Impian Amerika di Tanah Suci

Ada yang lain dari Bahasa Inggris Aksen Amerika Serikat. Saat diucapkan, ada semacam urgensi dalam nadanya. Orang mudah menangkap kesan, yang berbicara ingin dunia bergerak semau mereka. Setidaknya, demikian yang keluar dari mulut Yusuf Ali (50 tahun) saat ditemui di Bandara King Abdulaziz, Jeddah.

Pria itu berkulit legam dengan postur yang masih gagah meski tak sedemikian jangkung. Ada sekutip rambut putih di kepalanya. Coklat warna matanya ditutupi kaca mata tebal. Pakaian ihram sudah ia kenakan itu hari.

C’mon, I need to go to Mecca right now,” kata dia pada petugas Arab Saudi yang kemudian hadir memberikan bantuan.

Paspor berwarna biru tua bersegel gambar keemasan elang yang menggenggam 13 busur panah ia kibas-kibaskan. Agaknya Yusuf Ali paham, itu lelayang adalah salah satu yang paling kuat di dunia.

Ia menunggu tak sabar angkutan menuju Makkah itu hari. Rencananya, ia hendak menggunakan taksi saja sebab tak ingin menunggu lama. Apa mau dikata tak ada layanan transportasi itu dari Bandara Jeddah ke Makkah. Di sini bukan New York atau Los Angeles, atau Minnesota tempatnya tinggal.

Istrinya, Su’ad Yusuf punya pembawaan yang lebih santai dan ceria. Senyum kerap terkembang di wajahnya yang sewarna kayu jati dengan mata berbinar-binar. Hari itu, ia mengenakan abaya hitam dengan hijab di kepala. Ia perempuan yang tinggi semampai, masih belum hilang kecantikan masa mudanya.

“Berapa lama lagi dari sini sampai Makkah?” tanya dia. Saat mengetahui jawabannya hanya sekitar sejam berkendara dari Jeddah, ia menunjukkan keterkejutan yang tulus dengan rahang terjatuh dan mulut terbuka seperti aktris-aktris di film-film Hollywood. “Wow,sudah sebegitu dekatkah!?” kata dia penuh semangat.

Ia kemudian berkisah panjang soal jalan panjang memutarnya menuju Tanah Suci. Dari tempat Su’ad lahir di Mogadishu, Somalia, ke Arab Saudi sedianya hanya perlu menempuh perjalanan melalui darat ke utara kemudian menyeberangi Laut Merah ke timur.

Meski begitu, perang sipil meletus di Somalia sejak akhir 1980-an dan memuncak pada awal 1990-an. Sedikitnya 300 ribu orang tewas dari perang yang sampai sekarang belum benar-benar selesai itu. Su’ad menuturkan, beberapa keluarga jauhnya ikut jadi korban. Mata Su’ad tiba-tiba sendu saat mengenang perang tersebut.

Bersama ratusan ribu warga Somalia saat itu, Su’ad dan Yusuf Ali terpaksa melarikan diri dari gelombang kekerasan pada 1992. Mengarungi Afrika menuju ujung barat benua itu kemudian terbang melintasi Samudera Atlantik sebagai pengungsi ke Amerika Serikat.

Di Negeri Paman Sam, seperti banyak pengungsi dari Somalia lainnya, Yusuf Ali dan Su’ad memilih Minnesota di bagian Midwestern yang lebih dekat ke wilayah utara Amerika Serikat untuk memulai hidup baru. Minnesota saat ini adalah wilayah dengan komunitas keturunan Somalia terbanyak di Amerika Serikat. Sekitar 80 ribu keturunan Somalia tercatat tinggal di wilayah itu pada 2016.

Su’ad kembali tercengang saat tahu bahwa panas di Padang Arafah nanti bisa mencapai 53 derajat celcius alias 127 fahrenheit merujuk hitungan suhu standar AS. “Berbeda sekali dengan Minnesota yang dinginnya minta ampun,” kata dia.

Di Minnesota, mereka perlahan mencari modal bekerja serabutan untuk memulai usaha dan akhirnya punya cukup biaya untuk hidup nyaman. Empat putra-putri mereka lahir di tanah asing tersebut.

Yang paling tua, kata Su’ad, seorang putra berusia 23 tahun dan yang paling muda 15 tahun. Biaya sekitar 8.000 dolar AS atau setara Rp 115 juta untuk bepergian ke Tanah Suci untuk masing-masing orang dari Minnesota tak lagi memberatkan buat pasangan suami istri tersebut.

Seperti saat meninggalkan Somalia lebih dua dekade lalu, Yusuf Ali dan Su’ad kembali menempuh perjalanan berdua saja. Mereka mulanya berangkat dengan rombongan yang difasilitasi agensi perjalanan, namun memilih memisahkan diri di Dubai untuk menemui saudara jauh sejenak.

Su’ad mengatakan, sangat senang bisa bertemu banyak Muslim lainnya di Tanah Suci. Ini lain dengan keadaan di Tanah Air barunya yang tak begitu menenangkan buat umat Islam dengan kebangkitan sentimen tempatan belakangan beserta sorotan negatif terhadap imigran.

Yusuf Ali mengiyakan, kondisi di sebagian wilayah Amerika Serikat saat ini bukan yang paling ideal untuk umat Islam dan para imigran. Kendati demikian, ia tak bisa memungkiri, terbukanya kesempatan menggapai “American Dream” di negara itu adalah juga yang mengantarkannya ke Tanah Suci tahun ini.

“Ini memang sudah lama jadi impian terbesar saya. Kalau tak untuk berhaji, saya tak akan susah payah ke sini,” kata dia. “Saya ingin ke sini lima kali lagi,” kata Su’ad menimpali setengah berkelakar. Bus mereka menuju Makkah akhirnya tiba. Petugas dari Saudi melambaikan tangan memanggil mereka berdua. Sembari tersenyum lebar, Su’ad menemani Yusuf Ali berjalan menuju impian mereka.

Oleh: Fitriyan Zamzami dari Jeddah, Arab Saudi

 

REPUBLIKA