Keikhlasan akan Mengabadikan Kemanfaatan Amal

MENGAPA amal perbuatan para tokoh agama zaman dulu dikenang menjadi pelajaran hidup hingga kini? Salah satu jawabannya adalah karena mereka berbuat dengan penuh tulus ikhlas, bukan karena keinginan diri untuk dikenal dan dikenang.

Saya seringkali mendengar kisah orang baik yang “kepergok” sedang berbuat baik yang kemudian berkata kepada yang memergoki agar tidak bilang kepada siapa-siapa, agar tak memberitakan kebaikannnya. Hebat, bukan?

Kini, zaman sudah berbeda. Semua kebaikan langsung muncul pada saat yang sama di beberapa media sosial. Bukan hanya berita, foto dan video kebaikan diviralkan di mana-mana oleh orang yang disuruh dan dibayar, oleh para pendukung fanatis buta, dan bahkan oleh dirinya sendiri. Semoga masih ada nilai keikhlasannya, walau secara nalar bermakna ada “karena” dan “demi” yang bukan diperuntukkan tulus untuk Allah.

Kira-kira, bagaimanakah nasib kebaikan yang penuh rekayasa atau pencitraan? Jawabannya akan kita temukan dalam lembaran sejarah. Para bijak berkesimpulan: “Amal kebaikan yang dilakukan diam-diam akan bersuara lebih lantang melampaui amal kebaikan yang diiklankan secara lantang. Semua hanya masalah WAKTU.”

Kisah para kiai yang tawadlu’ dan ikhlas pada zaman dahulu semakin nyaring terdengar hingga kini dari mulut ke telinga setiap orang. Zaman itu belum ada media massa dan media sosial yang meliput seperti kini. Mari belajar ikhlas seperti mereka.

Teringat dawuh: “Menjadi orang baik, orang dermawan, orang teladan bukanlah sebuah kontes popularitas. Tak perlu dipamerkan. Lakukanlah penuh ikhlas hanya untuk membuat Allah senang dan ridla.”

 

INILAH MOZAIK