Idul Adha dan Tren Anak Muda

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (ash-Shaaffaat: 102).

Bulan Zulhijjah dan Idul Adha ngingetin kita pada peristiwa “penyembelihan Ismail” kayak yang tergambar dalam ayat di atas. Peristiwa super mendebarkan itu menyimpan hikmah yang dalam terkhusus buat generasi muda. So, anak muda Muslim seyogianya merenungi dan mejadikannya cermin kehidupan.

Hikmah peristiwa itu adalah ketegaran menghadapi ujian dan keteguhan menjaga iman. Iman adalah hal yang sejak lama selalu dimusuhi oleh para pengusung paham materialisme Barat yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, agama adalah candu. Turunan dari paham ini di antaranya adalah hedonisme, paham yang menganggap kenikmatan duniawi sebagai tujuan segala aktivitas kehidupan.

Godaan-godaan duniawi berupa food, fashion, n fun, sengaja ditebar oleh kaum materialis dan udah sejak lama menelan banyak korban. Generasi muda adalah sasaran empuknya. Kita mesti waspada!

Kaum muda Muslim harus punya karakter yang kokoh biar selamat darinya. Momen Idul Adha ini jadi salah satu ruang pembentukan dan penguatan karakter itu. Caranya dengan menggali hikmah peristiwa “penyembelihan Ismail” dengan Ismail alaihissalam remaja sebagai subjeknya.

Coba bayangin gimana kalo kita yang berada di posisi Ismail alaihissalam?! Gimana respon psikologis kita dan apa yang jadi ekspresinya dalam tindakan? Apakah kita bakal serta-merta tunduk patuh gitu aja kayak Ismail alaihissalam? Kayaknya perlu deh, ini jadi bahan renungan.

Remaja Ismail alaihissalam sadar kalo kehidupan ini cuman cobaan. Bumi ini bukan tujuan akhir, bukan tempat buat seneng-seneng, nyantai-nyantai, manja-manja, mengumbar syahwat menikmati kelezatan dunia. Ismail memandang nyawa sebagai sesuatu yang wajib tunduk pada iman. Baginya nyawa boleh nempel di badan selama ada iman. So, kalo iman menuntut lepasnya nyawa dari badan, ya dengan lapang dada mesti direlakan. Mentalitas Ismail udah nyampe segitu. Lalu gimana dengan kita?

Gimana dengan kita yang hidup di zaman modern ini? Apakah demi iman, kita udah siap mengorbankan nyawa? Ah, kayaknya tuh pertanyaan bukan buat kelas kita deh, nggak level! Jangan ngomongin nyawa deh… Pertanyaan buat kita tuh kayak gini, nih: demi meningkatkan kualitas ruhiyah, apa kita udah bisa rela nggak nonton siaran langsung sepak bola? Kalo dapet undangan nonton bareng ama taklim di jam yang sama, pilih datengin yang mana?

Itu pertanyaan buat yang cowok ya. Kalo buat yang cewek, apa kamu udah bisa rela nggak pake produk kosmetik terkenal yang teman-teman kamu semua udah pake dan mereka selalu ngobrolin produk itu setiap ngumpul bareng? Udah siapkah kamu beda sendiri dari yang lain?

Demi kualitas iman di dada, udahkah kita rela nggak ikut pake food, fashion, n fun, yang lagi ngetren, yang saking ngetrennya sampe diopinikan siapa yang nggak pake adalah nggak gaul? Udahkah kita siap dianggap kuper, ndeso, ikuno, demi menjaga kualitas ruhiyah?

Emang nonton bola tuh halal dan produk yang ngetren pun halal. Tapi apa sebatas itu nalar fikir ideal anak muda Muslim? Malu-maluin banget dong kalo kayak gitu? Itu nalar fikir kerdil, rapuh, nggak berkarakter! Ya kalo cuma pengin jadi generasi muda yang menuh-menuhin bumi sih silakan aja kayak gitu. Silakan puas-puasin nonton bola dan pake produk-produk yang ngetren itu. Nggak papa, itu hak asasi masing-masing!

Btw, kemenangan Islam udah Allah ta’ala janjikan. Dalam menggapainya, kaum Muslim terbagi dua. Ada yang ikut memerjuangkan, ada yang cuman nebeng doang. Salah satu wujud perjuangan Islam adalah rela mengorbankan kenikmatan semu duniawi demi kualitas ruhiyah yang mantab, iman yang kuat. Begitulah karakter pejuang Islam. Anak muda yang sukanya cuman ikut-ikutan tren hanyalah mereka yang bermental pecundang, rapuh, dan terbelakang. Mereka itulah generasi nebeng doang!

So, terserah masing-masing kita mau jadi yang mana? Kalo pilih jadi generasi muda Muslim yang turut memajukan peradaban Islam, ya bergurulah pada Ismail alaihissalam, jangan suka ikut-ikutan, hanyut terbawa gelombang tren yang digelontorkan oleh para pengusung paham materialisme yang nggak punya iman!

Idul Adha adalah ruang berkontemplasi merenungi arti eksistensi manusia di bumi. Ini penting dilakukan oleh generasi muda Muslim dalam membentuk pribadi yang selalu sadar kalo pahit manisnya dunia tuh cuman cobaan.

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (Ash-Shaaffaat: 106).

Lalu apakah Allah ta’ala bakal nggak ngasih penghargaan atas keteguhan iman hamba-hambaNya? Tidak! Allah ta’ala adalah Maha Baik kepada hamba-hambaNya yang istiqamah menjaga iman. Saat itu juga, Ismail dan ayahnya alaihimussalam langsung dibuat lega hatinya, setelah terbukti nyata bahwa iman mereka mengalahkan segalanya. Mereka diberi maqam yang mulia, dijadikan guru kehidupan bagi umat manusia sepanjang masa.

“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk melaksanakan perintah Allah), Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (ash-Shaaffaat: 103-107).

Jelas sudah, nggak mungkin ketaatan kita kepada Allah ta’ala bakal bikin nyesel dan nyesek. Pasti buntutnya adalah kebahagiaan. So, kita nggak boleh ragu menahan diri dari kelezatan duniawi demi menjaga kualitas ruhiyah. Generasi muda Muslim harus bersikap tegar, jangan sudi diombang-ambingkan oleh tren yang berkembang. Jadi diri sendiri, bikin tren sendiri, itu jauh lebih keren! Wallahu a’lam. [IB]

 

PANJIMAS