Ini Kisah Perjalanan Sandow Birk dalam Menulis American Qur’an

Sandow Birk, penulis buku American Qur’an berkelana ke banyak negara-negara Islam yang memiliki karya seni Islam di dunia.  Perjalanannya itu bersamaan dengan banyaknya peristiwa politik di seluruh dunia. Hal itulah yang kemudian membuatnya terinspirasi dengan Islam dan Alquran.

Selama perjalanannya itu, Birk melakukan kunjungan berulang untuk penelitian ke berbagai tempat. Dari masjid terbesar di Afrika hingga komunitas Muslim terpencil di daerah terluar di Mindanao, Filipina dan juga Kepulauan Andaman India.  (Baca Juga : American Qur’an, Ungkapan Kekaguman Seorang Ateis)

Penelitian ekstensifnya dilakukan dengan mendatangi tempat-tempat lain di sepanjang Maroko. Selain itu dia juga berkunjung di Institut du Monde Arab di Paris selama tiga bulan. Di sana, dia tinggal di Cité International des Artes.

Tidak hanya itu, dia juga berkunjung ke Perpustakaan Chester Beatty di Dublin. Chester Beatty disebut-sebut sebagai salah satu perpustakaan yang memiliki koleksi terbesar dan terbaik Alquran dengan tulisan tangan di dunia. Penelitian lebih lanjut dilakukannya pada Smithsonian Freer dan Sackler Galeri, serta Museu Calouste Gulbenkian di Lisbon.

Tidak seperti kitab Injil, yang menceritakan kisah-kisah pelayanan Yesus di bumi, Birk meyakini Alquran merupakan firman Allah. Hal itu menurut dia seperti yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad SAW pada abad ke 7 Masehi. Selain itu dia juga meyakini Alquran dikumpulkan bersama dan umumnya dikelompokkan menurut panjang (bukan secara kronologis).

“Sebanyak 114 bab (surah) membentuk kumpulan khutbah, seperti ‘wahyu’ yang merupakan teks dasar Islam,” katanya.

Birk menghabiskan waktu sembilan tahun menciptakan tulisan tangan Alquran. Dengan mengikuti tradisi kuno Arab dan naskah-naskah Islam, dia menerjemahkan seluruh teks Alquran. Dia menuliskan Alquran dengan bahasa seperti yang dilakukan di abad masa lalu. Dengan panduan tradisional termasuk warna tinta, format halaman, ukuran margin dan iluminasi judul halaman, termasuk juga corak hiasan yang menandai ayat-ayat dan bagian.

Dia menulis kaligrafi dengan menggunakan gaya Amerika. Yaitu seperti pesan-pesan di jalanan yang biasa disebut urban grafity yang ia temukan di sekitar lingkungannya di Los Angeles. Uniknya, setelah setiap bab diterjemahkan, setiap halaman dibubuhi dengan peristiwa-peristiwa dari kehidupan kontemporer Amerika.

Dia meneliti bagaimana pesan dalam Alquran tersebut yang berhubungan dengan kehidupan di Amerika Serikat saat ini.  Dengan mengadaptasi teknik dan gaya perangkat lukisan Arab dan Persia, proyek ini memadukan masa lalu dengan masa kini, Timur dengan Barat. Dari situlah buku American Qur’an tercipta.

 

sumber: Republika Online