Ini Rahasia di Balik Shalat

Oleh: Prof Nasarudin Umar, Guru Besar UIN Syarifhidayatullah, Jakarta

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kata shalat oleh kalangan sufi dihubungkan dengan derivasi besar (al-isytiqaq al-kabir), yakni dari huruf wa-sha-la yang kemudian membentuk beberapa kata, seperti washala (sampai, menyambung), washshala (menyampaikan), washil (tetap berfungsi), ittashala (berkelanjutan), shilah (perhubungan), washlun (tanda terima, resi), wushl (pertalian, per hubungan), washilah (keakraban, perkumpulan), wushul (suka atau banyak memberi), washil (menyambung), aushal (persediaan), maushil (tempat pengem bangan), muwashil (perhubungan).

Derivasi ini bisa mengungkap hakikat dan rahasia shalat. Seorang yang shalat berarti melakukan hubungan langsung (direct connecting) dengan Allah SWT.  Dengan demikian, tercipta rasa aman, tenang, damai, indah, sejuk, dan lapang di dada, seperti yang dilukiskan Allah dalam ayat, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Rad [13]:29).

Karena itulah, Allah SWT menyerukan, “Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha [20]:14).  Mengingat Allah SWT untuk menenangkan jiwa harus dilakukan secara konstan dan dengan waktu yang teratur, sebagaimana di tegaskan dalam ayat lain, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”  (QS an-Nisa [4]:103).

Melaksanakan shalat secara rutin sebagaimana waktu-waktu yang ditentukan Allah SWT diharapkan dapat melahirkan hamba-hamba yang istimewa, yakni hamba yang selalu berada di “dunia atas” (al-`alam al-`ulya), bukankah shalat itu adalah mikraj bagi orang yang beriman (al-shalatu mi’raj al- mu’minin), sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

Orang-orang yang berada di “dunia atas” ialah “mereka yang selalu menggunakan mata Tuhan untuk melihat dan telinga Tuhan untuk mendengar”, seperti dinyatakan dalam hadis. Orang- orang di “dunia atas” tidak lagi lebih tertarik terhadap urusan dan keperluan duniawi yang ada di “dunia bawah” (al-`alam al-sufl a).

Bukan berarti mereka tidak suka itu, tetapi mereka sudah melihat sesuatu dalam etalase Tuhan yang jauh lebih menarik daripada keseluruhan apa yang ada di dunia bawah. Bagaimana tidak tenang jika Tuhan sendiri meyakinkan mereka:  “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushshilat [41]:30).

Mungkin yang perlu ditekankan di sini ialah shalat yang bagaimana yang bisa mengorbitkan seseorang menuju “dunia atas”? Rasulullah SAW sendiri pernah mengingatkan kepada kita, “Sesungguhnya ada dua orang dari umatku mendirikan shalat. Rukuk dan sujudnya sama. Namun, perbedaan kualitas shalat antara keduanya bagaikan bumi dan langit.” Hadis ini mengisyaratkan kita untuk senantiasa memperhatikan kualitas shalat.

Allah SWT juga mengingatkan kita untuk memperbaiki kualitas shalat: “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat Wus thaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.”  (QS al-Baqarah [2]:238). Ciri-ciri shalat yang benar ialah shalat yang: “…mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.”

(QS al-Ankabut [29]:45), “…keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda me- reka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS al-Fath [48]:29).

Sebaliknya, shalat yang dilakukan secara sembrono dan ti dak memiliki dampak sosial dilukiskan dalam Alquran, “Maka kecelaka anlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)  orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS al-Maun [107]:4-7).

Dalam hadis juga digambarkan Nabi bagi orang yang shalat atau sujudnya bagaikan ayam yang mematok makanan. Maka, shalatnya akan dilipat lalu ditamparkan ke muka yang bersangkutan. Untuk meraih shalat yang memungkinkan seseorang mikraj ke “dunia atas”, seseorang betul-betul harus mengindahkan petunjuk dan directions Tuhan untuk sesuatu yang berhubungan dengan shalat.

Antara lain melakukan penyempurnaan thaharah, seperti mandi junub bagi orang yang janabah, berwudhu atau bertayamum dengan baik, menggunakan penutup aurat yang bersih dan muru’ah, melaksanakan atau menjawab suara azan, menghadap ke kiblat, dan melakukan amaliah shalat secara tumaninah.

Shalat yang khusyuk menurut kalangan sufi dimulai saat seseorang mengambil air wudhu. Di antara mereka ada yang mengatakan, orang yang tidak khusyuk saat mengambil air wudhu sulit untuk khusyuk di dalam shalat. Mereka menyarankan agar jangan ada kata- kata duniawi seusai mengambil air wudhu sampai selesai shalat.

Jika seseorang telah melakukan dosa, meskipun secara fi kih wudhu belum batal, disarankan agar mem- perbaharui wudhunya. Energi spiritual pada wudhu diperlukan untuk melahirkan shalat khusyuk. Allahu a’lam.