Jangan Putus Asa ketika Melihat Kerusakan di Tengah Masyarakat

Menjadi kewajiban kita untuk tidak berputus asa ketika berusaha melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat. Meskipun kita melihat terdapat berbagai jenis kerusakan di tengah-tengah mereka. Bagaimanapun, kebatilan haruslah dilawan dengan kebenaran (al-haq). Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّاً مِّنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً

Dan seperti itulah, telah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong” (QS. Al-Furqan [25]: 31).

Orang-orang yang menyimpang akan selalu berusaha untuk menyesatkan manusia dan menyembunyikan kebenaran dari kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin pun buta, manakah kebenaran dan manakah kebatilan. Akan tetapi, Allah Ta’ala menjanjikan,

وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً

“Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk (hidayah).”

Yaitu, ketika musuh-musuh para Nabi berusaha untuk menyesatkan kalian.

وَنَصِيراً

“dan Penolong.”

Yaitu, ketika musuh-musuh para Nabi berusaha untuk merintangi dari jalan kebenaran.

Oleh karena itu, kita tidak boleh berputus asa. Kita hendaknya terus membesarkan jiwa dan berusaha, karena sesungguhnya akhir yang baik itu akan bersama dengan orang-orang yang bertakwa.

Lihatlah bagaimana kesabaran Nabi yang luar biasa dan juga harapan yang tinggi ketika berdakwah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh melihat ke depan, bahkan ketika beliau mendapatkan penolakan dan gangguan luar biasa dari kaumnya. Yaitu pada hari ketika beliau pulang dari Thaif, ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi penduduk Thaif untuk menuju Allah Ta’ala, namun mereka menolak dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah selengkapnya adalah sebagaimana hadis berikut ini.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhu, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bercerita kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah baginda pernah mengalami peristiwa yang lebih berat dari kejadian perang Uhud?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

“Sungguh aku sering mengalami peristiwa dari kaummu. Dan peristiwa paling berat yang pernah aku alami dalam menghadapi mereka adalah ketika peristiwa Al-‘Aqabah. Saat aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdu Kulal agar membantuku, namun dia tidak mau memenuhi keinginanku. Hingga akhirnya aku pergi dengan wajah gelisah dan aku tidak menjadi tenang kecuali ketika berada di Qarnu Ats-Tsa’aalib (Qarnu al-Manazil). Aku mendongakkan kepalaku. Ternyata aku berada di bawah awan yang memayungiku, lalu aku melihat ke arah sana dan ternyata ada malaikat Jibril yang kemudian memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan apa yang mereka timpakan kepadamu. Dan Allah telah mengirim kepadamu malaikat gunung yang siap diperintah apa saja sesuai kehendakmu.” Maka malaikat gunung berseru dan memberi salam kepadaku kemudian berkata, “Wahai Muhammad.” Dia berkata, “Apa yang kamu inginkan katakanlah. Jika kamu kehendaki, aku timpakan kepada mereka dua gunung ini.”

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Tidak. Bahkan aku berharap Allah akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang yang menyembah Allah satu-satunya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun” (HR. Bukhari no. 3231).

Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa bersabar dan berusaha, terus memupuk harapan, bahwa masyarakat kaum muslimin akan sedikit demi sedikit mengalami perbaikan. Wallahu Ta’ala a’alam.

[Selesai]

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Artikel: Muslim.or.id