Membersihkan Harta Haram

Kaya untuk Dakwah

ISLAM tidak pernah melarang pemeluknya untuk menjadi kaya atau memerintah mereka hidup miskin. Semasa nabi masih hidup, kondisi para sahabat sangat bervarisi. Ada yang kaya, sedang-sedang saja dan ada yang miskin.

Menariknya, dari hayat mereka pembaca bisa membaca secara cermat bahwa yang menjadi soal adalah bukan pada kaya atau miskinnya. Mereka menjadi bernilai ketika kekayaannya dipergunakan untuk kepentingan dakwah dan kemiskinannya tidak sampai membuatnya  berpaling dari dakwah.

Pada tulisan ini, penulis akan berfokus pada sahabat-sahabat yang dikenal kaya raya sekaligus sangat peduli dakwah. Kekayaan yang begitu melimpah tidak membuat mereka silau harta. Justru, harta yang dimiliki dikontribusikan untuk kepentingan dakwah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu misalnya, sebelum memeluk Islam, beliau terhitung sebagai orang kaya. Hartanya saat itu sebesar 40 ribu dirham. Belum lagi harta lain yang dihasilkan dari jalur bisnis.

Harta dan kekayaan yang beliau punya, saat Islam disumbangkan semuanya di jalan Allah. Georgie Zeidan  dalam buku “Tārikh al-Tamaddun al-Islāmy” (2018: V/17) mencatat hal menarik. Para khalifah –meski kaya—hidupnya bukan semata untuk memperkaya diri. Tapi disalurkan untuk kepentingan Islam.

Ketika Abu Bakar wafat, harta yang ditinggalkannya cuma satu dinar. Dia tidak banyak berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Hartanya yang banyak disumbangkan untuk kepentingan dakwah.

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu juga terbilang orang kaya. Dalam catatan sejarah, belum ada catatan resmi mengenai jumlah hartanya. Namun, bisa dilihat dari beberapa fakta sejarah hayat beliau.

Saat menikahi Ummi Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, mahar yang diberikan adalah sebesar ribuan dinar emas sebagaimana ditulis oleh Ya’qubi dalam kitab tarikhya. Bahkan menurut catatan sejarawan Muslim lain seperti Ibnu Qudamah mahar yang diberikan ayah Hafshah itu sebesar 40 ribu dinar. Dan Umar pun pernah berwasiat agar istri-istrinya diberikan 4000 dinar. (Syakir Nabulisi, 2011)

Meski beliau kaya, perhatikan saat wafat. Dirinya malah mempunyai hutang 80 ribu ke Baitul Mal. Beliau berwasiat kepada anaknya, jika hartanya tak cukup, maka dibayar dengan harta keluarga Khattab. Lagi-lagi, kekayaan yang dimiliki digunakan untuk kepentingan dakwah, sehingga saat meninggal tak ada yang tersisa.

Sahabat lain yang juga termasuk orang kaya adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu. Untuk mengetahui kekayaannya bisa dibaca dalam buku “Tātikh Madīnah Dimasyq” (1996: 39/442) disebutkan bahwa saat meninggal dunia, dalam simpanan Utsman terdapat 30 juta dirham, 500 ribu dirham, 150 ribu dinar. Belum lagi sebribu onta dan harta lainnya.

Seperti sahabat lainnya, Utsman semasa hidupnya adalah orang yang juga peduli dakwah. Harta yang diinfakkan di jalan Allah tidaklah sedikit. Sumur Ruma, pembiayaan perang Tabuk dan lain sebagainya, adalah bukti bahwa hartanya disalurkan untuk kepentingan dakwah.

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu juga tergolong kaya. Menurut catatan sejarah –sebagaimana ditulis oleh Georgie Zeidan—saat meninggal dunia beliau memiliki empat istri, 19 mantan istri, 24 anak. Mereka mendapat peninggalan harta tidak bergerak (tetap) yang bisa digolongkan sebagai orang kaya di antara kaumnya. Di antara peninggalan itu adalah di tanah Yanbu’.

Senada dengan sahabat lain, beliau juga orang derwaman. Terlebih jika untuk kepentingan dakwah. Muhammad Hamid dalam buku “Sīrah wa Manāqib ‘Ali bin Abi Thālib” (2018: 34-36) Beliau pernah memberi orang 100 dinar, sering membantu orang kesusahan, mewaqafkan tanah Yanbu’ dan sedekahnya jika dihitung pernah mencapai 4000 dinar. Namun, saat meninggal dunia, menurut penuturan Hasan bin Ali cuma  meninggalkan 700 dirham.

Sahabat lain yang masuk kategori kaya adalah sebagai berikut: Amru bin Asha Radhiyallahu ‘anhu saat meninggal dunia meninggalkan 300 ribu dinar dan 25 ribu dirham, penghasilan (income) 200 ribu dinar di Mesir. Zaid bin Tsabit meninggalkan emas dan perak begitu banyak sampai-sampai tak bisa dipecahkan dengan kapak. Belum lagi harta tidak bergerak lain yang senilai 100 ribu dinar.

Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu meninggalkan harta 2 juta dan sepertiga juta dinar. Ia menikahi 20 wanita selama hidupnya. Banyaknya istri menunjukkan betapa kayanya seseorang. Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘anhu memiliki 1000 hamba sahaya yang masing-masing dibayarkan pajaknya. Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu penghasilannya di Irak sebesar 400 ribu dinar dan pernah menjual tanah senilah 700 ribu dinar. Penghasilannya pertahun mencapai 350 ribu dinar.

Menariknya, kekayaan yang dimiliki oleh sahabat-sahabat yang tergolong kaya tersebut digunakan –sebagaian besarnya, bahkan ada yang semuanya—untuk kepentingan dakwah.

Betapa dahsyatnya jika orang muslim yang kaya raya di masa sekarang meneladani mereka. Harta yang ada tak hanya dinikmati sendiri, tapi digunakan untuk kepentingan dakwah. Dengan demikian, akan ada lompatan  besar dalam bidang dakwah dan umat pun akan menjadi lebih bermartabat karena tidak bergantung secara finansial ke umat lain.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH