Kisah Derita Anak-anak Suriah dalam Kepungan Perang

ACTNews, DAMASKUS – Hingga hari ini, perang Suriah terus menyajkan cerita duka tiada henti. Kabar terbaru yang dirilis dari Suriah setiap harinya pasti mampu mengurai air mata kesedihan. Tak bisa dipungkiri lagi, Kejahatan kemanusiaan karena kepungan perang di Suriah sudah dalam batas-batas yang tak bisa lagi dimaafkan.

Kepungan perang bukan saja memicu gelombang ledakan migrasi besar-besaran pengungsi Suriah di Benua Eropa, namun juga menggadaikan hak-hak anak Suriah untuk menatap kehidupan yang lebih baik. Anak-anak Suriah yang hidup dalam kepungan perang mau tak mau harus menerima kenyataan, jika perang tak berakhir maka masa depan mereka akan musnah diterjang deru peluru.

We have no children any more, only small adults,” ujar Rihab, seorang perempuan yang hidup di timur Ghouta, dekat Damaskus, mengutip laman theguardian.

Puluhan ribu anak-anak kecil yang terbaring lemas dalam kondisi sakit hanya bisa mendapatkan perawatan di titik-titik perbatasan yang sudah ditentukan oleh militan, kepungan perang dan ranjau darat yang tertanam dimana-mana tak mengizinkan mereka berjalan lebih jauh keluar dari desa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih layak.

Bahkan karena jalur distribusi bantuan sama sekali tak bisa ditembus akibat blokade perang dari pihak-pihak yang bertikai, memaksa anak-anak Suriah dan keluarga kecilnya bertahan hidup dengan memakanan pakan hewan dan rebusan dedaunan. Sementara itu, Ibu dan Ayah mereka terpaksa membakar matras atau kasur, demi menjaga anak-anak mereka tetap dalam kondisi hangat di tengah cuaca dingin yang menusuk tulang.

Kondisi ini dilaporkan oleh Save the Children dalam rilisan terbaru mereka yang mengisahkan kondisi terkini anak-anak Suriah. Laporan yang disusun setelah melakukan diskusi dan interview mendalam dengan ratusan orang tua, anak-anak, dokter, dan pekerja kemanusiaan di dalam kamp pengungsian yang terkepung milisi bersenjata dekat Damaskus.

Kematian bagi anak-anak Suriah nampak sangat dekat di depan mata karena pasokan obat-obatan yang sangat tidak mencukupi. Obat bius, penahan rasa sakit (painkillers) dan obat-obatan untuk penyakit kronis lainnya nihil tersedia bagi ratusan ribu anak-anak Suriah. Bahkan ancaman rabies mulai merebak karena absennya vaksin penyakit selama bertahun-tahun bergulirnya perang.

Lebih buruk lagi, anak-anak Suriah perlahan menunggu ajal karena wabah malnutrisi makin merebak imbas dari buruknya standar gizi dan sanitasi anak-anak Suriah dalam periode perang. Sementara itu, ranjau darat dan tatapan sniper dari jendela-jendela rumah menunggu siapapun yang nekat melarikan diri dari kepungan perang. Akibat blokade total ini, puluhan bahkan ratusan desa terpencil di Suriah mustahil untuk ditembus oleh konvoi medis dan bantuan kemanusiaan. Kenyataan ini membuat dunia semakin berduka.

Ahmed, seorang anak laki-laki yang hidup di tengah kepungan perang di Douma, kota kecil dekat Damaskus, Suriah mengisahkan ketakutannya akan perang. “Setiap Aku mendengar suara tank atau pesawat di atas rumah, Aku langsung merasa begitu ketakutan dan seketika berlari berlindung di balik kasur,” kisahnya pilu.

Sejak 5 tahun lalu, sampai dengan hari ini, lalu esok, dan entah sampai kapan kisah pilu itu nyata terjadi di depan mata. Bukan di medan Perang Dunia Ke-2 , bukan di kamp pengungsian perang dingin bekas Uni Soviet. Kejadian itu betul-betul sedang terjadi hari ini.

Penderitaan nyata yang dirasakan oleh sekitar 1 juta warga Suriah yang masih bertahan dan tak bisa keluar dari blokade perang Suriah. Seperempat dari jumlah tersebut adalah anak-anak yang hidup menatap suramnya masa depan mereka di dalam blokade perang.

“Ketakutan akan perang sudah berada di tiap tarikan napas kami, anak-anak Suriah hari ini menunggu giliran mereka untuk mati, bahkan kami orang dewasa pun hidup hanya untuk menunggu giliran mati,” ungkap Rihab, mengutip theguardian.[]

 

 

sumber: ACT