Imam Hambali, Teguhnya Kepribadian Si Yatim

Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu `Abdullah al-Shaybani terlahir di Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal tahun 164 H. Ada pula yang menyebut sang Imam lahir di Baghdad, Irak.

Saat berada dalam kandungan sang bunda, Imam Ahmad yang lebih dikenal dengan nama  diajak ibunya hijrah ke metropolis intelektual dunia ketika itu, yakni Baghdad.

Sejak masih bayi, Imam Ahmad bin Hanbal sudah menjadi anak yatim. Ia dibesarkan oleh sang ibu seorang diri. Ia merupakan keturunan dari suku Shayban. Sejak belia, Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dengan anak seusianya.

Ia dikenal sebagai anak yang alim, bersih, dan senang menyendiri. Kecintaan dan rasa takut untuk berbuat dosa kepada Allah SWT telah terpatri dalam hati nurani Ahmad bin Hanbal sejak dini.

Syahdan, sang paman, suatu hari memintanya menjadi seorang informan untuk khalifah. Ia diminta untuk menyerahkan dokumen berisi informasi sejumlah orang untuk diserahkan ke kantor khalifah.

Meski masih anak-anak, Ahmad bin Hanbal tahu apa yang dilakukannya adalah hal yang bertentangan dengan nurani. Suatu hari sang paman menanyakan dokumen itu.

“Aku tak akan menyerahkan dokumen itu dan aku telah membuangnya ke laut,” tutur Ahmad bin Hanbal. Sang paman pun dibuat takjub dengan sikap dan keberanian keponakannya itu. “Anak kecil ini ternyata sangat takut kepada Allah. Lalu, bagaimana dengan kita?” ucap sang paman dengan perasaan malu, karena anak kecil ternyata lebih takut kepada Sang Khalik, dibanding dirinya.