Imam Syafi’i

Imam Syafi’i: Anak Yatim Piatu yang Mulai Berfatwa Sejak Usia 15 Tahun

Orangnya sangat tekun dan istiqamah, khususnya perihal ilmu pengetahuan. Memiliki keturunan mulia dan masih satu garis keturunan dengan Rasulullah SAW. Tidak banyak bicara, namun semua pendapatnya diikuti oleh semua masyarakat, disegani oleh semua umat, hingga akhirnya mendirikan mazhab yang berafiliasi pada namanya, mazhab Imam Syafi’i atau jamak dikenal di Indonesia Mazhab Syafi’i.

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid ibn Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Ghalib. Ia dilahirkan di Ghaza, Palestina pada tahun 150 dan wafat di Mesir pada Malam Jumat bulan Rajab tahun 204 hijriah.

Garis keturunan Imam Syafi’i bertemu dengan Rasulullah tepat pada kakeknya yang bernama Abdul Manaf. Rasulullah berasal dari keturunan Hasyim bin Abdu Manaf, sedangkan Imam Syafi’i berasal dari keturunan Abdul Muthalib bin Abdul Manaf.

Tumbuh Sebagai Anak Yatim

Dalam catatan Imam ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam kitab Siyaru A’lami an-Nubala, pendiri mazhab Syafi’i itu tidak pernah melihat senyum ayahnya. Sebab, ia harus ikhlas dan rela ditinggal wafat oleh ayahnya pada usianya yang masih balita. Ia hidup berdua bersama ibunya, Fatimah binti Ubaidillah Adziyah.

Setelah kematian ayahnya, sang Ibu yang ahli ibadah membawa putranya untuk meninggalkan Ghaza dan pindah ke Makkah agar putranya bisa mencari dan mendalami ilmu di sana. Sebab menurutnya, hidup berdua dengannya di Ghaza hanya akan membuang waktu bagi putranya tanpa faedah.

Tepat pada usianya yang baru melepas balita, yaitu lima tahun, sang ibu pasrah kepada Allah untuk melepas anak kesayangannya demi ilmu, ia titipkan kepada pamannya agar belajar ilmu kepadanya.

Rihlah Intelektualitas Imam Syafi’i

Sesampainya di Makkah, saat itu Imam Syafi’i berumur dua tahun, ia memulai rihlah keilmuannya dengan belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an kepada pamannya. Paman yang sekaligus menjadi pembimbingnya menyadari betul bahwa anak yang kelak akan menjadi pendiri salah satu mazhab terkemuka dalam Islam itu memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Ia pun tidak menyia-nyiakan kecerdasan yang dimiliki oleh Syafi’i kecil. Setiap hari ia diberi pelajaran khusus dan hafalan khusus dengan tempo waktu yang tidak terlalu lama. Dan benar saja, semua amanah dari gurunya tidak pernah dikecewakan. Hafalan yang diberikan kepadanya ia selesaikan dengan mudah. Bahkan, sejarah mencatat bahwa ia sudah bisa menghafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun.

Setelah Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya berhasil dikuasai oleh Imam asy-Syafi’I, ia melanjut pada ilmu selanjutnya, yaitu hadits. Pada masa itu, ia langsung berguru kepada Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki sekaligus penulis kitab al-Muwattha’ yang di dalamnya berisikan hadits-hadits Rasulullah.

Dalam rihlah intelektual berguru kepada Imam Malik, ia mampu menghafal kitab al-Muwattha’ di usia sepuluh tahun. Usia yang masih terhitung sangat muda untuk bisa menghafal Al-Qur’an dan kitab Muwattha’, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani,

حَفِظْتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَحَفِظْتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرٍ

Artinya, “Saya telah menghafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun, dan saya telah menghafal kitab al-Muwattha’ di usia sepuluh tahun.” (Ibnu Hajar, Tahdzibu at-Tahdzib, Matba’ah an-Nidhamiah: 1326 H], juz IX, halaman 25).

Setelah ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan kitab karya Imam Malik, berhentikah Imam Syafi’i dari belajar? Ternyata tidak. Meski di usia sepuluh tahun sudah menguasai banyak cabang-cabang ilmu syariat, tidak lantas membuatnya berhenti untuk mencari ilmu. Ia terus mengembara sebagai seorang pelajar yang haus akan ilmu. Tidak hanya di Makkah, ia juga sering keluar kota hanya untuk mencari ilmu.

Dengan segala keilmuan yang ada dalam dirinya, ia telah tumbuh sebagai sosok yang disegani oleh para ulama di usia yang cukup muda. Tepat di usianya yang kelima belas, Imam Syafi’i telah layak untuk mengeluarkan fatwa atas persoalan yang terjadi saat itu, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam as-Suyuthi,

كَانَ الشَّافِعِي يَفْتِي وَلَهُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً وَكَانَ يُحْيِى اللَّيْلَ إِلَى أَنْ مَاتَ

Artinya, “Imam asy-Syafi’i telah berfatwa sedangkan ia masih berumur lima belas tahun. Dan, dia (juga) menghidupi malam (dengan ibadah) hingga akhir hayatnya.” (Imam as-Suyuthi, Thabqatu al-Huffadz lis-Suyuthi, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1403], halaman 28).

Guru-guru Imam Syafi’i

Di balik kehebatan Imam Syafi’i tidak lepas dari perjuangan gurunya yang selalu memberikan didikan terbaik kepadanya. Dalam catatan sejarah gurunya tidak hanya terdiri dari puluhan, bahkan mencapai ratusan.

Pada masa belajar di Makkah, ia belajar kepada Sufyan bin Uyaynah, Muslim bin Khalid bin Said az-Zinji, Daud bin Abdurrahman at-Thahhar, Abdul Majid bin Abdul Aziz az-Zadi, Sa’id bin Salim al-Qaddah, Ismail bin Qsahthanthin, dan beberapa guru lainnya.

Ketika belajar di Madinah, ia belajar kepada Imam Malik bin Anas, Abdul Aziz al-Khurasani, Abdullah bin Nafi’, Ibrahim bin Muhammad al-Aslami, Ibrahim bin Sa’id bin Ibrahim az-Zuhri, Muhammad bin Ismail bin Muslim, dan beberapa guru lainnya.

Saat berada di Yaman, ia belajar kepada Imam Mutharrif bin Mazin al-Kanani, Hisyam bin Yusuf ash-Shan’ani, Amru bin Abi Salamah, Abu Zakaria al-Bashri, Yahya bin Hasan, dan beberapa guru lainnya di Yaman.

Dan ketika belajar di Irak, ia belajar kepada Imam Waqi’ bin Jarrah bin Malih al-Kufi, Abu Usamah al-Kufi, Muhammad bin Hasan, Ismail bin Uyaynah al-Bishri, Abdul Wahab bin Abdul Majid at-Tsaqafi, Ayyub bin Suaid, dan beberapa guru lainnya di Irak.

Itulah beberapa guru-guru Imam Syafi’i yang telah sukses memberikan didikan terbaiknya hingga mampu mencetak seorang murid yang sangat alim dan puncaknya bisa mendirikan mazhab dengan jumlah pengikut terbanyak dari beberapa mazhab lainnya.

Mutiara Hikmah Imam Syafi’i

Imam asy-Syafi’i tidak hanya dikenal dengan seorang ulama dengan keilmuan yang luas, karangan kitab yang banyak, pengikut yang banyak, akan tetapi juga ahli syair. Bahkan banyak mutiara hikmah darinya yang bisa dijadikan renungan, khususnya bagi orang-orang yang sedang mencari ilmu. Dalam kitab Diwanu al-Imami asy-Syafi’i, halaman 18 disebutkan,

مَا فِي الْمَقَامِ لِذِي عَقْلٍ وَذِي أَدَبِ *** مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِبِ

“Berdiam diri saja di tempat mukim (rumah) sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka pemilik akal dan etika, maka tinggalkan negerimu dan merantaulah (untuk mencari ilmu.”

سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّنْ تُفَارِقُهُ *** وَانْصِبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

“Berkelanalah, niscaya akan engkau temukan pengganti orang-orang yang kau tinggalkan. Bersungguh-sungguhlah (dalam usaha), karena kenyamanan hidup itu ada pada kesungguhan.”

إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ *** إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ

“Sungguh, aku melihat diamnya air hanya akan merusaknya. Jika saja air itu mengalir, tentu ia akan terasa menyegarkan. Jika tidak, maka tidak bisa menyegarkan.”

وَالْأَسَدُ لَوْلَا فِرَاقُ الْأَرْضِ مَا افْتَرَسَتْ *** والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يصب

“Dan sekawan singa, andai tidak meninggalkan sarangnya, ia tidak akan terlatih kebuasannya. Dan anak panah andaikan tidak melesat meninggalkan busurnya, maka ia tidak akan mengenai sasaran.”

وَالشَّمْسُ لَوْ وَقَفَتْ فِي الْفَلَكِ دَائِمَة ً *** لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ

“Dan mentari andai selalu terpaku di ufuk, niscaya manusia akan mencelanya; baik bangsa Arab atau selainnya.” (Baca juga: Imam Ahmad bin Hanbal; Pendiri Mazhab Hanabilah yang Alim Sejak Usia 15 Tahun)

Itulah beberapa kalam hikmah dari Imam asy-Syafi’I yang memberikan semangat untuk orang-orang yang sedang mencari ilmu. Di dalamnya terdapat anjuran untuk pergi meninggalkan tanah kelahiran demi menuntut ilmu dan kemuliaan. Dengan mengetahui kisah di atas, semoga kita bisa meneladani rihlah intelektual Imam asy-Syafi’i yang begitu menginspirasi, serta bisa mendapatkan berkah darinya, Amin.

BINCANG SYARIAH