwudhu menurut jumhur/mayoritas ulama’, imam-imam empat mahzab, dan  begitu pula yang difatwakan oleh para Sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat hadits yang shahih dari ‘Amr bin Hazm  radhiyallahu ‘anhu : bahwa nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan kepada penduduk kota yaman :

أن لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang sudah bersuci”(HR. Malik dalam Al Muwatha’ no. 419, Ad Darimi no.1266).

Hadits ini jayyid, memiliki jalur-jalur sanad yang saling menguatkan satu sama lain. Oleh karenanya, hadits ini menunjukkan tidak boleh bagi seorang Muslim menyentuh mushaf Al Qur’an kecuali sudah bersuci. Baik bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar. Demikian pula sama hukumnya ketika ada orang yang hendak memindahkan posisi mushaf dari satu tempat ke tempat lain, apabila dia tidak dalam keadaan suci, maka tetap tidak diperbolehkan. Beda halnya apabila dia menyentuh atau memindahkan mushaf dengan menggunakan sebuah perantara seperti memakai pembungkus, sarung tangan, atau yang semisalnya, maka hukumnya boleh. Namu jika dia menyentuh secara langsung dan dalam keadaan tidak suci, maka yang paling tepat hukumnya tidak diperbolehkan menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

Adapun ketika membaca Al-Qur’an, maka tidak mengapa dia membaca dengan menggunakan hafalan Al-Qur’annya walaupun dalam kondisi berhadats. Atau boleh juga dia membacanya dalam keadaan ada orang lain yang memegangkan Al-Qur’an untuknya dan membukakan halaman mushaf untuknya. Akan tetapi ketika dalam kondisi junub, maka tidak diperbolehkan baginya membaca Al-Qur’an karena terdapat larangan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada sesuatu yang menghalanginya dari membaca Al-Qur’an kecuali dalam kondisi junub. Dalam hadits yang diriwayatkan imam Ahmad dengan sanad yang jayyid, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia mengatakan :

أن النبي ﷺ خرج من الغائط وقرأ شيئًا من القرآن، وقال هذا لمن ليس بجنب أما الجنب فلا ولا آية

“Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari buang hajat, lalu beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca sesuatu ayat dari Al-Qur’an, dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan perbuatan ini boleh bagi yang tidak sedang junub/hadats besar. Adapun jika dalam kondisi junub, maka tidak boleh ia membacanya walupun hanya satu ayat” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no.830).

Maksudnya adalah orang yang dalam kondisi junub tidak boleh membaca Al-Qur’an baik dari mushaf maupun dari hafalannya sampai ia mandi junub untuk menghilangkan hadats besarnya. Adapun bagi orang yang berhadats kecil dan tidak sedang junub, maka boleh baginya membaca Al-Qur’an melalui hafalannya dan tidak boleh menyentuh mushaf.

Dan ada masalah lain yang terkait dengan hal ini, yaitu tentang wanita haid dan nifas. Apakah boleh bagi mereka membaca Al-Qur’an atau tidak?T erdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang tidak membolehkannya, karena hukumnya disamakan dengan orang yang sedang junub. Lalu ada ulama yang berpendapat boleh membacanya asalkan dengan menggunakan hafalan atau tidak menyentuh mushaf secara langsung. Alasan ulama yang membolehkan adalah karena panjangnya masa haid dan nifas. Dan keduanya tidak seperti junub yang singkat waktunya sehingga mampu untuk langsung mandi, lalu kembali membaca Al-Qur’an. Adapun perempuan yang haid dan nifas tidak mungkin bagi mereka untuk mandi kecuali jika sudah benar-benar bersih dari haid dan nifas. Maka tidak cocok menyamakannya dengan kondisi orang yang sedang junub.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa tidak ada yang penghalang bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an dari hafalan mereka. Ini pendapat paling tepat, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan pelaragan tersebut. Terdapat hadits dalam shahihain dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia mengatakan kepada ‘Aisyah yang pada saat itu dalam kondisi haid ketika melaksanakan ibadah haji :

افعلي ما يفعل الحاج غير ألا تطوفي بالبيت حتى تطهري

“Lakukan apa yang dilakukan orang yang berhaji, hanya saja jangan melaksanakan thawaf di Baitullah sebelum suci” (HR. Bukhari no.294, 1540, Muslim no.2114, 2115).

Ibadah haji adalah ibadah yang di dalamnya dibacakan Al-Qur’an dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikannya, maka ini menunjukkan atas bolehnya membaca Al-Qur’an untuk ‘Aisyah yang pada saat itu sedang haid dan dengan kalimat yang serupa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakannya  kepada ‘Asma’ binti ‘Umais yang pada saat itu baru melahirkan anak bayi yang diberi nama Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ‘Asma’ berada di miqat dalam kondisi haji wada’, maka ini menunjukkan bahwa wanita haid dan nifas boleh membaca Al-Qur’an akan tetapi tanpa langsung menyentuh mushaf.

Adapun hadits riwayat Ibnu ‘Umar dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئًا من القرآن

“Janganlah wanita haid dan orang yang dalam kondisi junub membaca sesuatu dari ayat-ayat Al-Qur’an” (HR. At Tirmidzi no.121, Ibnu Majah no.588).

Ini adalah hadits yang dha’if (lemah). Dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Isma’il bin ‘Ayyas, ia meriwayatkan dari Musa bin ‘Uqbah. Para ulama hadits mendhaifkan riwayat Isma’il yang bersumber dari penduduk Hijaz. Mereka mengatakan: “riwayat ‘Ismail ini jayyid jika bersumber dari penduduk Syam, akan tetapi dhaif jika bersumber dari penduduk Hijaz. Dan riwayat hadits ini berasal dari penduduk hijaz sehingga menjadi dhaif”.

Sumber: Fatawa Islamiyyah juz 4 halaman 23, Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah (24/336), dinukil dari web binbaz.org.sa

Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id