Keutamaan Mimpi Berjumpa Rasulullah SAW dan Manfaatnya

Rasulullah SAW menyatakan mimpi bertemu dengannya sebuah anugerah.

Memimpikan orang yang sudah wafat lumrah terjadi pada diri setiap orang. Namun agak sulit memaknai dan membedakan mana mimpi yang benar-benar bisa memberikan isyarat hidayah dan mana mimpi dalam arti kembang tidur. 

Dalam literatur tasawuf, bermimpi atau bahkan berkomunikasi interaktif dengan orang-orang yang sudah wafat sesuatu yang biasa terjadi di kalangan para arifin. Mimpinya orang saleh, apalagi ulama yang taat dan bersih, dianggap bagian isyarat dari Tuhan.

Dalam Alquran, dapat dipahami bahwa mimpinya para nabi dapat disejajarkan dengan wahyu. Syariah qurban, menyembelih hewan qurban, yang kita lakukan sampai saat ini pada awalnya adalah mimpi Nabi Ibrahim yang diminta untuk menyembelih anak kesayangannya.

Banyak hadis sahih yang meriwayatkan keutamaan mimpi berjumpa Rasulullah SAW. Di antara hadis itu ialah: “Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak dapat menjelma sepertiku.” (HR Muslim dari Abi Hurairah).

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang melihat aku dalam mimpi, maka dia benar-benar melihat sesuatu yang benar.” (HR Muslim dari Abu Qatadah). 

Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa yang sering bershalawat terhadapku, aku tahu dan aku tentu memberikan syafaat di hari kiamat.” Dalam redaksi lain dikatakan, “Barang siapa memimpikan aku, maka aku akan bersamanya nanti di surga.”

Penggambaran Rasulullah SAW dalam Alquran menarik untuk dikaji karena hampir semuanya menggunakan bentuk fi’il mudhari’ (present and future), bukannya menggunakan bentuk fi’il madhi (past tense). Salah satu contohnya ialah: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan Al Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al Baqarah [2]: 151). 

Kata membacakan, menyucikan, dan mengajarkan digunakan bentuk fi’il mudhari’. Itu artinya Rasulullah masih bisa berkomunikasi aktif dengan umatnya secara khusus. 

KHAZANAH REPUBLIKA