Jika Allah sudah Menakdirkan, Manusia Bisa Apa?

“KAK, jemput ayah dan urus ayah, aku udah gak bisa mengurusnya. Sakitnya makin parah, untuk bergerak dari kasur pun sudah tidak bisa. Aku gak sanggup menggendongnya, begitu juga suamiku. Kita sudah terlalu sibuk.”

Adikku mengomel panjang lebar, mengeluh atas kondisi ayah kami yang kian hari penyakit diabetes semakin mengerogoti tubuhnya. Walaupun aku seorang dokter, tapi aku belum bisa berbuat banyak untuk pengobatan ayahku.

Banyak hal, yang membuat aku sulit untuk sesering mungkin menjenguk orangtuaku di Ibu Kota Jakarta. Profesi sebagai dokter, tidak serta merta menaikkan tingkat ekonomi kehidupanku. Ditambah saat ini aku sedang melanjutkan sekolah spesialis.

Namun, mendengar ocehan adik perempuanku yang selama ini hidup seatap dengan orangtuaku, cukup menyayat hatiku dan bagaikan tamparan keras untukku. Apa yang sudah aku perbuat untuk kedua orangtuaku? Dan apa yang bisa untuk membantu pengobatan ayah? Rabb, bantu hamba.

Malam itu, selesai fardu Isya aku benar-benar menyampaikan semua beban hidupku kepada-Nya. Zat yang Maha mendengar dan Maha Besar. Permintaan yang selama ini hampir tidak pernah kusebut dalam doaku. Ya, permintaan agar Allah memberikan aku kemampuan untuk menjemput orangtuaku. Dan yang paling penting adalah keikhlasan untuk mengurus ayahku sampai akhir hayatnya. Sosok yang begitu keras dan kejam padaku saat ku kecil dulu, dan begitu sayang pada adik perempuanku. Dan hampir aku membencinya karena sikap kasar dan pilih kasihnya itu. Ya Allah, maafkan pikiran kotor hamba.

Akhirnya, aku terbang ke Jakarta, menjemput orangtuaku untuk kubawa ke Aceh, kota kedua yang selama 12 tahun ini menjadi tempat tinggalku. Aku memboyong orangtuaku ke Aceh dengan segala kemampuan tenaga dan keuanganku.

Di rumah kontrakan kecil itu aku mengurus ayah. Menggendongnya setiap pagi ke kamar mandi, mengelap tubuh dan membersihkan belatung-belatung kecil di luka kakinya akibat diabetes. Hal ini selalu aku lakukan sebelum aku berangkat beraktivitas. Tidak ada lagi sosok kasar dan kejam yang selalu memukul dan mengusirku. Yang ada hanya seonggok tubuh yang lemah dan pasrah akan sakitnya.

Aku mengurus ayah dan ibuku semampuku. Ku obati ayah dengan kemampuan medisku. Aku menegakkan salat, dan ibuku berdoa sesuai keyakinannya, Kristen. Toleransi, itulah yang kami tanamkan dalam keluarga.

Sebulan, hanya sebulan Allah memberiku kesempatan mengurus orangtuaku, terutama ayah. Hingga pada akhirnya roh itu diambil dari raga ayah. Tepat menjelang Asar, Izrail menjemput ayah. Dan, yang paling membuatku bersyukur adalah kesempatan dari Allah yang selama ini menjadi harapan tersembunyi dalam ibadahku. Aku membimbing ayah mengucap dua kalimat syahadat di ujung napasnya. Alhamdulillah, ayah menghadap Illahi dalam keadaan muslim.

Memaafkan dan keikhlasan adalah memang pelajaran hidup yang sangat sulit untuk dipraktikkan. Tidak semudah saat kita menyebutnya. Allah memang telah menakdirkanku hidup jauh dari keluarga. Memiliki keyakinan berbeda dengan keluarga. Menjalani kehidupan seorang diri di kota orang. Tak mengapa, aku ikhlas menjalani takdirku. Sebab, akan ada balasan dari-Nya atas sebuah keikhlasan. Jika Allah swt telah menakdirkan, manusia bisa apa? Cukuplah dengan ikhlas menjalani takdir-Nya. [yha]

 

sumber:Inilah.com