Kata adalah Kematangan

Imam al-Haramain al-Juwaini, ulama terpandang masa itu, gusar dengan kecakapan ilmu sang murid sekaligus asistennya kala mengajar di Madrasah Naisabur. Sang murid baru saja membuahkan telaahnya dalam karya berjudul al-Mankhul.

Karya inilah yang membuat terkesima al-Juwaini sampai dengan nada gusar—tentu sembari bercanda—berujar pada sang murid, “Engkau telah menguburkanku sedangkan aku masih hidup! Tidak sabarkah engkau menunggu hingga aku meninggal?”

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, sang murid, tentu wajar patut berbangga. Sayang, bangganya berkawankan besar kepala. Abu Hasan Abdul Ghafir bin Ismail al-Farisi memberikan kesaksian perangkai al-Ghazali, “Perangainya kurang terpuji, selalu memandang rendah kepada orang lain karena angkuh dan sombong dengan kecerdasan, kemahiran berbicara dan pangkat yang dimilikinya.”

Demikian dicatat Majid Irsan Kaylani (2000) dalam telaah emasnya soal kiprah al-Ghazali, Hakadha Zahara Jailu Salahu al-Din wa Hakadha ’Adat al-Quds. Riwayat kebesaran kepala al-Ghazali tersebut berlangsung saat usia mudanya. Kelak ketika bersua Fadhil bin Muhammad al-Farmadzi, perubahan drastis terjadi dalam diri al-Ghazali. Besar kepalanya berubah menjadi sikap tawadhuk.

Perkembangan umur seseorang sering jadi penanda kedewasaan berpikir (juga bersikap). Sering kali kecerdasan pikiran tak seiring kematangan jiwa bestari. Letupan emosi ringan meruahkan amarah. Dus, kecerdasan yang dimiliki sering kali ringkih saat hasrat amarah tak bisa dibendung hadir dengan kata-kata. Bisa hadir dengan sombong, antikritik, atau arogansi bersikap. Semua ini lebih mungkin dihadirkan pada mereka yang punya “modal”, semisal kecerdasan atau kekayaan jabatan.

Sesungguhnya seorang remaja putri dari Banyuwangi yang beberapa tempo ini menyita perhatian publik media sosial dengan ulasan soal isu keagamaan contoh betapa kebijakan menghadapi usia perkembangan masih relevan. Tetap diperlukan bagi kita agar mengerem potensi dari rahim umat agar tidak kebablasan dan jatuh sebagai musuh Islam pada waktunya kelak. Serupa peran al-Farmadzi saat mendapati potensi amat besar al-Ghazali. Ada kalangan lain yang senang dengan uraian sang remaja karena menguntungkan pandangan pemikirannya.

Uraiannya kelihatan hebat, tapi sebenarnya biasa saja karena muncul bukan dari sebuah perenungan matang. Informasi yang ada diseleksi sesuai mekanisme berpikirnya; berpikir saat ini yang mungkin berkembang. Ia belum beranjak hebat serupa al-Ghazali, sehingga tidak perlu berlampauan menghadapinya. Usia dan potensinya perlu diarahkan pada jalur keilmuan semestinya selaku muslim beradab.

Justru yang kadang dahi publik berkernyit patut adalah bilamana mendapati sosok berpengaruh dan sudah sepuh masih mengumbar kata-kata “menyalak” serupa remaja yang mencari perhatian. Tanpa data, apalagi perenungan mendalam, mudah membuat vonis. Masjid kampus dilabel radikallah; menonton tayangan asusila lebih mendinglah karena mengundang istighfar. Dan sayangnya, sang sosok bukan sekali dua kali berujar dangkal. Padahal, titel tinggi dan sebutan ulama terhormat dari mana-mana sudah didapuk. Sayang, dewasa berpikirnya belum hadir. Hasrat menilai pihak lain yang tidak sepakat dengannya mencerminkan krisis adab selaku anutan umat di kelompoknya.

Imam al-Ghazali muda memang pernah besar kepala. Kata-katanya begitu pongah. Tapi itu kemudian diganti dengan untaian hikmah. Bukan lisan meremehkan atau merendahkan yang hadir, apatah lagi al-Ghazali sudah semakin naik posisinya selaku teladan bagi banyak anak didiknya.

Perkembangan umur seseorang dan kapasitas kecerdasan yang dimilikinya mestilah bisa beriringan. Kalaupun pernah masuk dalam kontroversi, ini bukan selalu akhir perjalanan seseorang. Siapa tahu sekadar minimnya informasi. Atau ingin mencuri sensasi sebagai tipikal gairah usia muda para peniti ilmu. Nah, yang repot kalau usia sudah uzur tapi masih setia memerlukan sensasi ataupun kontroversi agar diperhatikan kepentingannya. Padahal, ujaran-ujaran semacam itu hanya merendahkan bobot kecerdasan sejati yang dimilikinya.

Repotnya, hari ini banyak orang yang mendakwa diri pengamat atau kaum akademisi tapi mudah asbun mengulas sesuatu. Berkomentar asal demi salurkan dengki kelompok. Mirip seorang pejabat publik yang tanpa risih mengomentari kejadian bom di Jakarta beberapa hari lalu tanpa melihat kedudukannya. Asalkan dengki punya celah penyaluran, kata-kata merusak persatuan anak bangsa diumbar. Akal dan kesadaran posisinya diruntuhkan olehnya. Hanya oleh kata dalam cuitan biadabnya.

 

Oleh Yusuf Maulana, Kurator pustaka lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta

REPUBLIKA