Kasus Corona, Antara Memelihara Agama dan Jiwa

Merebaknya virus corona, mengharuskan penjagaan terhadap agama (hifdz al-din) tidak boleh bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat

MUNCULNYA  wabah virus corona (COVID-19) telah menimbulkan kebingungan di kalangan kaum Muslimin.  Bukan hanya karena telah merenggut nyawa banyak orang, tetapi juga adanya perbedaan fatwa di kalangan ulama berkaitan hukum yang menyertainya

Sebagian ulama dengan tegas menfatwakan supaya kaum Muslimin menghindari wabah tersebut dengan membolehkan meninggalkan shalat jamaah dan shalat Jumát. Alasannya, salah satu media yang sangat potensial bagi penularan virus itu adanya kerumunan atau perkumpulan. Dalam shalat berjamaah tentu terjadi pertemuaan banyak orang di satu tempat.

Namun, ada sebagian ulama yang tidak setuju dengan pendapat tersebut.  Alasannya, menjalankan hukum-hukum Islam merupakan prinsip agama walaupun harus mengorbankan jiwa, seperti jihad fi sabilillah.

Bukti menjalankan hukum agama di antaranya melaksanakan dzikrullah di masjid-masjid serta memakmurkannya dengan shalat fardhu dan shalat Jumat. Karena itu masjid tidak boleh ditutup.  Dasarnya adalah pendapat  Ibnu Taimiyah bahwa haram menutup masjid-masjid untuk pelaksanaan amalan-amalan yang untuk itu disyariatkan pembangunan masjid (Majmu’ul Fatawa XXXI/255). Demikian juga pendapat Al-Aini bahwa dimakruhkan mengunci pintu masjid karena seakan-akan itu merupakan larangan shalat (Al-Binayah Syarhul Hidayah lil Marghinani fi Fiqhil Hanafiyah, II/470).

Mengunci pintu masjid mirip dengan tindakan melarang, sehingga dimakruhkan. Ini berdasar  firman Allah Ta’ala: “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang melarang berzikir mengingat Allah di masjid-masjid Allah?” (QS: al-Baqarah:114).

Bahkan ulama yang menfatwakan larangan shalat di masjid karena corona dituduh terpengaruh paradigma Barat yang sekuler dan materialistis. Barat memandang manusia sebagai komoditas yang khawatir musnah atau setidaknya rugi secara materi yang akan menjadi beban negara.

Karena pemikiran tersebut, kehidupan dunia lebih penting daripada kemaslahatan agama, iman, dan akhirat. Cara pandang Barat yang materialistis itu telah mendominasi dalam penyikapan terhadap wabah corona dengan membatasi persoalan ini sebagai wilayah thibb thabi’i semata seperti upaya kehati-hatian, pencegahan, dan pengobatan. Namun di saat yang sama memutus hubungan dengan alam ghaib dan thibb imani yang mengharuskan bertaubat, berinabah, berdoa, dan bertawakal kepada Allah. Juga bersabar terhadap ujian-Nya, ridha kepada takdir-Nya, serta kesadaran akan keagungan-Nya. Padahal, itu semua merupakan hakikat keimanan kepada Allah!

Karenanya,  ada pendapat sebuah kebatilan bagi orang yang memahami hakikat Islam, Iman, dan tauhid jika menutup masjid.

Sedang ulama yang menerbitkan fatwa berisi himbauan meniadakan penyelenggaraan shalat Jumat dan berjamaah di masjid di wilayah terpapar wabah corona didasarkan pada  Firman Allah Ta’ala:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kalian jatuhkan diri kalian dalam kebinasaan dengan tangan kalian sendiri. Dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS: Al Baqarah 195).

Demikian juga sabda Rasulullaah ﷺ “Tidak boleh ada bahaya dan sesuatu yang menyebabkan bahaya.” (HR. Ibnu Majah, Daruqutni).

Demikian juga larangan Rasulullah ﷺ dalam riwayat Muslim, bagi orang yang memakan bawang mendekati masjid karena baunya dapat mengganggu orang lain. Jika orang seperti ini saja dilarang apalagi bagi orang yang mungkin menjadi sebab sakit dan kematian bagi orang lain.

Apalagi hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para ulama salaf. Ketika itu di tahun 448 H terjadi kekeringan parah di Mesir dan Andalusia, dan di Qordoba tidak terjadi kekeringan dan wabah seperti itu, sampai-sampai masjid ditutup dan tidak ada orang shalat. (Siyar A’lam an Nubala, 18/311).

Antara Hifdun Din dan Hifdun Nafs

Islam hadir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya  al-Mustashfa, kemaslahatan mencakup tiga hal penting, yaitu(primer), Hajjiyah (sekunder) dan Tahsiniyah (tersier). Yang mana dalam setiap tingkatan kemaslahatan tersebut mencakup lima hal penting yaitu hifdzud Din (memelihara agama), hifdzun nafs (memelihara jiwa), hifdzun nasl (memelihara keturunan), hifdzul aql (memelihara akal) dan hifdzul mal (memelihara harta). Kelima hal tersebut kemudian dikenal sebagai tujuan-tujuan utama syariah atau agama hadir adalah untuk menjaga hal-hal tersebut.

Para ulama sepakat bahwa dalam prakteknya, kelima hal tersebut tidak boleh saling bertentangan satu sama lainnya. Misalnya hifdzud din (memelihara agama), bukan hanya sekedar menjaga kesucian agama, namun juga membangun sarana ibadah dan menciptakan pola hubungan yang sehat dalam menjalankan agama, baik antar sesama agama maupun dengan orang beda agama.

Secara tidak langsung, hak ini digunakan untuk menciptakan situasi kondusif dalam mewujudkan  keberagamaan seseorang. Dalam konteks sekarang, kebolehan mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur  karena adanya wabah adalah bentuk memelihara agama sekaligus memelihara jiwa.

Adalah Rasulullah ﷺ sangat tidak suka  terhadap fatwa yang mengancam dan mengorbankan nyawa manusia. Abu Dawud meriwayatkan, “Dari ‘Atha` bin Abi Rabah bahwasanya dia mendengar Ibnu Abbas berkata: Ada seseorang terluka pada masa Rasulullah , kemudian dia bermimpi basah, lalu dia diperintahkan untuk mandi, maka dia mandi dan meninggal. Kejadian ini kemudian sampai kepada Rasulullah , maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka! Bukankah obat dari kebodohan adalah bertanya!” (HR: Abu Dawud).

Dalam hadis di atas, sejumlah Sahabat memberi fatwa untuk mandi kepada seorang Sahabat yang sedang junub, padahal di kepalanya ada luka parah. Akibatnya Sahabat ini wafat. Karena itulah Rasulullah ﷺ sangat marah dan mensifati pemberi fatwa dengan penisbatan pada pembunuhan.

Padahal, para Sahabat yang berfatwa tentu berniat baik dengan menyuruh Sahabat yang terluka tetap dalam ketakwaan. Juga supaya tidak melanggar perintah Allah untuk bersuci dengan air, yang berarti berada dalam jalan kesalihan dalam kondisi apapun.  Akan tetapi ternyata kondisi seperti ini tidak menyelamatkan mereka  mendapatkan teguran keras dari Rasulullah ﷺ.

Demikian juga ketika ada kasus pandemi, Rasulullah ﷺ juga menegaskan agar tidak mendatangi tempat yang terkena wabah dan yang sudah ada di wilayah tersebut tidak keluar agar tidak menular ke orang lain. Hal ini kemudian juga dipraktekkan ole para Sahabat seperti Umar bin Khatab yang membatalkan ke Damasku karena di wilayah tersebut terkena pendemi thaún.

Banyak kitab para ulama yang mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad ﷺ dan  para Sahabat menyikapi pandemi. Para Sahabat  bukan dengan menantangnya atas nama tauhid, atau atas nama “hanya takut pada Allah”.

Ini berbeda dengan masyarakat Eropa jaman itu yang karena kefanitikannya menyikapi the Black Death. Yang menuduh kaum Yahudi sebagai penyebabnya sehingga Tuhan murka. Akibatnya, , ribuan Yahudi dipersekusi.

Merebaknya virus corona yang sangat mematikan saat ini, mengharuskan penjagaan terhadap agama (hifdz al-din) tidak boleh bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat yang lainnya yaitu salah satunya adalah menjaga jiwa (hifdzun nafs).

Kebolehan untuk mengganti shalat Jumat tidak lain adalah bagian dari penjagaan atas hak hidup manusia atau jiwa manusia. Tanpa meninggalkan penjagaan terhadap agama, yaitu tetap beribadah dengan mengganti shalat Jumat dengan shalat Dzuhur. Wallahuálam.*

Dosen Ushul Fiqh, Sekretraris MIUMI Jawa Timur

HIDAYATULLAH