kedudukan sholat

Kedudukan Shalat dalam Islam (Bag. 2)

Hukum meninggalkan shalat

Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan shalat secara sengaja termasuk dalam perbuatan dosa besar yang paling besar. Dosa bagi orang yang meninggalkannya itu lebih besar dari dosa membunuh dan merampas harta orang lain secara batil. Juga dosanya lebih besar dari zina, mencuri, dan minum khamr. Pelakunya juga berhak mendapatkan hukuman dan murka Allah Ta’ala, baik di dunia ataupun di akhirat.

Setelah itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah orang yang meninggalkan shalat itu kafir? Pendapat para ulama dalam masalah ini dan juga dalil-dalil masing-masing pendapat (apakah kafir ataukah tidak) telah dijelaskan secara detail dan panjang lebar di kitab-kitab para ulama. Sehingga akan menjadi tulisan yang sangat panjang jika disebutkan secara rinci satu per satu.  Akan tetapi, pendapat ulama yang mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat sama sekali didukung oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berikut beberapa rincian dalilnya.

Dalil-dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ  ؛ إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ ؛ فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءلُونَ ؛ عَنِ الْمُجْرِمِينَ ؛ مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ؛ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ؛ ؛وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ؛ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ ؛وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ ؛ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan. Berada di dalam surga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatsir [74]: 38-47)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat termasuk dalam orang-orang yang dimasukkan ke dalam neraka saqar.

Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam [19]: 59)

Terdapat riwayat dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata tentang makna “ghayy”,

نهر في جهنم خبيث الطعم ، بعيد القعر

“Sungai di neraka jahannam dengan makanan yang buruk dan dasar yang dalam.“ (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 18: 218).

Betapa besar musibah orang yang mendapatinya dan betapa menyesalnya orang-orang yang memasuki nereka tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 11)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengaitkan adanya persaudaraan dalam agama dengan perbuatan mendirikan shalat. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jika tidak shalat, maka bukan termasuk saudara dalam agama (iman).

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّداً وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu, mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS. As-Sajdah [32]: 15)

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لَا يَرْكَعُونَ ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِينَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Rukuklah, niscaya mereka tidak mau rukuk. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (QS. Al-Mursalat [77]: 48-49)

Allah Ta’ala menyebutkan ayat tersebut setelah sebelumnya berfirman,

كُلُوا وَتَمَتَّعُوا قَلِيلاً إِنَّكُم مُّجْرِمُونَ

“(Dikatakan kepada orang-orang kafir), “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Mursalat [77]: 46)

Hal ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu adalah para pendosa (mujrim) yang berhak untuk mendapatkan hukuman yang pedih ketika mereka nanti bertemu Allah Ta’ala.

Dalil-dalil dari As-Sunnah

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

“Sungguh, yang memisahkan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)

Dari sahabat ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkan shalat, sungguh dia telah kafir.” (HR. Ahmad no. 22937, At-Tirmidzi no. 2621, An-Nasa’i no. 463, Ibnu Majah no. 1079. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 4143)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang shalat dan bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

“Siapa saja yang menjaga ibadah shalat, maka dia akan mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan pada hari kiamat. Dan siapa saja yang tidak menjaga ibadah shalat, maka dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan pada hari kiamat. Dan pada hari kiamat, dia akan dikumpulkan bersama dengan Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad no. 6576 dan Ibnu Hibban no. 1467. Syaikh Ibnu Baaz berkata dalam Majmu’ Fataawa (10: 278): “Sanadnya hasan.”)

Di sini terdapat catatan yang sangat bagus, yaitu bahwa orang yang meninggalkan shalat itu bisa jadi disibukkan dengan harta, kekuasaan, jabatan, atau perdagangannya. Siapa saja yang disibukkan dengan harta, maka dia akan dikumpulkan bersama dengan Qarun. Siapa saja yang disibukkan dengan kekuasaan atau kerajaan, maka dia akan dikumpulkan bersama dengan Fir’aun. Siapa saja yang disibukkan dengan jabatan, maka dia akan dikumpulkan bersama dengan Haman. Siapa saja yang disibukkan dengan perdagangan, maka dia akan dikumpulkan bersama dengan Ubay bin Khalaf.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

فَإِنَّ مَنْ تَرَكَ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ

“Siapa saja yang meninggalkan shalat wajib secara sengaja, dia telah terlepas dari tanggung jawab Allah.” (HR. Ahmad no. 22075. Syaikh Albani mengatakan dalam Shahih At-Targhib [no. 579], “Hasan lighairihi”)

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ

“Barangsiapa shalat seperti shalat kita, menghadap ke arah kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka dia adalah seorang muslim, dia memiliki perlindungan dari Allah dan rasul-Nya. Maka janganlah kalian mendurhakai Allah dengan mencederai perlindungan-Nya.” (HR. Bukhari no. 391)

Dari sahabat Mihjan Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Beliau bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah majelis. Kemudian iqamat shalat dikumandangkan. Rasulullah kemudian berdiri untuk shalat. Kemudian Rasulullah mendatangi Mihjan yang saat itu masih berada di majelis tersebut. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya,

مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ النَّاسِ، أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ؟

“Apa yang mencegahmu shalat? Bukankah Engkau seorang muslim?”

Mihjan berkata,

بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ، وَلَكِنِّي كُنْتُ قَدْ صَلَّيْتُ فِي أَهْلِي

“Iya, akan tetapi aku sudah shalat di rumah bersama keluargaku.”

Rasulullah berkata kepadanya,

إِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ

“Jika Engkau datang, shalatlah bersama jamaah, meskipun Engkau sudah shalat.” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 16395; Al-Muwaththa’ no. 8; Sunan An-Nasa’i no. 857; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1337)

Dalil-dalil dari perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum

Dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu,

لا إسلام لمن ترك الصلاة

“Tidak ada bagian dari shalat bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Beliau radhiyallahu ‘anhu juga berkata,

لا حظ في الإسلام لمن ترك الصلاة

“Tidak ada Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” [1]

Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا، فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّهُنَّ مَنْ سُنَنَ الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ، لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً، وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً، وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Siapa saja berkehendak menjumpai Allah besok sebagai seorang muslim, hendaklah dia menjaga semua shalat yang ada, di mana pun dia mendengar panggilan shalat itu. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Dan sesungguhnya semua shalat adalah di antara sunnah-sunnah petunjuk itu. Kalau kalian shalat di rumah kalian sebagaimana seseorang yang tidak hadir di masjid (shalat di rumah), berarti kalian telah tinggalkan sunnah Nabi kalian. Sekiranya kalian tinggalkan sunnah Nabi kalian, sungguh kalian akan sesat.

Tidaklah seseorang bersuci dengan baik, kemudian dia menuju salah satu masjid yang ada, melainkan Allah menulis kebaikan baginya dari setiap langkah kakinya, dan dengannya Allah mengangkat derajatnya, dan menghapus kesalahan karenanya. Menurut pendapat kami, tidaklah seseorang ketinggalan dari shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen). Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.” (HR. Muslim no. 654)

Jika demikian kondisi orang yang tidak menghadiri shalat secara berjamaah, yaitu dinilai oleh para sahabat sebagai orang munafik tulen, lalu bagaimana lagi dengan orang yang meninggalkan shalat? Kami memohon keselamatan kepada Allah Ta’ala.

Sesungguhnya timbangan shalat dalam agama itu sangat besar, demikian pula kedudukannya yang sangat tinggi. Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara dari atas langit yang tujuh ketika peristiwa mi’raj.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kerasnya hukuman bagi orang yang meninggalkan shalat. Namun demikian, shalat ini telah banyak diremehkan dan dianggap enteng oleh mayoritas manusia. Sebagian mereka tidaklah terlihat di masjid sama sekali untuk shalat berjamaah, meskipun dia tinggal sebagai tetangga masjid. Dia keluar dari rumahnya dalam rangka bekerja mencari penghidupan duniawi, namun dia tidak mau keluar rumah dalam rangka menunaikan shalat berjamaah di masjid. Padahal dia mendengar panggilan adzan lima kali sehari semalam. Dia pun mengatakan, “Kami mendengar dan tidak mau taat.”

Yang lebih mengherankan lagi adalah ada seseorang yang tinggal bersama dengan laki-laki kerabatnya. Dia shalat berjamaah di masjid, namun tidak mau mengingkari kerabatnya yang hanya shalat di rumah. Bahkan dia biarkan kerabatnya shalat di rumah tanpa melihat bahwa kerabatnya itu telah melakukan kemungkaran. Dia tetap makan, minum, dan duduk bersama kerabatnya itu. Lalu di manakah kecemburuan dalam agama? Di manakah amar ma’ruf nahi mungkar? Kecuali bagi mereka yang masih menginginkan perbaikan.

Sebagian di antara mereka meremehkan syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib shalat, sehingga tidak menunaikan sebagaimana mestinya …

Sebagian di antara mereka meremehkan shalat secara berjamaah, dan ini adalah perbuatan orang-orang munafik …

Kewajiban kita adalah menjaga amal ketaatan dan ibadah yang agung ini, yang merupakan rukun Islam paling agung setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Dan kita memperingatkan dengan peringatan yang paling keras dari jalan orang-orang mujrim (yang berbuat dosa), yang apabila dikatakan kepada mereka, “Rukuklah kalian:, mereka pun tidak mau ruku’ …

Namun demikian, hendaklah seseorang waspada dari sikap membanggakan diri sendiri, dan merasa ujub dari amalnya. Kemudian dia lupa mengagungkan Allah Ta’ala yang telah memberinya petunjuk dan pertolongan sehingga dapat beribadah kepada-Nya.

Dari Khalid bin ‘Umair Al-‘Adawi, beliau berkata,

خَطَبَنَا عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الدُّنْيَا قَدْ آذَنَتْ بِصَرْمٍ وَوَلَّتْ حَذَّاءَ، وَلَمْ يَبْقَ مِنْهَا إِلَّا صُبَابَةٌ كَصُبَابَةِ الْإِنَاءِ، يَتَصَابُّهَا صَاحِبُهَا، وَإِنَّكُمْ مُنْتَقِلُونَ مِنْهَا إِلَى دَارٍ لَا زَوَالَ لَهَا، فَانْتَقِلُوا بِخَيْرِ مَا بِحَضْرَتِكُمْ، فَإِنَّهُ قَدْ ذُكِرَ لَنَا أَنَّ الْحَجَرَ يُلْقَى مِنْ شَفَةِ جَهَنَّمَ، فَيَهْوِي فِيهَا سَبْعِينَ عَامًا، لَا يُدْرِكُ لَهَا قَعْرًا، وَوَاللهِ لَتُمْلَأَنَّ، أَفَعَجِبْتُمْ؟

وَلَقَدْ ذُكِرَ لَنَا أَنَّ مَا بَيْنَ مِصْرَاعَيْنِ مِنْ مَصَارِيعِ الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَلَيَأْتِيَنَّ عَلَيْهَا يَوْمٌ وَهُوَ كَظِيظٌ مِنَ الزِّحَامِ، وَلَقَدْ رَأَيْتُنِي سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا لَنَا طَعَامٌ إِلَّا وَرَقُ الشَّجَرِ، حَتَّى قَرِحَتْ أَشْدَاقُنَا، فَالْتَقَطْتُ بُرْدَةً فَشَقَقْتُهَا بَيْنِي وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ، فَاتَّزَرْتُ بِنِصْفِهَا وَاتَّزَرَ سَعْدٌ بِنِصْفِهَا، فَمَا أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا أَصْبَحَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرٍ مِنَ الْأَمْصَارِ، وَإِنِّي أَعُوذُ بِاللهِ أَنْ أَكُونَ فِي نَفْسِي عَظِيمًا، وَعِنْدَ اللهِ صَغِيرًا، وَإِنَّهَا لَمْ تَكُنْ نُبُوَّةٌ قَطُّ إِلَّا تَنَاسَخَتْ، حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَاقِبَتِهَا مُلْكًا، فَسَتَخْبُرُونَ وَتُجَرِّبُونَ الْأُمَرَاءَ بَعْدَنَا

“Utbah bin Ghazwan berkhutbah, ia memuja dan memuji Allah, setelah itu berkata, “Amma ba’du. Sesungguhnya dunia telah memberitahukan akan lenyap dan tidak ada yang tersisa selain seperti sisa air minum di bejana yang diminum oleh pemiliknya. Sesungguhnya kalian akan berpindah meninggalkannya menuju negeri yang tidak akan lenyap. Karena itu pindahlah dengan membawa sesuatu yang terbaik yang ada di hadapan kalian, karena telah disebutkan pada kami bahwa sebuah batu dilemparkan dari tepi neraka jahanam lalu jatuh ke dasarnya selama tujuh puluh tahun, namun belum juga mengenai dasarnya. Demi Allah, neraka jahanam itu akan dipenuhi. Apakah kalian heran?

Dan telah disebutkan kepada kami bahwa dua daun pintu di antara sekian pintu surga (seluas) perjalanan empat puluh tahun, suatu hari nanti pintu itu akan penuh sesak. Aku pernah melihat diriku sebagai orang ketujuh dari tujuh orang yang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak memiliki makanan apa pun selain daun pepohonan hingga sudut mulut kami terluka. Aku mengambil selimut lalu aku belah dua, untukku dan Sa’ad bin Malik. Separuhnya aku kenakan sarung dan separuhnya lagi dikenakan Sa’ad. Kini, setiap orang dari kami telah menjadi pemimpin salah satu wilayah dan sesungguhnya aku berlindung kepada Allah menjadi orang besar sementara di sisi Allah kecil. Sesungguhnya tidak ada satu kenabian pun melainkan berseling-seling hingga akhirnya menjadi kerajaan. Kalian akan mengalaminya dan merasakan menjadi para pemimpin setelah kami.” (HR. Muslim no. 2967)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Riwayat ini telah disebutkan sebelumnya.

[2] Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 23-30, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.