Ibrahim Call (1)

KETIKA sekitar 4.000 tahun lalu Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam diperintahkan untuk memanggil manusia untuk melaksanakan haji, dia bertanya kepada Allah “Ya Tuhanku, bagaimana saya bisa menyampaikan pesan ini kepada manusia, sedang suaraku tidak akan sampai kepada mereka ?”, dijawab oleh Allah “Panggillah mereka, Kami yang akan menyampaikannya !”. Maka Ibrahim-pun memanggil “Wahai manusia, Tuhanmu telah membangun rumah maka datanglah untuk beribadah kepadaNya”. Di jaman ini, dialog yang diceritakan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir tersebut seharusnya dapat menginspirasi berbagai inovasi dan solusi.

Diceritakan pula dalam kitab tafsir tersebut bahwa Allah menurunkan tinggi gunung-gunung agar seruan tersebut sampai, bukan hanya sampai kepada manusia yang hidup saat panggilan tersebut dikumandangkan tetapi juga pada seluruh manusia yang hidup hingga kini dan hingga akhir jaman nanti.

Seruan tersebut telah sampai ke kita bahkan ketika ayah ibu kita belum bertemu satu sama lain, ketika kakek-nenek kitapun belum menikah – ketika kita masih berupa sesuatu yang belum bisa disebut!

Point-nya adalah panggilan tersebut telah sampai ke kita, tinggal apakah kita mampu meresponse-nya secara comprehensive  atau tidak. Comprehensive  responses ini penting sekali sepanjang jaman, karena sepanjang jaman ada permasalahannya tersendiri untuk memenuhi panggilan tersebut.

Hingga 2,500 tahun setelah seruan tersebut disampaikan – yaitu jaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam hidup bersama para sahabatnya, challenge untuk comprehensive  responses itu antara lain berupa beratnya perjalanan menuju dan pulang balik dari Makkah. Hingga lebih dari 1,000 tahun sesudah itu-pun perjalanan haji masih sungguh tidak mudah, bahkan hingga awal abad 20-pun perjalanan untuk pergi haji itu tetap tidak mudah.

Anda yang sudah beruntung mengunjungi tanah suci, pasti bisa membayangkan betapa beratnya perjalanan ke sana, seandainya Anda harus menempuhnya dengan berjalan kaki atau naik unta yang kurus. Dan ini yang antara lain  disampaikan Allah dalam dua rangkaian ayat berikut :

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS 22:27).

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan…” (QS 22:28).

Perhatikan kata ‘mereka’ yang saya tebalkan, siapa yang dimaksud Allah dengan ‘mereka’ ini ? Mereka yang disebut di ayat pertama adalah orang-orang yang mau bersusah payah menempuh perjalanan memenuhi panggilan nabi Ibrahim tersebut – untuk menempuh perjalanan haji. Mereka di ayat kedua – yaitu yang menyaksikan maupun yang menerima berbagai manfaat juga adalah orang-orang yang sama, yaitu orang-orang yang bersusah payah pergi berhaji di ayat yang pertama tersebut.

Kini setelah hampir 4. 000 tahun panggilan dikumandangkan, atau hampir 1.500 tahun setelah ditetapkannya syariat tata cara yang baku untuk pergi berhaji, kita justru tidak mampu untuk secara comprehensive  menjadi ‘mereka’ yang disebut khususnya di ayat kedua, yaitu ‘mereka’ yang menerima atau menikmati perbagai manfaat dari syariat berhaji ini.

Abul Ala Maududi menjelaskan tafsir ayat ini sebagai berbagai manfaat yang sifatnya duniawi maupun manfaat untuk agama ini. Karena kita ‘lupa’ adanya  manfaat duniawi yang terkait berhaji ini, maka manfaat terbesar justru dinikmati oleh orang lain di luar Islam yang cara hidupnya bertentangan dengan syariat Islam.>>>

Oleh: Muhaimin Iqbal

 

HIDAYATULLAH