Mengabaikan Al-Qur’an

Ketika Nabi Musa Ingin Tahu Keadilan Tuhan

“Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan mendapatkan balasannya. Dan, barangsiapa mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. Al Zalzalah 7-8).

Suatu hari, Nabi Musa as begitu ingin mengetahui bentuk keadilan Tuhan yang diberikan kepada para hamba-Nya tatkala mereka masih ada di dunia. Ia pun pergi ke Gunung Sinai untuk bermunajat, dan tentu saja mencari jawab atas rasa penasarannya yang mendalam terkait bentuk keadilan Tuhan.

Sesampainya di tempat tujuan, ia pun segera memohon pada Tuhannya, “Robb, perlihatkanlah padaku keadilan dan kejujuran-Mu.”

Tuhan berkata, “Engkau adalah seorang yang terburu-buru, dan tidak mampu bersabar.”

“Kami dapat bersabar dengan pertolongan-Mu,” jawab Musa membujuk.

Tak lama kemudian, Allah pun menyuruh Musa untuk pergi ke sebuah sumber air dan bersembunyi di belakangnya, “Di sana, kau akan lihat kekuasaan dan ilmu-Ku tentang kegaiban.”

Menyadari akan jawaban Sang Maha Kasih, Musa pun bergegas menuju sebuah bukit di hadapan sumber air yang ditujukan Tuhannya. Di sana, ia duduk bersembunyi untuk memperhatikan apa pun yang kelak akan terjadi di depan matanya.

Tak menunggu lama, Musa melihat seorang penunggang kuda datang ke sumber air tersebut. Ia turun dari kudanya, berwudlu dan mengambil sedikit air untuk ia minum. Musa juga melihat sang penunggang kuda itu meletakkan sebuah tas koper berisi uang seribu dinar di sampingnya. Kemudian shalat, lalu kembali menaiki kudanya. Ia lupa koper yang diletakkan di sampingnya dan terus pergi memacu kudanya.

Berikutnya, datanglah seorang anak kecil. Mengambil air minum di sumber air yang sama. Dan, kemudian membawa pergi koper yang ia lihat di sampingnya itu. Tak lama kemudian, datanglah seorang kakek tua yang buta. Ia minum air sumber itu, lalu mengambil air wudlu dan melaksanakan shalat.

Di tengah perjalanan, sang penunggang kuda teringat kopernya yang terlupa. Ia segera kembali ke tempat semula, dan dijumpainya seorang kakek tua tunanetra itu. Si penunggang kuda langsung berkata, “Hai Buta, koperku yang berisi seribu dinar baru saja tertinggal di tempat ini. Karena tidak ada orang lain di sini selain engkau, pastilah kau yang mengambilnya!”

Kakek tua itu menjawab, “Anda kan tahu, aku buta. Bagaimana aku dapat melihat koper?”

Mendengar ucapan kakek itu, si penunggang kuda marah dan naik pitam, lalu mencabut pedangnya. Ditebasnya leher kakek yang malang itu, dan tewas. Ia menggeladah dan mencari kopernya, namun tidak menemukannya. Ia pun pergi, meninggalkan tempat itu.

Pada saat itu, Nabi Musa berkata, “Wahai Tuhanku, kami telah sabar dan Engkau adil. Tapi mohon jelaskanlah maksud peristiwa yang baru saja itu terjadi, agar aku tidak dalam kebingungan.”

Sedangkan si buta pernah melakukan pembunuhan terhadap pemilik koper yang merupakan ayah si bocah kecil tadi. Ia mendapat hukum qisash darinya. Dan sampailah setiap orang yang punya hak akan mendapat haknya. Baik yang terlihat mata manusia, atau yang sengaja Allah sembunyikan. Keadilan dan kejujuraan Kami sangat rahasia.

Usai mendengar penjelasan itu, Musa segera mengucap istighfar. []

keterangan:

Kisah ini diolah dari buku “Nasihat Al Ghazali Bagi Penguasa”.

Menurut Imam Al Ghazali, semua orang pada dasarnya menyadari bahwa tak ada sesuatu pun yang lepas dari pengawasan Allah. Dan, karenanya, tak ada satu pun yang bisa lolos dari balasan-Nya. Entah itu yang berlaku zalim atau berbuat baik. Balasan itu, kadang langsung Allah berikan tatkala manusia masih hidup di dunia, atau kelak nanti di Hari Pembalasan, baik melalui orang lain atau langsung ditujukan padanya.

Sayangnya, kita sering lupa tentang peristiwa yang menimpa kita, dan kita pun tidak mengerti dari mana peristiwa itu datang menimpa kita. Parahnya, kadang kita malah menyalahkan orang lain atas berbagai kegagalan yang menimpa hidup kita–yang tak jarang pada akhirnya berujung pada fitnah.

Padahal, sejak dulu, Allah memperingatkan kita dalam kitab suci-Nya, “Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan mendapatkan balasannya. Dan, barangsiapa mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah 7-8)

Pada suatu kesempatan, Dzul Qarnain ditanya, “Apa yang paling membuatmu senang?”

Ia menjawab, “Dua hal. Pertama, adil dan jujur. Kedua, membalas kebaikan seseorang lebih besar dari kebaikannya.

Dalam hal ini, Rasul Saw. bersabda, “Allah sungguh amat suka pada kebaikan setiap hal. Dan, aku (Rasul) senang jika manusia memotong kambing dengan mempertajam pisaunya, agar ia dapat menghilangkan sakitnya sesembelihan kambing.”

Bayangkan, kepada hewan (saja), Rasul tak mau menyakiti. Lantas, bagaimana dengan sesama manusia, yang bahkan disebut sebagai sebaik-baik penciptaan (Ahsani taqwim)?

“Hai anak manusia, berbuatlah adil, seperti kau senang mendapatkan perlakukan yang adil,” demikian firman Allah, yang dalam Quran disebut tatghaw fil mizan, dan ditafsirkan Ibn Qatadah sebagai adil.

Lantas, masihkah (kita) menyalahkan orang lain saat kegagalan menimpa diri kita? Saat gagal dalam ujian, misalnya? Saat gagal dalam bisnis, misalnya? Atau mungkin saat benda kita hilang, misalnya? [islamindonesia]

INILAH MOZAIK