Kiat-Kiat Meraih Shalat Khusyuk (Bag. 1)

Pengertian dan keutamaan khusyuk dalam shalat

Khusyuk adalah tenangnya hati yang tampak dalam amal anggota badan. Artinya, seseorang yang khusyuk dalam shalat, pikirannya akan tenang, tidak memikirkan dan berpaling kepada hal-hal yang tidak berkaitan dengan shalat. Kekhusyukan hati ini akan tampak dalam anggota badan, sehingga anggota badan tersebut juga ikut tenang, tidak bergerak kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan shalat.

 

Allah Ta’ala memuji hamba-Nya yang khusyuk dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

”Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan serta berdoa kepada kami dengan penuh “raghbah” dan “rahbah”. Sedangkan mereka selalu khusyu’ hanya kepada kami.” [QS. Al-Anbiya’ : 90]

Secara khusus, Allah Ta’ala memuji hamba-Nya yang khusyuk dalam sahalat. Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” [QS. Al-Mu’minuun : 1-2]

Yang dimaksud dengan “keberuntungan” adalah mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dan tercegah dari sesuatu yang kita benci.

Oleh karena begitu besarnya keutamaan khusyuk dalam shalat, berikut ini kami sampaikan beberapa kiat agar kita dapat meraih khusyuk dalam shalat.

 

Meyakini dan menghadirkan dalam hati bahwa kita sedang menghadap Allah Ta’ala

Untuk meraih khusyuk dalam shalat, kita pertama adalah kita meyakini bahwa kita sedang menghadap Allah Ta’ala, Rabb yang telah menciptakan kita. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ

“Sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian berdiri untuk shalat, maka dia sedang berhadapan kepada Rabb-nya.” [HR. Bukhari no. 405 dan Muslim no. 551]

Demikian pula, ketika kita sedang shalat, maka kita sedang berdialog dengan Allah Ta’ala. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Allah Ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (yaitu surat Al-Fatihah, pent.) untuk-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan untuk hamba-Ku sesuai dengan apa yang dia minta.”

فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memujiku.”

وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku menyanjungku.” (sanjungan yaitu pujian yang berulang-ulang, pent.)

وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang menguasai hari pembalasan”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuliakanku.” Dan terkadang Allah berfirman, “Hamba-Ku memasrahkankan urusannya kepada-Ku.”

فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.”

فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Dan ketika hamba berkata (yang artinya), “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.” [HR. Muslim no. 395]

Inilah di antara keistimewaan shalat yang tidak kita jumpai di ibadah-ibadah lainnya. Ketika kita menghadirkan hati kita bahwa kita sedang berdialog dengan Allah Ta’ala ketika shalat, maka hal ini akan berperan besar dalam mendatangkan kekhusyukan. Sayangnya, banyak di antara kita yang membaca surat Al-Fatihah, namun tidak memiliki bekas dan pengaruh apa-apa karena kita membacanya hanya sekedar lewat.

Ketika sujud, seorang hamba itu paling dekat dengan Rabb-nya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang hamba itu paling dekat dengan Rabb-nya ketika bersujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ، وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud. Maka perbanyaklah doa (ketika sujud).” (HR. Muslim no. 482)

Yang paling dekat dengan Rabb-nya bukanlah ketika berdiri dalam shalat, namun ketika sujud. Karena dalam sujud terkandung makna tunduk dan penghinaan diri di hadapan Allah Ta’ala, yaitu seorang hamba meletakkan dua anggota tubuhnya yang mulia (dahi dan hidung) di lantai yang merupakan tempat yang terinjak oleh kaki. Dia meletakkan anggota tubuhnya tinggi ke posisi yang paling rendah, sejajar dengan dua telapak kakinya.

Dalam posisi seperti itu, kita berdzikir ketika sujud dengan mengatakan,

سبحان ربي الأعلي

“Maha suci Allah, Dzat Yang Maha tinggi.”

Seolah-olah kita hadirkan dalam hati kita, ketika kita turun ke lantai, kita mensucikan Allah Ta’ala dari sifat-sifat kerendahan. Inilah kesesuaian mengapa dalam sujud kita membaca dzikir tersebut.

Oleh karena itu, salat menggabungkan dua keutamaan sekaligus. Ketika berdiri kita berdialog dengan Allah Ta’ala (membaca surat Al-Fatihah) dan ketika sujud kita berada dalam posisi paling dekat Allah Ta’ala. Sedangkan Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Tinggi, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45151-kiat-kiat-meraih-shalat-khusyuk-bag-1.html