Beberapa waktu lalu jagad media sosial dibuat heboh dengan aksi beberapa Muslim yang mengumandangkan azan dengan versi baru. Dalam hal ini, mereka mengubah redaksi (ṣîgah) “hayya ‘ala ash-shalah (mari menuju salat)” menjadi “hayya ‘alal jihad (mari menuju jihad).” Entah apa motivasi dan tujuan mereka mengubah redaksi azan tersebut. Entah apa dasar (dalil) mereka sehingga berani mengubah redaksi azan tersebut.
Namun, tindakan mereka ini memberikan kesan seakan-akan redaksi (shigah) azan merupakan perkara mu‘amalah yang bisa dikreasikan dan diubah sesuai keinginan. Padahal azan adalah perkara ibadah yang bersifat tetap. Semua redaksi azan berdasarkan hadis, bukan berdasarkan ijtihad para ulama fikih. Dalam hal ini, para ulama fikih Sunni (mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab asy-Syafi‘i, dan mazhab Hanbali) sepakat bahwa redaksi azan yang asli dari Rasulullah saw. adalah redaksi azan yang sudah diketahui secara umum yang tersiar secara turun-temurun tanpa dikurangi dan ditambahi (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillatuhu, 1985, I: 543).
Adapun penambahan redaksi “ash-shalah khairun min an-nawm (salat adalah lebih baik daripada tidur)” setelah kalimat “hayya ‘ala al-falah (mari menuju kemenangan)” di waktu subuh adalah berdasarkan hadis dari Sayyidina Bilâl ra., bukan berdasarkan ijtihad para ulama fikih (hlm. 543). Oleh karena itu, tindakan beberapa Muslim yang mengubah redaksi “hayya ‘ala ash-shalah” menjadi “hayya ‘alal jihad” ini termasuk bid‘ah sayyi’ah apabila tidak memiliki dalil yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan Islam (ushul fikih). Sebab, mereka telah mengubah ajaran Islam yang berkaitan dengan redaksi azan―yang memang bersumber dari Rasulullah saw.
Hayya ‘alal jihad al-Akbar: Mari Menuju Jihad Besar
Saya juga tidak tahu maksud mereka mengenai kata “jihad” dalam redaksi “hayya ‘alal jihad” tersebut. Dalam hal ini, apakah “jihad” di situ bermakna “mari berperang melawan orang-orang kafir dan musuh” atau “mari berperang melawan hawa nafsu dan setan”?
Namun, ketika melihat ekspresi mereka ketika mengumandangkan azan versi baru tersebut, maka saya berasumsi bahwa “jihad” di situ bermakna “perang melawan orang-orang yang dianggap musuh”, bukan “perang melawan hawa nafsu dan setan”. Asumsi semacam ini semakin kuat ketika melihat video lain yang memperlihatkan beberapa Muslim mengumandangkan azan versi baru sembari memegang parang dan celurit.
Jika asumsi saya tersebut benar, yaitu beberapa Muslim itu mengajak Muslim lain berperang melawan orang-orang kafir melalui kalimat “hayya ‘alal jihad”, maka ajakan tersebut dalam konteks Indonesia adalah salah sasaran dan tidak bisa dibenarkan, baik secara hukum agama maupun hukum negara. Sebab, Indonesia merupakan negara damai, bukan negara perang yang sedang dijajah oleh para musuh. Bahkan saat ini masyarakat Muslim Nusantara bisa hidup tenang sembari menjalankan ajaran-ajaran Islam secara aman dan merdeka.
Baiklah, menurut Imam Ahmad ash-Shawi, jihad merupakan salah satu ketaatan yang paling agung. Hal ini dipahami dari firman Allah dalam al-Ma’idah (5): 35, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung” (Tafsir ash-Shawi, I: 282).
Namun demikian, jihad sendiri masih terbagi menjadi dua macam, yaitu: al-jihad al-akbar (jihad besar) dan al-jihad al-asgar (jihad kecil). Jihad kecil adalah berperang melawan orang-orang kafir. Sementara jihad besar adalah berperang melawan hawa nafsu dan setan (hlm. 282). Hal ini diperkuat dengan pendapat Imam al-Maragi. Menurutnya, para ulama salaf menyebut perang melawan hawa nafsu sebagai al-jihad al-akbar (jihad besar). Salah satu bentuk jihad besar ini adalah perjuangan manusia dalam rangka melawan gelora syahwatnya, terutama sekali ketika masih muda (Tafsir al-Maragi, 1946, IV: 83).
Dengan demikian, musuh umat Islam secara garis besar ada dua, yaitu: pertama, musuh yang tampak/zahir seperti orang-orang kafir yang menyerang; kedua, musuh yang tidak tampak/batin seperti hawa nafsu dan setan. Perang melawan orang-orang kafir yang menyerang ini dilakukan dengan cara mengerahkan fisik, kekuatan, dan taktik untuk melawan mereka. Sementara perang melawan hawa nafsu dan setan adalah mengabaikan dan meninggalkan bujuk-rayu jahat yang senantiasa bergejolak dalam hati dan pikiran (Tafsir ash-Shawi, III: 111 & I: 282).
Adapun pembagian dua jenis jihad (besar dan kecil) adalah berdasarkan hadis, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah berkata kepada sekolompok tentara perang Muslim yang datang menemuinya, yaitu: “kalian datang ke sebaik-baik tempat datang. Kalian datang dari jihad kecil (al-jihad al-asgar) menuju ke jihad besar (al-jihad al-akbar).” Ketika ditanya apa itu jihad besar, maka Rasulullah saw. menjawab: “yaitu jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya” (Imam al-Maragi, Tafsir al-Maragi, 1946, XVII: 148).
Menurut Imam Ahmad ash-Shawi, perang melawan orang-orang kafir disebut jihad kecil (al-jihad al-asgar) karena ia bersifat kondisional dan temporal. Artinya, jihad kecil ini terkadang ada (yaitu ketika musuh menyerang) dan terkadang juga tidak ada (yaitu ketika kondisi aman dan normal). Sebab, ia sangat bergantung kepada ada dan tidaknya musuh yang menyerang. Bahkan terkadang para musuh tersebut masih bisa diajak berdialog dan berdamai. Oleh karena itu, ketika ada orang-orang kafir menyerang umat Islam, maka di sinilah jihad kecil wajib ditegakkan. Namun, apabila kondisi dalam keadaan aman (seperti di Indonesia saat ini), maka jihad kecil ini tidak boleh dilakukan (I: 282 & III: 111).
Sementara perang melawan hawa nafsu dan setan disebut jihad besar (al-jihad al-akbar) karena ia senantiasa ada dalam sepanjang hidup umat manusia dan tidak pernah jeda meskipun sekejap mata. Sebab, hawa nafsu dan setan selama-lamanya tidak bisa diajak berdamai. Artinya, selama manusia masih mengembuskan napas, maka hawa nafsu dan setan selama-lamanya tidak akan berhenti menggoda dan memerangi hati dan pikirannya (I: 282 & III: 111). Bahkan setan berjanji kepada Allah tidak akan pernah berhenti menyesatkan umat manusia agar berbuat maksiat dan kekafiran selagi mereka masih mengembuskan nafas.
Selain itu, dalam konteks jihad kecil, menurut Imam Ahmad ash-Shawi, apabila seorang Muslim berhasil membunuh orang kafir yang menyerang, maka dia sangat beruntung dan berhak mendapatkan surga. Namun, apabila Muslim tersebut terbunuh, maka dia menjadi seorang syahid yang akan ditempatkan di dalam surga yang elok dan menawan. Sementara dalam konteks jihad besar, apabila hawa nafsu dan setan berhasil mengalahkan dan “membunuh” seorang Muslim, maka dia menjadi orang yang celaka dan masuk neraka (I: 282 & III: 111).
Indonesia Saat Ini Butuh Jihad Besar, Bukan Jihad Kecil
Saat ini Indonesia adalah negara damai, bukan negara perang. Oleh karena itu, jihad kecil dalam konteks sekarang tidak dibutuhkan di Indonesia. Sebab, tidak ada orang-orang kafir atau musuh yang menyerang masyarakat Muslim. Sebaliknya, beberapa waktu lalu oknum-oknum Muslim yang tergabung dalam jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) melakukan penyerangan dan pembunuhan secara brutal terhadap beberapa non Muslim di Sigi, Sulawesi Tengah.
Padahal Rasulullah saw. melarang umat Islam menyerang orang-orang non Muslim yang tidak menyerang, sebagaimana disampaikan oleh Habib Munzir al-Musawa dalam salah satu ceramahanya. Habib Munzir menjelaskan bahwa jihad berbeda dengan emosi.
Sebab, emosi bukanlah jihad, tetapi tipu daya setan. Sedangkan jihad memiliki aturan-aturan tersendiri, bukan bertindak sewenang-wenang dan penuh emosi.
Menurut Rasulullah saw. (sebagaimana disampaikan oleh Habib Munzir), seorang Muslim yang sedang berjihad (berperang) melawan orang-orang kafir yang menyerang tidak boleh memukul wajah; tidak boleh menyerang wanita dan anak-anak; dan tidak boleh menyerang orang yang tidak menyerang.
Oleh karena itu, Indonesia saat ini membutuhkan jihad besar (al-jihad al-akbar) yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. Jihad besar ini dalam rangka melawan hawa nafsu dan setan yang selalu menggoda dan menyuruh setiap insan untuk berbuat keburukan, kekafiran (baik terhadap keberadaan Tuhan maupun terhadap ajaran-ajaran Tuhan), dan kerusakan di muka bumi.
Beberapa keburukan dan kekafiran (atas ajaran-ajaran Tuhan) yang sangat membahayakan kehidupan bangsa Indonesia adalah: kezaliman, ketidakadilan, dekadensi moral, narkoba, korupsi, kapitalisme dan oligarki yang menyengsarakan rakyat, mafia hukum, radikalisme agama, separatisme, hoaks, ujaran kebencian, ceramah dan konten keagamaan yang provokatif dan menebarkan kebencian, serakah, merasa paling benar sendiri, egois, sewenang-wenang, mau menang sendiri, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, setiap Muslim harus sama-sama berjihad melawan beberapa keburukan dan kekafiran tersebut. Tentu jihad besar ini harus dimulai dari diri sendiri.
Selain itu, salah satu bentuk jihad di jalan Allah yang harus dilakukan oleh setiap Muslim adalah memperjuangkan dan menegakkan keadilan, menolak dan mencegah kerusakan dan kemudaratan, dan memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kehidupan manusia.
Dalam hal ini, Imam al-Maragi menyebutkan bahwa jihad di jalan Allah (jihad fi sabillah) adalah semua perkara yang dilakukan dalam rangka mempertahankan dan mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan untuk kehidupan manusia (Tafsir al-Maragi, 1946, VI: 109). Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.
BINCANGSYARIAHcom