‘Implikasi besar’ Dipindahnya Kedutaan AS ke Baitul Maqdis

(Halaman 2 dari 2)

Sambungan artikel PERTAMA

Hatem Abudayyeh, salah satu pendiri Jaringan Komunitas Palestina AS, mengatakan bahwa tindakan kedutaan tersebut tidak mengejutkan, namun hal tersebut mengacu kepada pandangan dunia pada Trump.

“Sudah jelas bahwa pengetahuan, pemahaman, dan penghormatan terhadap sejarah, masyarakat internasional, hak masyarakat dan bangsa yang dia miliki sangatlah kurang,” katanya kepada MEE.

Abudayyeh mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Trump difokuskan pada upaya memperlemah milisi Syiah Hizbullah Libanon, Suriah dan Iran, dan melihat orang-orang Palestina sebagai salah satu “sektor perlawanan di dunia Arab”.

“Menyatakan bahwa Yerusalem (Baitul Maqdis) adalah ibu kota negara Yahudi pada dasarnya mengesampingkan penentuan nasib sendiri Palestina, mengabaikan hak kami untuk sebuah negara merdeka,” katanya.

 

Abudayyeh menambahkan bahwa langkah tersebut justru menghambat terciptanya solusi  damai.

Dia mengatakan bahwa meski deklarasi Trump tidak akan mengubah status praktis Yerusalem (Baitul Maqdis), yang telah berada di bawah kendali Israel selama lebih dari 50 tahun, namun fakta yang sebenarnya terjadi berbeda yang pada akhirnya memperkuat memperkuat pendudukan Israel atas Yerusalem (Baitul Maqdis).

 

Hubungan AS-Arab

Pemerintahan Trump telah menempatkan dirinya sebagai sekutu kuat Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir, memperlakukan mereka sebagai bagian integral dari sebuah aliansi regional melawan Iran.

Meskipun analisa dan desas-desus tentang munculnya aliansi Israel-Saudi, namun penyebab Palestina tetap berpusat pada massa Arab dan Muslim, termasuk di ibukota Arab yang dekat dengan Riyadh.

‘Menyatakan bahwa Baitul Maqdis adalah ibu kota negara Yahudi pada dasarnya mengabaikan penentuan nasib sendiri warga Palestina, mengabaikan hak kami menuju sebuah negara merdeka’.

Bannerman mengatakan bahwa langkah kedutaan tersebut akan menempatkan warga Arab Saudi dan warga Mesir dalam posisi yang sulit.

Meskipun demikian, Dia mencatat bahwa negara-negara Arab sedang menghadapi permasalahan domestik dan regional yang serius, sehingga masalah Palestina ini tidak menjadi “isu  utama”.

“Pada akhirnya, hubungan dengan Amerika Serikat – dengan semua masalah mereka yang lain – lebih penting,” kata Bannerman kepada MEE.

Zogby, dari AAI, mengatakan bahwa posisi AS di Palestina mempengaruhi kemampuan Washington untuk bekerja secara langsung dengan negara-negara Arab.

“Trump ingin menghadapi Iran dan mempertemukan orang Arab dan Israel; Itu tidak akan terjadi … kecuali jika mereka menyelesaikan Palestina, “kata Zogby.

Dia mengatakan negara-negara Arab memperjuangkan opini publik di AS, namun mereka juga tidak ingin mengambil langkah-langkah yang akan membahayakan opini publik di dalam negeri.

“Setiap pengumuman AS mengenai status Yerusalem sebelum penyelesaian akhir akan memiliki dampak yang merugikan pada proses perdamaian dan akan meningkatkan ketegangan di wilayah ini,” ujar Duta Besar Saudi untuk Washington Khalid bin Salman dalam sebuah pernyataan pada hari Senin.

“Kebijakan kerajaan selalu mendukung rakyat Palestina, dan ini telah dikomunikasikan ke pemerintah AS.”

Namun, di luar sensitivitas geopolitik terhadap Yerusalem melintasi seluruh dunia Muslim. Kota ini adalah rumah bagi Al-Aqsa, situs tersuci kedua Islam.

Memindahkan kedutaan dapat menyebabkan reaksi keras karena Yerusalem adalah masalah emosional bagi orang Arab dan umat Muslim, kata Zogby.

“Akan sangat mengerikan jika terjadi kekerasan, tapi permasalahannya ada pada orang-orang yang memprovokasi kekerasan tersebut,” tambahnya.

Menurut laporan media AS, Departemen Luar Negeri AS memperingatkan kedutaan besar Amerika di seluruh dunia untuk meningkatkan keamanan sebagai persiapan apabila terjadi demonstrasi jika Trump mengumumkan langkah kedutaan tersebut pada hari Rabu.

Yerusalem bukan hanya pertanyaan Palestina, kata Bannerman.

“Jika Anda menganggap hal tersebut hanya dalam konteks konflik Palestina-Israel, Anda tidak benar-benar memahami pentingnya Yerusalem,” kata Bannerman.

“Mungkin hal tersebut merupakan kelemahan dalam posisi administrasi; mereka tampaknya tidak mengerti bagaimana Yerusalem bergema di seluruh wilayah dan seluruh dunia Islam.”*

 

Oleh: Ali Harb,  pemikir Islam kontemporer asal Libanon. Artikel dimuat di  Middle East Eye (MEE) edisi Prancis. Diterjemahkan Muji Asri

 

HIDAYATULLAH