Hukum Nikah Mut’ah (1)

Oleh: Hafidz Muftisany

Penikahan adalah akad yang sangat agung. Ia disebut mitsaqan ghaliza karena dampak dari akad yang tak lebih dari satu menit itu amat luas.

Ucapan akad pernikahan mengantarkan tanggung jawab yang dipikul seorang wali kepada seorang laki-laki yang menjadi suami. Akad pernikahan juga membuat yang haram menjadi halal, yang dosa menjadi pahala. Akad nikah juga melahirkan garis nasab di mana hak waris melekat padanya.

Pernikahan adalah kebaikan yang bertambah bernama berkah. Di dalamnya mencakup keberkahan dalam masa senang, keberkahan dalam masa sulit. Jadi, tak sekadar berburu kesenangan semata. Salah satu adat yang mirip dengan pernikahan namun secara esensi berbeda adalah nikah mut’ah.

Nikah mut’ah atau kawin kontrak agaknya tak asing didengar masyarakat saat ini. Hubungan laki-laki dan perempuan yang diikat dalam perjan ji an masa tertentu. Di dalamnya tidak ada pengakuan anak, terlebih waris.

Beberapa disebutkan wanita dalam nikah mut’ah tidak wajib untuk diberi nafkah. Bagaimana para ulama Indonesia memandang nikah mut’ah ini?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan dua kali fatwa tentang nikah model ini. Pertama, menyoroti tentang nikah mut’ah dan nikah wisata yang tak jauh dari praktik nikah mut’ah.

Dalam sejarah Islam, praktik nikah mut’ah pernah diperbolehkan. Seperti pendapat Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim. Menurut Imam Nawawi, yang benar dalam masalah nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan kemudian diharamkan dua kali.

Diperbolehkan sebelum perang Khaibar, kemudian diharamkan saat perang Khaibar. Pernah diperbolehkan selama tiga hari ketika Fathu Makkah tepatnya pada perang Authas kemudian setelah itu diharamkan selamanya sampai hari kiamat.

MUI menukil beberapa dalilnya dari hadis riwayat Muslim. Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani dari ayahnya ia berkata, “Saya hendak menghadap Rasulullah SAW, namun beliau sedang berdiri antara rukun yamani dan maqam Ibrahim dengan menyandarkan punggungnya ke Ka’bah seraya bersabda, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan kalian untuk istimta’ daripada perempuan.”

‘Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang siapa yang masih memiliki perempuan tersebut hendaknya melepaskannya. Jangan ambil sesuatu pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada mereka’.”

 

 

sumber: Republika Online