Alim ulama bersepakat bahwa qunut nazilah disyari’atkan ketika terjadi musibah besar yang menimpa kaum muslimin dan dilakukan pada shalat wajib lima waktu. Para pembaca bisa membaca artikel Saudara kami, al-Akh Yulian Purnama hafizhahullah, untuk mengetahui sejumlah permasalahan fikih terkait qunut nazilah pada tautan berikut ini:
Artikel ini hanya akan membahas apakah qunut nazilah itu disyari’atkan saat terjadinya wabah dan tha’un. Dan sebelum menyampaikan pendapat terpilih dari beragam pendapat alim ulama dalam hal ini, kami perlu menyampaikan definisi dari wabah dan tha’un itu sendiri.
Definisi Wabah dan Tha’un
Dalam sejumlah literatur, tha’un diartikan sebagai,
قروح تخرج في المغابن والمرافق، ثم تعم البدن ويحصل معه خفقان القلب
“Borok yang (bermula) muncul pada daerah inguinal (pangkal paha) dan siku, kemudian menyebar ke seluruh badan, yang diiringi dengan debaran jantung yang sangat kencang (palpitasi jantung).” [Masyaariq al-Anwaar 1/321, Kasyaaf al-Qinaa’ 4/323, Majma’ Bihaar al-Anwaar 3/447]
Adapun wabah didefinisikan lebih umum daripada tha’un sebagai,
مرض عام يصيب الكثير من الناس في جهة من الأرض دون سائر الجهات، ويكون مخالفًا للمعتاد من الأمراض في الكثرة وغيرها، ويكون نوعًا واحدًا
“Penyakit yang menimpa banyak orang di suatu wilayah di permukaan bumi, tidak seluruhnya. Penyakit ini berbeda dengan penyakit pada umumnya, korban jiwa yang ditimbulkan begitu banyak, dan umumnya penyakit ini spesifik.” [Syarh Muktashar Khaliil 5/133]
Disampaikan oleh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa memang ada perbedaan arti antara tha’un dan wabah. Namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal mampu menimbulkan korban jiwa yang begitu banyak. Karena hal itu, keduanya terkadang dianggap sama. Beliau mengatakan,
تسمية الطاعون وباءً لا يلزم منه أنَّ كل وباء طاعون، بل يدل على عكسه، وهو أنَّ كل طاعون وباءً، لكن لما كان الوباء ينشأ عنه كثرة الموت، وكان الطاعون أيضًا كذلك، أُطلق عليه اسمه
“Meski tha’un dapat disebut wabah, namun hal itu tidak lantas berarti bahwa setiap wabah adalah tha’un. Justru sebaliknya, tha’un itulah yang termasuk wabah. Akan tetapi ketika wabah dapat menimbulkan banyak korban jiwa sebagaimana tha’un, maka tha’un juga dapat dinamakan wabah.” [Badzl Maa’uun fii Fadl ath-Thaa’uun hlm. 104]
Hukum Qunut Nazilah Saat Terjadi Wabah
Pendapat terpilih dalam hal ini adalah qunut nazilah disyari’atkan ketika suatu wabah menimpa kaum muslimin.
Ibnu Nujaim rahimahullah mengatakan,
القنوت عندنا في النازلة ثابت وهو الدعاء برفعها ولا شك أنَّ الطاعون من أشد النوازل
“Dalam pandangan kami, disyari’atkan melakukan qunut ketika terjadi musibah, yaitu dengan memanjatkan do’a agar penyakit itu dimusnahkan dan tidak ragu lagi bahwa tha’un termasuk di antara musibah yang dahsyat.” [al-Asybaah wa an-Nazhaa-ir hlm. 382]
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Disyari’atkan memanjatkan do’a agar tha’un yang menimpa negeri kaum muslimin diangkat. Baik itu dilakukan secara berkelompok atau bersendiri dengan melakukan qunut. Pendapat ini adalah pendapat yang umum di kalangan Syafi’iyyah berdasarkan alasan bahwa tha’un juga termasuk musibah. Asy-Syafi’i telah menyatakan pensyari’atan qunut ketika terjadi musibah. Ar-Raafi’i dan ulama yang lain menganalogikannya dengan wabah dan paceklik.” [Badzl Maa’uun fii Fadl ath-Thaa’uun hlm. 316]
Pendapat ini didasarkan pada sejumlah dalil dan alasan berikut:
Pertama, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau menuturkan,
قدمنا المدينة وهي وبيئة، فاشتكى أبو بكر رضي الله عنه، واشتكى بلال رضي الله عنه، فلما رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم شكوى أصحابه رضي الله عنه، قال: «اللهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، وَصَحِّحْهَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا، وَحَوِّلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ
“Dulu kami datang ke Madinah ketika kota ini banyak wabah penyakit. Abu Bakar dan Bilal pun jatuh sakit. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa salam pun berdo’a tatkala melihat para sahabatnya jatuh sakit, “Ya Allah, berikanlah kecintaan kepada kami terhadap kota Madinah sebagaimana Engkau memberikan kepada kami kecintaan terhadap Makkah, atau bahkan lebih dari Makkah. Jadikanlah Madinah sebagai kota yang sehat, dan berikanlah keberkahan pada takaran sha’ dan takaran mudd kami, serta pindahkan penyakitnya ke Juhfah.” [HR. al-Bukhari : 1889 dan Muslim : 1376. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim]
Alim ulama yang berdalil dengan hadits di atas dan menyatakan bahwa qunut nazilah pada hakikatnya do’a seperti yang ada dalam hadits tersebut [Tuhfah al-Muhtaaj 1/202, Nihayah al-Muhtaaj 1/508].
Kedua, dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, pada raka’at terakhir shalat shubuh, beliau berdoa dengan do’a berikut setelah membaca ‘sami’allahu liman hamidah’,
اللَّهُمَّ العَنْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا
“Ya Allah, laknatlah fulan, fulan, dan fulan.” [HR. al-Bukhari : 4559]
Alim ulama menjelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan qunut untuk kehancuran musuh yang menimbulkan kerugian bagi kaum muslimin, maka hal ini dianalogikan dengan terjadinya wabah, sehingga qunut nazilah boleh dilakukan untuk mengangkat wabah [Tuhfah al-Muhtaaj 1/202, Kanz ar-Raaghibiin 1/233, Mughni al-Muhtaaj 1/242].
Ketiga, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasululullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلَائِكَةٌ، لَا يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ، وَلَا الدَّجَّالُ
“Jalan-jalan masuk kota Madinah dijaga oleh para malaikat, sehingga kota itu tidak bisa dimasuki wabah tha’un ataupun dajjal.” [HR. al-Bukhari : 1880 dan Muslim : 2047]
Berdalilkan hadits di atas, alim ulama menjelaskan bahwa jika mencegah terjadinya tha’un atau wabah itu adalah tindakan terpuji, maka berupaya untuk menghilangkan wabah ketika telah menyebar juga terpuji, dan di antara upaya tersebut adalah dengan melakukan qunut ketika shalat karena di momen itulah do’a lebih dapat dikabulkan.
Keempat, terjadinya wabah termasuk musibah besar karena menimbulkan korban jiwa yang begitu banyak dari kaum muslimin. Sumber penghidupan mereka lenyap, sehingga kerugian yang ditimbulkan teramat besar ketimbang kerugian yang timbul dari terbunuhnya para ahli al-Qur’an di kalangan sahabat dan para sahabat yang terhasung sehingga tidak mampu berhijrah ke kota Madinah [Nihayah al-Muhtaaj 1/508].
Inilah sejumlah dalil yang disampaikan oleh alim ulama yang memandang qunut nazilah disyari’atkan saat terjadinya wabah.
Sebagian ulama mengemukakan pendapat bahwa qunut nazilah tidaklah disyari’atkan ketika terjadi wabah dan tha’un, karena hadits-hadits menunjukkan qunut nazilah hanya disyari’atkan untuk musibah luar biasa yang timbul dari kezaliman hamba, seperti penyerangan, pembantaian, dan penguasaan orang kafir atas kaum muslimin. Adapun jika musibah luar biasa itu berasal dari perbuatan Allah seperti paceklik dan wabah, maka qunut nazilah tidak disyari’atkan [al-Qaul al-Mufiid 1/301].
Pendapat ini dapat dibantah bahwa penguasaan orang kafir atas negeri-negeri kaum muslimin terjadi karena ketetapan dan kehendak Allah, sebagaimana wabah dan tha’un yang juga terjadi karena ketetapan dan kehendak-Nya, sehingga membedakan keduanya adalah hal yang kurang tepat [al-Ahkaam asy-Syar’iyyah al-Muta’alliqah bi al-Wabaa wa ath-Thaa’un hlm. 20].
Demikian yang dapat ditulis pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat.
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55352-hukum-qunut-nazilah-saat-terjadi-wabah.html