Islam, Iman, dan Ihsan

Islam memiliki beberapa pengertian. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang ada serta kesimpulan yang diberikan oleh para ulama. Secara umum telah kita pahami bahwa Islam adalah nama dari agama yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Inilah agama yang diajarkan oleh setiap rasul kepada umatnya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang menyerukan  ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’.” (QS. An Nahl : 36)

Islam dalam pengertian ini biasa didefinisikan secara lebih rinci oleh para ulama sebagai : “kepasrahan kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan melaksanakan segala ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelaku-pelakunya”. Islam dalam pengertian ini mencakup semua ajaran para rasul.

Adapun istilah Islam secara khusus adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menghapuskan syari’at umat-umat terdahulu. Agama para nabi itu satu (sama), walaupun syari’at mereka berbeda-beda, dan ini semua tentu dilandasi hikmah Allah Ta’ala.

Kemudian, Islam yang memiliki cakupan khusus ini -yang sekarang ini berlaku hingga akhir zaman-  dibangun di atas lima pondasi atau pilar sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril yang terkenal, yaitu : syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Inilah yang biasa kita kenal dengan istilah rukun Islam.

Dengan pemaknaan semacam ini, maka Islam lebih condong kepada syari’at-syari’at yang lahiriyah, sementara istilah iman -yang disebutkan dalam satu rangkaian pembicaraan dengan Islam- lebih condong kepada syari’at-syari’at yang batin (berkaitan dengan keyakinan dalam hati-red) atau biasa kita kenal dengan istilah pokok keimanan atau rukun iman, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir.

Namun, apabila istilah Islam dan iman disebutkan dalam konteks terpisah -Islam saja atau iman saja- maka makna keduanya akan melebur menjadi satu. Jika yang disebutkan Islam saja, maka Islam mencakup perkara lahir dan batin. Demikian juga iman. Sebab keislaman yang benar adalah yang ditegakkan di atas keislaman secara lahir dan batin. Demikian pula keimanan yang benar adalah keimanan yang ditegakkan di atas keimanan secara lahir dan batin.

Oleh sebab itu, para ulama kita mendefinisikan iman sebagai pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Iman itu meliputi perkara-perkara yang sifatnya wajib dan perkara yang sifatnya sunnah/mustahab. Sesuatu yang wajib apabila ditinggalkan akan merusak iman, berbeda halnya dengan perkara sunnah. Diantara perkara-perkara wajib itu ada yang termasuk pokok agama -yang apabila ditinggalkan menyebabkan keluar dari agama- dan ada yang menjadi cabangnya -yang tidak sampai menyebabkan keluar dari Islam bagi orang yang meninggalkannya-. Inilah kaidah yang harus kita pahami agar tidak salah dalam memahami iman.

Dalam masalah iman ini, ada dua kelompok besar yang menyimpang dari jalan yang benar, yaitumurji’ah dan khawarij atau wa’idiyah. Kaum murji’ah mengeluarkan amal dari hakikat iman. Sehingga menurut mereka keimanan itu cukup dengan pembenaran hati atau ditambah dengan ucapan lisan, sementara amal bukan bagian dari iman. Konsekuensi pendapat mereka ini adalah imannya orang yang paling salih sama dengan imannya orang yang paling bejat dan paling jahat. Hal ini karena mereka mengatakan amal tidak mempengaruhi keimanan. Tentu ini keliru.

Adapun kaum khawarij atau wa’idiyah menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar maka dia akan kekal di neraka kalau mati dan tidak bertaubat. Mereka tidak meyakini adanya orang-orang yang masuk ke neraka lalu dikeluarkan darinya dan masuk surga. Tentu keyakinan mereka ini bertentangan dengan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah. Diantara ciri kelompok ini juga adalah gemar mengkafirkan kaum muslimin selain kelompoknya terutama pemerintahnya.

Diantara perkara yang sering dilalaikan oleh mereka yang terpengaruh pemikiran khawarij ini adalah bahwa tidaklah setiap penafian (peniadaan) iman di dalam dalil Al Qur’an dan As Sunnah itu menunjukkan kekafiran pelakunya. Seperti misalnya, di dalam hadits disebutkan ‘Tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya’, maka makna ‘Tidak beriman’ di sini bukanlah kafir, akan tetapi dia telah meninggalkan salah satu kewajiban iman.

Demikian pula, diantara perkara yang sering dilupakan oleh mereka, bahwa pengkafiran itu bukanlah perkara yang ringan -sebab ia mengandung konsekuensi yang sangat berat-, dan membutuhkan penegakan hujjah (argument/dalil), terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidak dijumpainya penghalang-penghalang vonis kekafiran.

Di sisi lain, perlu diketahui bahwa pengkafiran itu ada dua macam. Ada yang disebut takfir muthlaq -tanpa mengaitkan dengan orang tertentu, hanya sifatnya- dan takfir mu’ayyan -yaitu dengan menunjuk orang tertentu dan menjatuhkan vonis kafir kepadanya-.

Diantara perkara yang telah disepakati para ulama adalah, bahwa barangsiapa yang mengingkari salah satu rukun iman maka dia menjadi kafir karenanya. Demikian pula orang yang tidak bersyahadat. Adapun mengenai hukum orang yang meninggalkan sholat, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengkafirkan dan sebagian yang lain tidak. Dan yang dimaksud meninggalkan sholat di sini adalah karena malas. Adapun apabila orang itu meninggalkan sholat karena menentang bahwa shalat itu wajib maka para ulama sepakat tentang kekafirannya.

Demikian pula termasuk perkara yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah apabila dia melakukan pembatal-pembatal keislaman seperti berbuat syirik akbar dalam bentuk berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain-Nya, sihir, dan lainnya. Demikian pula apabila ia menentang salah satu perkara yang secara mendasar diketahui sebagai bagian dari agama Islam, misalnya dia mengatakan bahwa khamr itu halal, zina itu halal, dan sebagainya.

Adapun istilah ihsan -sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril- maka maksudnya adalah beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau meyakini bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasi kita. Ini merupakan bentuk ihsan dalam beribadah kepada Allah. Ihsan ini mencakup dua tingkatan : [1] musyahadah, yaitu menyaksikan kebesaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan [2]muraqabah, merasa diawasi Allah. Tingkatan pertama adalah tingkatan yang lebih utama.

Di sisi lain, ada juga ihsan dalam berinteraksi dengan sesama, yaitu dengan berbuat baik kepada orang lain sesuai dengan hak mereka masing-masing, seperti kedua orang tua, tetangga, kerabat, anak, istri, bahkan kepada hewan dan tumbuhan sekalipun. Ciri orang yang baik adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam berinteraksi dengan sesama makhluk. Oleh sebab itu Allah sering menggandengkan antara perintah sholat dengan perintah zakat. Karena sholat adalah simbol ihsan dalam beribadah kepada Allah, sedangkan zakat adalah simbol ihsan dalam bergaul dengan sesama.

 

Ustadz Ari Wahyudi, S.Si

 

sumber: Buletin At Tauhid