Imam Syafi’i; Pentolan Mengurai Hadis yang Kusut

Hadis merupakan sumber syariat kedua dalam Islam setelah al-Quran, dalam hal ini, semua yang diucapkan, dan dilakukan oleh Rasulullah Saw menjadi tuntunan dan pedoman jika tidak didapatkan dalam al-Quran. Dalam perkembangannya, perbandingan antara dua hadis atau lebih seringkali memunculkan pemahaman berbeda. Perbedaan riwayat, pemahaman, juga pengamalannya membuat kontradiksi antara beberapa hadis tidak terelakkan, oleh karena itu fenomena inilah yang menjadi objek dari kajian ‘ilmu mukhtalaf al-Hadith.

Kajian teoretis tentang kontradiksi yang ada dalam hadis-hadis Nabi Saw sudah dimulai sejak abad kedua Hijriah. Sebagaimana dicatat al-Suyuti dalam kitabnya Tadrib al-Rawi, buku yang pertama kali membahasnya sebagai kajian yang mandiri Ikhtila>f al-H{adi>th adalah karya al-Syafi’i (w. 204 H) yaitu kitab Ikhtilaf al-Hadith. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Usman ibn Syafi‘, Al-Syafi‘i adalah nisbat kepada kakeknya yaitu al-Syafi‘i ibn al-Saib, dan ia merupakan seorang sahabat junior (bertemu Nabi Muhammad Saw., ketika masih kecil). Syafi’i dilahirkan di Gazah salah satu kota di Palestina pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.

Hadis-hadis mukhtalif merupakan salah satu objek kajian ilmu hadis. Secara khusus dibahas dalam cabang ilmu hadis yang disebut ilmu mukhtalaf al-Hadith. Dalam rentang sejarah, al-Syafi’i adalah tokoh pertama yang membicarakan dan menulis tentang hadis-hadis mukhtalaf secara khusus, sekaligus cara-cara penyelesaiannya. Sebagaimana dituangkan dalam kitab al-Umm dan al-Risalah.

Menurut al-Syafi’i, sebenarnya tidak ada pertentangan (kontradiksi) di antara hadis-hadis tersebut. Al-Syafi’i berkata:“Kami tidak menemukan adanya hadis yang bertentangan (mukhtalif), melainkan ada jalan keluar penyelesaiannya.” Hadis-hadis yang dinilai bententangan menurut al-Syafi’i hanya pada lahirnya saja, bukan dalam arti yang sebenarnya. Suatu hadis dikatakan bertentangan dengan hadis lainnya sebenarnya disebabkan karena kekeliruan dalam memahaminya. Tujuan al-Syafi’i

Mengarang Kitab Ikhtilaf al Hadith yaitu agar para pembaca khususnya Muhaddisin mengetahui bagaimana cara al-Syafi’i dalam menyelesaikan permasalahan hadis-hadis yang bertentangan tersebut. Seperti disampaikan al-Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib wa al-Taysir: “Al-Syafi’i mengarang kitabnya (Ikhtilaf al-hadith), tidak bermaksud menyebutkan semua hadis-hadis yang bertentangan, melainkan al-Syafi’i hanya menyebutkan beberapa hadis-hadis yang bertentangan untuk menjelaskan bagaimana cara al-Syafi’i dalam menyikapi hadis tersebut”. Di dalam kitab ini, al-Syafi’i menyebutkan 253 hadis yang saling kontradiksi.

Al-Syafi’i dalam menyikapi dan menyelesaikan hadis-hadis yang berten angan dalam kitabnya “Ikhtilaf al-Hadith” memiliki beberapa metode yaitu: Pertama, metode jam’ yang berarti mengumpulkan, yaitu mengumpulkan dua dalil dengan cara mengamalkan keduanya tanpa membuang salah satunya. Al-Syafi’i menegaskan:“Selama dua hadis (yang bertentangan) masih memungkinkan difungsikan, maka hendaknya hal itu dilakukan tanpa menelantarkan salah satunya”.
Kedua, metode nasakh (pengubahan, penggantian). al-Syafi’i mengartikan nasakh dengan penurunan perintah yang bertentangan dengan perintah yang telah diturunkan sebelumnya. Nasakh dapat dilakukan jika terdapat dalil yang mendukung. Dalil dapat berupa dari Nabi, sahabat yang menyaksikan kejadian, rawi, atau informasi apapun yang dapat menunjukkan terjadinya nasakh.

Ketiga, Jika solusi jam’u dan nasakh tidak mampu menyelesaikan kontradiksi hadis, al-Syafi’i terakhir menawarkan metode tarjih al-riwayah, yaitu dengan membandingan kedua hadis yang kontradiktif tersebut dari segi validitasnya, jika salah satu hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur yang kuat sedang yang lain tidak, maka hadis yang kuatlah yang diamalkan.

Di sinilah kajian kritik sanad memiliki peranan penting untuk mengetahui kevalidan sebuah hadis. Namun al-Syafi’i juga menawarkan teori lain dalam menguatkan salah satu dari hadis yang kontradiktif, yaitu dengan metode penyesuaian dengan dalil lain, yakni pensesuaian dengan al-Quran dan Qiyas, jika salah satu hadis tersebut memiliki kesesuaian dengan dalil tersebut, maka hadis itu dianggap lebih kuat dibanding dengan yang lainnya.

 

sumber:Muslim Media News