Kisah Gurkha: Mogok Bertempur karena Adzan dan Takbir

‘’Kita bersaudara. Indonesia-Pakistan bersaudara!’’ begitulah pernyataan berbagai pejabat Pakistan ketika menerima kunjungan delegasi Indonesia. Menurut mereka jasa Indonesia sangat besar terhadap negaranya, terutama ketika India-Pakistan terlibat dalam konflik pada dekade 60-an.

Sosok Presiden Sukarno sangat terkenal di sana dan menghormatinya atau mendapat tempat khusus. Dia layaknya menjadi salah satu pemimpin penting di Asia yang juga menjadi Bapak Bangsa Pakistan: Muhammad Ali Jinnah.

‘’Merdeka…!’’ pekik perjuangan ini di Pakistan ternyata cukup dikenal. Ketua Parlemen Pakistan kerap menyatakannya ketika membuka percakapan dalam pertemuan dengan delegasi Indonesia. Mereka tampaknya juga tahu bahwa kata ‘merdeka’ itu serapan dari bahasa asal India (Sansekerta), yakni ‘maharddhi’ yang arti harfiahnya adalah kemakmuran, kesempurnaan besar, keunggulan, kesucian.

Tak hanya itu  kisah heroik angkatan perang Indonesia yang berani bertindak sebagai pihak pemisah ketika Pakistan dan India terlibat konflik. Keberanian para punggawa armada TNI angkatan laut ketika mencegah aksi penyerangan armada laut India terhadap armada kapal perang Pakistan mereka kenang sampai sekarang.

Namun, di antara sekian banyak tokoh Pakistan yang punya hubungan khusus dengan Indonesia setelah Ali Jinnah, adalah mendiang Presiden Muhammad Zia ul Haq. Bahkan, presiden yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat ini  punya hubungan emosi langsung dengan peristiwa pertempuran besar di Surabaya, pada 10 November 1945. Zia Ul Haq  pada saat itu datang bersama pasukan sekutu dan menjabat sebagai salah satu komandan Gurkha yang bertugas di Surabaya.

****

Namun ada yang abadi dalam mengenang pasukan Gurkha yang dahulu bertempur di Surabaya pada 10 Novermver 1945. Mereka ternyata sempat mogok bertempur karena mendengar suara adzan dan takbir!

Dan, sang komandannya yang pernah mengalami pertempuran langsung di Surabaya  pada 10 November 1945 itu adalah mantan Presden Pakistan Zia ul Haq. Semasa hidup dia selalu terkenang dengan kota yang terkenal dengan makanan rawon dan rujak cingurnya itu.

Bahkan, pada tahun 80-an, semasa Zia ul Haq menjabat sebagai presiden dan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia, dia secara khusus meminta kepada Presiden Suharto agar bisa berkunjung ke Surabaya. Alasannya ingin melihat kembali kota itu.

Tentu saja, sebagai sesama mantan komandan tempur Suharto pun mengizinkannya. Dikabarkan saat Suharto menginyakan keinginannaya, wajah Zia ul Haq menjadi sumringah alias berseri-seri. Ini membutikan kenangan pertempuran besar antara tentara sekutu (Inggris dan Austalia yang di dalamnya ada legiun Gurkha) begitu dalam membekas dalam hatinya.

Memanhg Zia ul Haq saat itu hanya seorang tentara dan tidak tahu tetek bengek politik. Dia juga tak paham bahwa kedatangan bala tentaranya bersama pasukan Inggris yang saat itu sekutu saat itu diboncengi tentara Nica (Belanda) sebenarnya ingin menjajah kembali Indonesia.

Bagi kalangan rakyat yang sempat terlibat dalam peristiwa pertempuran itu, mereka juga melihat peran tentara Gurkha. Namun, mereka juga melihat keanehan ketika banyak diantara mereka yang mogok tak mau perang. Bahkan, beberapa orang malah melakukan disersi.

Mengapa demikian? Jawabnya karena tentara Gurkha yang salah satunya komandannya adalah Zia ul Haq tersebut terkejut ketika tiba di Surabaya dengan melihat banyaknya masjid dan meluasnya suara adzan ketika tiba waktu shalat. Mereka tiba-tiba sadar karena pihak yang mereka perangi adalah saudaranya sendiri, sesama Muslim. Maka mereka pun mogok tak mau bertempur.

Para legiun Gurkha itu pun kian kaget ketika ada seruan dari radio yang dikumandangkan Bung Tomo serta teriakan para pejuang di tengah pertempuran Surabaya adalah: ‘Allahu Akbar!’. Maka praktis secara diam-diam sebagian tentara sekutu mengalami ‘demoralisasi’. Apalagi tentara Gurkha pun pada saat itu aktif mengerjakan shalat berjamaah di berbagai masjid bersama warga lokal. Nah, kenangan itulah yang dirasakan Zia ul Haq ketika menjadi komandan pasukan Gurkha di Surabaya. Dan memori ini lestari hingga dia menjabat sebagai Presiden Pakistan.

Pekik ‘Allahu Akbar’ yang terdengar di tegah pertempuran memang menjadi pertanda bahwa pertempuran itu merupakan ajang perang kaum santri. Mereka bergerak setelah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menyatakan perlawanan kepada penjajah adaah kewajiban setiap Muslim: Cinta tanah air adalah sebagian dari iman! Seruan pendiri NU ini tentu saja membakar semangat para santri yang datang dari berbagai pesantren yang tersebar, tak hanya dari seputaran Surabaya dan Jawa Timur saja, tapi hingga meluas di berbagai pesantren yang ada di Jawa Tengah dan Cirebon. Para santri itu datang untuk bertempur dengan naik kereta api ke Surabaya.

”Dua orang saudara kakek kami gugur dalam pertempuran di Surabaya. Mereka datang ke sana dengan naik kereta api dan tertembak ketika hendak masuk kota Surabaya dari arah Sidaorjo,” begitu kata salah satu pengasuh pondok pesantren Somalagu, di desa Sumber Adi, Kebumen Jawa Tengah, beberapa waktu silam.

Dia mengatakan, mereka datang dan ikut bertempur melawan bala tentara Sekutu yang diboncengi Nica dengan semangat berjihad. Jadi masuk akal bila pasukan Gurkha yang salah satunya dikomandani Zia Ul Haq menjadi malas bertempur. Mereka tahu tak ingin tangannya berlumuran darah karena memerangi sesama Muslim.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

REPUBLIKA