Ketika Kaki Nabi Muhammad SAW Terinjak

Setiap perbuatan Rasulullah Muhammad SAW didasarkan pada petunjuk kebenaran. Tidak ada manusia dengan contoh atau suri teladan yang lebih baik daripada beliau. Kisah berikut menggambarkan betapa hati-hatinya beliau dalam bersikap.

Suatu hari, Rasulullah SAW memimpin seluruh prajurit Muslimin yang baru saja pulang dari Ekspedisi Tabuk. Di antara pasukan terdapat seorang laki-laki yang bernama Abu Rahal al-Ghifari. Rupanya, Abu Rahal mengantuk berat saat sedang menunggangi untanya. Tanpa dia sadari, untanya berjalan terlalu dekat dengan Nabi SAW, yang juga sedang berada di atas unta.

Salah satu kaki Abu Rahal kemudian bersenggolan dengan sisi unta Rasulullah SAW. Tidak hanya itu, kaki salah seorang sahabat yang mulia ini lantas tidak sengaja menginjak kaki beliau.

Seketika, Nabi SAW mengaduh. Dengan tongkatnya, beliau kemudian mencolek kaki Abu Rahal agar sahabatnya itu bangun dari tidur dan tidak lagi menginjaknya.

Betapa terkejutnya Abu Rahal ketika mengetahui kaki Rasulullah SAW terinjak olehnya. Dia pun segera meminta maaf dan menjauhkan untanya dari beliau. Dia kemudian bergerak ke pinggir dan diam sejenak, sehingga posisinya kini berada di bagian akhir arak-arakan pasukan Muslimin.

Hati Abu Rahal dirundung ketakutan. Dia cemas, jangan-jangan nanti nasib buruk menimpanya. Bagaimana mungkin dia menyakiti Rasulullah SAW? Bagaimana jika Nabi SAW dan Allah tidak ridha padanya? Bagaimana kalau nanti turun ayat Alquran yang mengecam perbuatannya tadi? Betapa malunya Abu Rahal bila sampai semua kekhawatiran itu terjadi. Dia pun amat menyesali dirinya yang tadi mengantuk sehingga lalai.

Abu Rahal termasuk yang ikut dalam jihad ke Tabuk sembari membawa sejumlah hewan ternak. Adanya hewan itu berguna sebagai bekal para prajurit, baik untuk dimakan dagingnya maupun diperah susunya. Ketika rombongan pasukan beristirahat sejenak, Abu Rahal memutuskan untuk menggembala kambing-kambingnya di hamparan gurun yang cukup jauh dari tempat mereka singgah.

Dengan begitu, dia sengaja menghindar bila Rasulullah SAW mencari-carinya. Ketika dilihatnya dari kejauhan rombongan Muslimin kembali bergerak, maka Abu Rahal pun mengikuti dari belakang. Dia lantas menjumpai salah seorang kawannya dan bertanya, “Apakah tadi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menanyakan keberadaan saya?”

“Iya, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam telah mencari Anda,” jawabnya.

Abu Rahal semakin khawatir, perkara dirinya menginjak kaki Nabi SAW tidaklah ringan. Dia pun menemui Rasulullah SAW ketika pasukan Muslimin kembali beristirahat.

Saat berada di hadapan Nabi SAW, Abu Rahal ditanya oleh beliau. “Wahai Abu Rahal, dari mana saja? Aku tadi mencari-cari engkau,” kata Rasulullah SAW.

“Ya, wahai Rasulullah. Tadi aku tidak sengaja menginjak kaki engkau lantaran aku mengantuk, sehingga tidak sadar untaku bersenggolan dengan engkau. Aku mohon maafkanlah aku,” pinta Abu Rahal.

“Aku sudah memaafkanmu,” kata Nabi SAW. Abu Rahal pun merasa lega.

“Tapi tadi sewaktu aku membangunkanmu, aku menyentuhmu dengan tongkatku ini. Karena itu, wahai Abu Rahal, ambil tongkatku dan lakukanlah kepadaku sekarang seperti apa yang telah kulakukan saat itu kepadamu,” jelas Nabi SAW.

Maksud Rasulullah SAW adalah hendak melaksanakan balasan (qisas). Beliau menghendaki keadilan karena itu mempersilakan sahabatnya ini untuk membalasnya setimpal.

“Aku tidak akan melalukannya, wahai Rasulullah. Sungguh aku sudah memaafkannya,” kata Abu Rahal.

Rasulullah SAW tersenyum. Beliau kemudian bertanya tentang keadaan kabilah tempat Abu Rahal berasal. Kabilah ini terkenal setia, selalu mendampingi Nabi SAW dalam setiap jihad.

Rupanya, dalam ekspedisi Tabuk ini ada beberapa orang dari kabilah tersebut yang tidak datang. Mereka berperawakan badan tinggi besar dan kekar. Rasulullah SAW mengklarifikasi keadaan mereka, dan Abu Rahal membenarkan bahwa mereka tidak turut dalam jihad kali ini.

“Mana di antara kabilah engkau yang bertubuh pendek dan berkulit sawo matang?” tanya Rasulullah SAW lagi. Ternyata, beliau amat jeli dalam memerhatikan ciri-ciri pasukannya.

“Kami tidak punya yang demikian, wahai Rasulullah,” jawab Abu Rahal.

“Tapi, aku pernah melihat mereka dari (kabilah) engkau,” ujar beliau lagi.

Maka Abu Rahal kemudian berusaha mengingat-ingat lagi. “Mungkin yang engkau maksud adalah sekutu kami dari Aslam. Setelah Perang Hunain, mereka tidak ikut bersama kami lagi,” tutur dia.

“Sungguh, keadaan yang berat bagiku adalah bila suku-suku Muhajirin, Anshar, Ghifar, dan Aslam tidak ikut (dalam jihad),” sebut beliau.

Sumber: Islam Digest Republika