KH Luthfi Bashori: Liberalisme Bukan Ajaran Aswaja

Pengasuh Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang KH Luthfi Bashori mengatakan, liberalisme sebagai penganut kebebasan bukanlah berasal dari ajaran Islam, apalagi lebih spesifik Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA).

Liberalisme atau liberal adalah sebuah ideologi (keyakinan), pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.

“Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama,” jelasnya dalam Kuliah Aswaja di Dalwa Hotel, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (11/10/2018).

Liberalisme bukan ajaran Aswaja, jelasnya, karena ajaran Aswaja itu bukan ajaran kebebasan, namun ajaran yang penuh dengan aturan.

Baik yang bersifat aturan global seperti batasan-batasan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits, atau aturan yang lebih terinci, yaitu hasil ijtihad para ulama dalam menerjemahkan isi yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, lantas dicetuskan dalam bentuk batasan ilmu Fiqih, ilmu Tasawwuf, ilmu falaq, ilmu Faraid, dan sebagainya.

“Dari sini jelaslah, bahwa hanyalah sebuah kebohongan dan penipuan saja jika kaum liberal mengaku-ngaku sebagai penganut Aswaja. Sekalipun banyak di antara penganut liberalisme yang sengaja mendompleng kepada ormas-ormas Islam yang berasas Aswaja. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk melancarkan upaya liberalisasi ormas yang mereka masuki tersebut,” ungkap Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kabupaten Malang ini.

Sayangnya, kata Gus Luthfi, banyak aktivis ormas Islam yang tidak sadar dan kurang peduli terhadap bahaya liberalisme yang merusak eksistensi ormas Islam yang disusupinya, khususnya dalam bidang keselamatan aqidah para anggota ormas terkait.

Ia mengatakan, liberalisme itu aslinya adalah kepanjangan tangan dari strategi kaum orientalis Barat non-Muslim, yang mana mereka sengaja mempelajari keislaman, namun bukan untuk diamalkan sesuai aturan syariat yang telah diajarkan oleh baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam serta dilestarikan oleh para ulama salaf, namun hanya untuk sekadar dipelajari dan dikaji.

Menurutnya, bilamana komunitas liberalis menemukan adanya ajaran Rasulullah yang tidak sesuai dengan selera hawa nafsu mereka, maka mereka pun tidak segan-segan berusaha merevisinya, misalnya dengan alasan ‘ajaran ini’ sudah tidak relevan untuk diterapkan pada jaman sekarang.

“Jadi, tujuan utama kaum liberal adalah upaya mereduksi ajara Islam dengan standar pemahaman kaum orientasi Barat non-Muslim,” ujarnya.

Ending-nya yang terjadi, hampir setiap hasil ‘koreksi’ dari kaum liberalis terhadap ajaran Islam ini, menjadi rujukan baru bagi ‘bos-bos’ mereka di dunia Barat non-Muslim, kata dia.

Hal ini menurutnya dikarenakan kaum liberal tetap menggunakan nama-nama serta simbol-simbol keislaman, sehingga tujuan utama kaum orientalis Barat untuk menghancurkan Islam dari dalam, semakin mendekati keberhasilan.

Ia mengatakan, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Umat Islam haram mengikuti paham liberalisme.

“Masih segar dalam ingatan, KH Mas Subadar, kiai berpengaruh asal Pasuruan, Jawa Timur, melontarkan peringatan keras saat Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004: “Bersihkan pengurus NU dari unsur Islam liberal.” Sebelumnya, seruan yang sama juga terjadi saat Muktamar Pemikiran NU di Situbondo, Oktober 2003,” ungkap putra KH Bashori Alwi ini.

Ia mengatakan, Komisi Bahts al-Masail al-Maudhu’iyyah dalam Muktamar Boyolali juga menolak Metode Hermeneutika yang dinilai sebagai agenda kaum liberalis untuk menghancurkan Islam lewat komunitas Nahdliyyin.

“Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna,” jelasnya.

Nama hermeneutika, terangnya, diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneueinyang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.

Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa pengetahuan dalam mitologi Yunani, yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia, terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus, masih kata Gus Luthfi.

Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu dalam keyakinan mereka,” pungkasnya.*

 

HIDAYATULLAH