Kaum Khawarij Masa Kini

Secara harfiah, khawarij berarti ‘mereka yang keluar’. Khawarij bentuk jamak dari kharij, yang artinya ‘orang yang keluar’.  Istilah khawarij muncul pertama kali dalam sejarah Islam pada abad ke-1 H (pertengahan abad ke-7 M), dilatarbelakangi oleh pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sofyan.

Setelah Khalifah Usman bin Affan dibunuh, kaum muslimin — melalui lembaga Ahlul Hilli wal ‘Aqdi yang terdiri dari para sahabat terpandang — mengangkat Sayyidina Ali RA sebagai khalifah. Namun, Muawiyah — saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam (Suriah) — menolak membaiat Ali. Muawiyah yang masih berkerabat dengan Usman, meminta balas atas kematian Usman RA.

Muawiyah menuntut semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Sayyidina Usman RA harus dibunuh. Sedangkan Ali RA berpandangan yang dibunuh hanya yang membunuh Usman RA. Perbedaan ini kemudian memunculkan konflik antar-keduanya. Sayyidina Ali mengerahkan bala tentaranya untuk menyerang Muawiyah. Sebaliknya, Muawiyah juga mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi Ali RA.

Pertempuran dahsyat tidak bisa dielakkan, dan ada tanda-tanda pasukan Sayyidina Ali akan memenangkan pertempuran. Di saat itulah, Amr bin Ash, panglima perang Muawiyah, mengusulkan kepada Muawiyah agar mengangkat mushaf (kumpulan lembaran) Alquran dengan ujung tombak sebagai tanda minta damai.

Kedua belah pihak lalu mengirim utusan. Abu Musa al Asy’ari mewakili Khalifah Ali dan Amr bin Ash mewakili Muawiyah. Keduanya sepakat menerima arbitrasi (tahkim) untuk mengakhiri persengketaan. Arbitrasi ini ternyata membuat sekelompok kecil orang kecewa. Mereka lantas keluar dari dua kelompok mainstream ini, yang kemudian disebut sebagai kaum khawarij. Mereka merencanakan membunuh Muawiyyah dan Sayyidina Ali, namun yang berhasil mereka bunuh hanya Sayyidina Ali RA.

Meskipun pada awal kemunculan kaum khawarij karena alasan politik, namun pada perkembangannya kelompok ini lebih bercorak teologis. Sebagai misal, mereka keluar dari kelompok mainstream lantaran tidak setuju terhadap arbitrasi atau tahkim yang dilakukan Khalifah Ali dalam menyelesaikan masalah dengan Muawiyah. Menurut mereka, semua persoalan seharusnya diselesaikan dengan merujuk kepada hukum-hukum yang diturunkan  Allah SWT. Arbitrasi mereka nilai tidak berdasarkan pada Alquran.

Pada perkembangannya kemudian, kaum khawarij terbagi dalam sekte-sekte atau kelompok. Ada yang mengatakan lebih dari 20 sekte, ada yang menyebut 12 sekte, 10 sekte, atau bahkan hanya empat sekte. Namun, hampir semua sekte memperbolehkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Termasuk membunuh seperti yang mereka lakukan terhadap Khalifah Ali RA.

Di sinilah letak perbedaan antara kaum khawarij dan kelompok-kelompok Islam mainstream atau kelompok mayoritas. Bagi kelompok mainstream, terutama Ahlus  Sunnah wal Jamaah (Sunni), tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula.

Munculnya kelompok-kelompok radikal sekarang ini tidak terlepas dari ideologi dan teologi kaum khawarij ini.  Ciri-cirinya antara lain,  pertama, mereka keluar (kharij) alias tidak mengakui pemerintah (ulul amri) yang sah. Sebab, ketaatan hanya kepada pemimpin mereka yang dinilai memerintah sesuai dengan syariat.

Kedua, siapa pun pihak yang berbeda pandangan dengan mereka dianggap sebagai musuh yang harus dilawan karena dipandang sebagai kafir. Ketiga, khalifah (pemerintah/ulul amri) wajib ditaati hanya bila mereka bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Tapi, bila mereka menyeleweng dari ajaran Islam, mereka musti dibunuh.

Dalam pandangan kaum khawarij, hanya Khalifah Abu Bakar as-Siddik dan Khalifah Umar bin Khattab yang dapat dikatakan adil dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam. Sedangkan Usman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA — yang merupakan dua dari empat Khulafa ar-Rasyidin –, mereka anggap tidak memerintah berdasarkan syariat.

Sepanjang perjalanan sejarah Islam boleh dikatakan kaum khawarij selalu muncul. Ada kalanya mereka tiarap, tapi di kala lain mereka siap melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak, terutama ulul amri (pemerintah), yang dinilai telah melenceng dari ajaran Islam. Juga perlawanan terhadap pihak-pihak yang dinilai telah merugikan dan memusuhi kepentingan umat Islam.

Meskipun jumlah kelompok-kelompok khawarij kecil saja, namun lantaran ideologi radikal yang mereka anut, eksistensi mereka menjadi sangat berbahaya. Mereka juga susah ditumpas dengan kekuatan bersenjata. Contoh yang paling mutakhir barangkali bisa disebutkan nama al-Qaida.

Sebelum satu dasawarsa lalu kita hanya mengenal satu kelompok radikal (baca: teroris) yang bernama al-Qaida. Setelah organisasi garis keras ini dihantam Amerika Serikat dan koalisinya di Afghansitan, al-Qaida pun beranak-pinak dan menyebar ke berbagai negara seperti Irak, Suriah, Libia, Yaman, Somalia, Filipina, dan seterusnya. Termasuk ke Indonesia.

Nama-nama mereka pun bermacam-macam. Salah satunya adalah Tandzimu ad-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq wa as-Syam/Suriyah alias ISIS (Islamic State of Iraq and Syam/Syria). Kelompok-kelompok radikal anak cucu al-Qaida inilah yang kini sering disebut sebagai ‘kaum khawarij masa kini’.

Saya khawatir koalisi yang dipimpin AS sekarang ini hanya berhasil menghancurkan ISIS secara fisik, namun ideologi radikalnya akan tetap tumbuh subur. Bukan hanya di Irak dan Suriah, tapi juga akan menyebar ke berbagai negara seperti saat ini. Karena itu, koalisi militer yang didukung negara-negara Islam ini seharusnya dilengkapi dengan koalisi para ulama.

Koalisi ini bisa saja diprakarsai oleh Organisasi Kerja Sama Islam yang dulu bernama Organisasi Konferensi Islam (OKI). Koalisi ini bertugas membuat konsep secara teologis tentang Islam sebagai agama yang moderat dan rahmatan lil alamin sebagaimana dianut mayoritas umat Islam di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, pembasmian terhadap terorisme mustinya bukan hanya tugas polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Memerangi terorisme juga kewajiban para ulama, ustad, tokoh masyarakat, dan  seterusnya. Mereka tidak cukup memberi komentar di media massa.

Mereka harus membuat konsep atau blueprint secara ideologis dan teologis untuk memerangi idelogi radikal ini. Konsep ini kemudian dijabarkan secara rinci dalam bentuk buku misalnya, dan disebarkan kepada masyarakat. Termasuk dimasukkan sebagai kurikulum agama di sekolah-sekolah dan pesantren. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA ONLINE