Kenneth L Jenkins Kagumi Kehidupan Nabi Muhammad

Bagi Kenneth L Jenkins pertemuannya dengan Islam membawa perubahan besar.

Bagi Kenneth L Jenkins pertemuannya dengan Islam membawa perubahan besar dalam hidupnya. ”Setelah memeluk Islam, saya merasa sungguh-sungguh perlu untuk membantu orang-orang yang belum mendapatkan cahaya Islam,” ujarnya seperti dikutip dari situsĀ Islamreligion.com.

Jauh sebelum memeluk Islam, Jenkins hidup dan dibesarkan di lingkungan yang tergolong agamis. Posisi ibunya sebagai orang tua tunggal yang juga harus menafkahi keluarga, membuat Jenkins lebih banyak berada dalam pengasuhan sang nenek yang adalah seorang pemeluk Kristen Pantekosta yang taat.

Ini membuat Jenkins kecil sudah terbiasa dengan kehidupan gereja. Komunitas gereja Pantekosta, menurutnya, sudah menjadi bagian integral dari kehidupannya sejak usia dini.

Karenanya, tak mengherankan jika di usia enam tahun, Jenkins sudah mengetahui ajaran-ajaran dalam kitab Injil yang diyakini oleh para pemeluk Kristen Pantekosta.

Tidak hanya itu, dibandingkan dengan adik laki-laki dan kakak perempuannya, Jenkins termasuk anak yang patuh. Semua ajaran yang disampaikan oleh sang nenek selalu ia laksanakan dan taati.

”Nenek selalu mengajarkan kepada saya bahwa seorang anak laki-laki yang baik akan masuk surga, sementara anak laki-laki yang nakal akan mendapatkan hukuman di neraka. Ajaran nenek inilah yang juga selalu diingatkan oleh ibu manakala saya berbuat nakal.”

Setiap hari Minggu, menurut Jenkins, seluruh anggota keluarganya selalu pergi ke gereja. Saat seperti itu, ungkapnya, menjadi momen bagi dirinya beserta kedua saudaranya untuk mengenakan pakaian terbaik mereka. Untuk menuju ke gereja, sambungnya, mereka sekeluarga biasa diantar oleh sang kakek menggunakan kendaraan kebanggaannya.

Namun sejak sang kakek terserang stroke, Jenkins sekeluarga jarang menghadiri kegiatan peribadatan di gereja. Baru ketika menginjak usia 16 tahun, Jenkins mulai aktif kembali menghadiri acara peribadatan di gereja. Ia biasa datang ke gereja bersama seorang teman yang ayahnya merupakan pastor di gereja tersebut.

Setelah lulus SMA dan masuk universitas, Jenkins memutuskan untuk lebih aktif dalam kegiatan keagamaan. Ia datang ke gereja setiap saat, mempelajari kitab Injil setiap hari, dan menghadiri kuliah yang diberikan oleh para pemuka agama Kristen.

Hal ini membuatnya amat menonjol di kalangan para jemaat. Karenanya, tak mengherankan ketika menginjak usia 20, pihak gereja memintanya untuk bergabung. Sejak saat itulah Jenkins mulai memberikan khutbah kepada para jemaat yang lain.

Setelah menamatkan pendidikannya di jenjang universitas, Jenkins memutuskan untuk bekerja secara penuh waktu di gereja sebagai seorang pendakwah. Sasaran utamanya adalah komunitas warga kulit hitam di Amerika.

Ketika melakukan interaksi dengan komunitas inilah ia menemukan kenyataan bahwa banyak di antara para pemuka gereja yang menggunakan Injil untuk kepentingan politis, yakni untuk mendukung posisi mereka pada isu-isu tertentu.

Kemudian, Jenkins memutuskan untuk pindah ke Texas. Di kota ini ia sempat bergabung dengan dua gereja Pantekosta yang berbeda. Namun, lagi-lagi ia mendapatkan kenyataan bahwa para pendeta di kedua gereja ini melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi norma aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi gereja.

Ia mendapatkan fakta di lapangan bahwa sejumlah pemimpin gereja melakukan perbuatan zina tanpa tersentuh oleh hukum dan di antara mereka ada yang menjadi homoseksual. Sementara para penginjil banyak yang kedapatan mengonsumsi narkotik.

Mendapati berbagai kenyataan seperti ini, dalam diri Jenkins mulai timbul berbagai pertanyaan atas keyakinan yang ia anut. ”Saat itu saya mulai berpikir untuk mencari sebuah perubahan.”

Kehidupan baru

Perubahan yang diinginkan Jenkins datang ketika ia mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan di Arab Saudi. Setibanya di Arab Saudi, ia menemukan perbedaan yang mencolok dalam gaya hidup orang-orang Muslim di negara Timur Tengah tersebut. Dari sana kemudian timbul keinginan dalam diri mantan pendeta ini untuk mempelajari lebih jauh agama yang dianut oleh masyarakat Muslim di Arab Saudi.

”Saya kagum dengan kehidupan Nabi Muhammad dan ingin tahu lebih banyak lagi,” ujarnya.

Untuk menjawab rasa ingin tahunya itu, Jenkins pun memutuskan untuk meminjam buku-buku mengenai Islam melalui salah seorang kerabatnya yang ia ketahui sangat dekat dengan komunitas Muslim. Buku-buku tersebut ia baca satu per satu. Dan, di antara buku-buku yang ia pinjam tersebut terdapat terjemahan Alquran. Ia menamatkan bacaan terjemahan Alquran ini dalam waktu empat bulan.

Berbagai pertanyaan seputar Islam yang ia lontarkan kepada teman-teman Muslimnya, dan ia selalu mendapatkan jawaban yang sangat memuaskan. Jika teman Muslimnya ini merasa tidak bisa memberikan jawaban yang memadai, mereka akan menanyakan hal tersebut kepada seseorang yang lebih paham.

Dan pada hari berikutnya, baru jawaban dari orang tersebut disampaikan kepadanya. Rasa persaudaraan dan sikap rendah hati yang ditujukan oleh para teman Muslimnya ini, diakui Jenkins, membuatnya tertarik untuk mempelajari Islam lebih dalam.

Rasa kekaguman Jenkins terhadap Islam juga ditujukan kepada kaum Muslimah yang ia jumpai selama bermukim di Arab Saudi. ”Saya kagum melihat para wanita yang menutupi tubuh mereka, dari kepala hingga bagian kaki.”

Agama Islam yang baru dikenal olehnya, menurut Jenkins, juga tidak mengenal adanya perbedaan status sosial.

Kesemua hal yang ia saksikan selama tinggal di Arab Saudi ini bagi Jenkins merupakan sesuatu yang indah. Kendati demikian, diakui Jenkins, saat itu dalam dirinya masih terdapat keragu-raguan antara Islam dengan keyakinan yang sudah dianutnya sejak masa kanak-kanak.

Namun, semua keraguan tersebut terjawab manakala salah seorang teman Muslimnya memberikan dia sebuah kaset video yang berisi perdebatan antara Syekh Ahmed Deedat dan Pendeta Jimmy Swaggart. Setelah menonton perdebatan tersebut, mantan Pendeta Gereja Pantekosta ini kemudian memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

Kemudian oleh salah seorang kawan, Jenkins diajak menemui seorang ulama setempat, Syekh Abdullah bin Abdulaziz bin Baz. Di hadapan sang ulama, Jenkins pun secara resmi menerima Islam sebagai keyakinan barunya.

”Dia (Syekh Abdullah) memberikan sejumlah nasihat bagaimana mempersiapkan diri menghadapi berbagai tantangan ke depan yang mungkin akan saya hadapi.”

Kabar mengenai masuk Islamnya Jenkins, ternyata telah sampai ke telinga para rekan-rekannya sesama pendeta dan aktivis gereja. Karena itu, setibanya di Amerika Serikat, berbagai hujatan dan kritikan bertubi-tubi datang kepadanya.

Tak hanya itu, Jenkins juga dicap dengan berbagai label, mulai dari orang murtad hingga tercela. Ia juga dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Lagi-lagi, kesemuanya itu tidak membuatnya gentar dan berpaling dari Islam.

”Islam membuat saya seperti terlahir kembali, dari kegelapan menjadi terang. Saya tidak merasa terusik dengan semua itu, karena saya merasa sangat bahagia bahwa Allah Mahakuasa telah memberikan saya petunjuk,” paparnya.

Bercita-cita Menjadi Pendakwah

Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Al-Madinah, Jenkins mengungkapkan bahwa dirinya telah menjadi Muslim. Dan ia mengatakan, ia akan menjadi seorang pendakwah dan tak akan menghentikan aktivitasnya sebagai seorang juru dakwah, sebagaimana yang pernah ia lakukan saat masih memeluk Kristen Pantekosta.

”Saat ini, tujuan saya adalah belajar bahasa Arab dan terus belajar untuk mendapatkan pengetahuan lebih tentang Islam, selain saya sekarang bergerak di bidang dakwah, terutama kepada non-Muslim yang menganut agama Kristen,” ujarnya.

Mantan pendeta ini juga berharap bisa membuat sebuah karya tulis mengenai perbandingan agama. Karena, menurutnya, adalah tugas umat Islam di seluruh dunia untuk menyebarkan ajaran Islam.

”Sebagai orang yang telah menghabiskan waktu yang lama sebagai seorang penginjil, saya merasa memiliki kewajiban untuk mendidik masyarakat tentang kesalahan dan kontradiksi dari kisah-kisah di dalam Kitab Injil yang selama ini diyakini oleh jutaan orang,” tukasnya.

 

OASE REPUBLIKA