Ketika Berbangsa, Bernegara Bukan Atas Dasar Cinta

ADA jenis warga negara yang begitu peduli terhadap negara lain tapi tak pernah peduli pada negaranya sendiri. Bagi saya, warga negara seperti ini sama saja dengan seseorang yang begitu baik pada teman-temannya tapi begitu jahat pada keluarganya sendiri.

Bagi saya, warga negara seperti itu sama dengan seseorang yang senang memuji setinggi langit keluarga orang lain namun tak pernah mengapresiasi sedikitpun kelebihan keluarganya sendiri. Kira-kira, apakah yang menjadi penyebab perilaku aneh ini?

Salah satu jawaban yang seringkali saya dapatkan adalah karena ketidakcintaan yang sesungguhnya akan negaranya sendiri, ketidaksetulushatian dirinya dalam berkeluarga. Mereka yang kawin paksa memang rentan untuk menghujat pasangannya. Mereka yang bersatu badan tapi tak bersatu hati memang berpotensi untuk selalu berkonflik. Mereka yang sedang berkonflik biasanya cenderung selalu melihat sisi negatif lawan konflik. Inilah penyebab maraknya penghinaan, penyinyiran dan semacamnya.

Hidup bersama itu membutuhkan cinta, cinta dalam hati bukan hanya cinta dalam kata dan ucapan. Hidup damai itu membutuhkan saling sayang, saling sayang dalam rasa bukan hanya saling sayang dalam prosa. Hidup rukun itu membutuhkan saling berjabat tangan dan bergandeng tangan, bukan saling tepis tangan dan tolak tangan. Hidup guyub itu membutuhkan anggukan kepala dengan senyum, bukan gelengan kepala dengan wajah murka.

Mari kita lihat fenomena terkini di negeri kita ini, lebih banyak manakah antara senyuman dan murka, antara apresiasi dan depresiasi, antara jabat tangan dan tepis tangan, antara anggukan kepala dan gelengan kepala, serta antara syukur dan keluhan? Dari manakah kita harusnya berbenah? Benar bahwa kita harus memulai dari kita masing-masing. Namun adalah sangat baik kalau para pejabat, tokoh dan pembesar memberikan contoh teladan dengan tidak memamerkan amarah dan permusuhan, tidak mempertontonkan kebencian dan kesalingtidaksetujuan.

Kami, para rakyat, sudah lelah dan capek melihat tontonan seperti ini, baik di media massa dan media sosial. Kami rindu Indonesia yang saling sapa, saling senyum dan saling bantu. “Wahai para pejabat, tokoh dan pembesar negeriku, jika kalian tak sanggup mempertontonkan sikap terbaik dan tersantun sebagai orang dewasa, turun saja dari jabatanmu dan biarlah anak-anak muda yang berpotensi menggantikanmu.” Demikian seru hati para pemuda yang saya dengar dengan telinga hati saya. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK