Kilau (Harta) yang Menipu

Oleh Hafidz Muftisany

Hati siapa yang tidak tertarik dengan godaan harta. Terlebih seseorang seharusnya mendapatkan bagian harta tertentu setelah ia berjuang keras. Berjuang hingga risiko antara hidup dan mati hanya dipisahkan benang tipis.

Ketertarikan atas harta yang lantas tak sesuai dengan harapan tentu memunculkan gundah. Keresehan itu pula yang dialami oleh kaum Anshar saat Perang Hunain nan berat itu sudah usai. Kaum Muslimin mendapat kemenangan yang besar.

Seperti laiknya perang-perang lain, kaum Muslimin pun berhak mendapat harta rampasan perang (ghanimah). Namun alangkah kecewanya kaum yang menerima Nabi SAW saat ia diusir dari kaummnya itu. Nabi SAW justru memberikan bagian harta ghanimah kepada orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam semisal Abu Sufyan, ‘Uyainah, Al Aqra’ dan Suhail bin ‘Amar.

Maka jiwa-jiwa manusia biasa kaum Anshar menyeruak protes. Kenapa orang yang dulunya memusuhi Nabi SAW dan baru masuk Islam mendapat bagian? sementara mereka yang menolong Nabi SAW dan kaum muhajirin, pulang dengan tangan hampa.

Rasulullah seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad, lantas menemui dan menjawab kegundahan sahabat-sahabatnya dari Anshar itu. “Tidakkah kamu ridha, hai orang-orang Anshar,” ujar Nabi SAW dalam kalimatnya yang bersejarah, “manusia pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kamu pulang ke kampung halamanmu membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar.”

Kita paham bagaimana akhir dari kisah ini. Siapakah yang lebih beruntung bisa membawa serta Rasulullah SAW bersama mereka dibandingkan sampah dunia bernama harta. Sesenggukan wajah-wajah Anshar itu terdengar saling bersahutan. Air mata penyesalan mereka basah mengaliri hingga janggut-janggut mereka.

Begitulah kita sejatinya diajarkan untuk bersikap terhadap harta. Memiliki keinginan untuk menguasai harta adalah sesuatu yang wajar. Namun pada hakikatnya, harta hanyalah sebuah sarana. Seperti hanya Rasulullah SAW memberikan harta kepada kaum Quraisy yang baru masuk Islam. Semua itu hanya sarana untuk mengikat hati mereka agar tetap bersama dakwah.

Sementara Rasulullah SAW paham, sejatinya kaum Anshar tak memerlukan itu semua. Bagi mereka yang mengutamakan kaum muhajirin di atas diri mereka sendiri, tentu harta bukanlah yang paling utama. Jika kaum Anshar menangis tersedu karena mereka “mendapat” Rasulullah SAW, kita justru tergugu jika harta kita berkurang.

Otak kita seakan disetting hanya untuk mencari uang dan materi. Bukan dengan niat jihad mencari nafkah, namun demi memenuhi buas nafsu diri. Terkadang waktu yang kita miliki tak cukup 24 jam guna mencari pundi-pundi rupiah. Demi sebuah tas bermerk agar tak lagi dijauhi dalam kumpulan arisan-arisan masa kini.

Kehidupan kini hanya berjalan dari satu transaksi ke transaksi berikutnya. Dari satu lembur ke lembur yang sama keesokannya. Muara semuanya itu hanya kelelahan raga dan jiwa yang tak pernah tenang. Terlalu keras mengais emas terkadang turut melenakan kita pada hal-hal kecil yang sejatinya butuh perhatian.

Mengejar tender milyaran bagi kita masih terlalu penting dibanding mengajari anak-anak kita belajar huruf hijaiyah agar mereka dapat membaca kitab sucinya. Kita lupa membantu mengejakan hukum-hukum tajwid agar kelak saat kita mati, si anak dengan lancar memimpin barisan shalat jenazah.

Padahal bisa jadi bekal yang sangat ia perlukan bukanlah properti tak bergerak senilai puluhan miliar. Yang mereka butuhkan sejatinya adalah apa yang kaum Anshar butuhkan. Kehadiran sosok Rasulullah SAW. Mereka jauh lebih beruntung membawa pulang Nabi Muhammad SAW ke kota mereka. Lantas menyerap saripati hidup yang sebenarnya.

Semoga kita ini seperti orang-orang Anshar yang mendapat keistimewaan untuk “membawa pulang” Rasulullah SAW bersama mereka. Karena mereka sadar, meski ketertarikan pada kilau harta sangatlah normal namun tak akan bisa menggantikan kilau cahaya hakiki dari Muhammad SAW

 

sumber: Republika Online