Kisah Kiai Jawa Bertemu Mualaf Eropa di Jabal Rahmah

Jabal Rahmah, sebuah bukit di padang Arafah yang menjadi saksi pertemuan Adam dan Hawa kembali mempertemukan dua anak manusia. Pada 9 Dzulhijjah  1366 Hijriyah atau 1947 Masehi,  seorang Kiai asal Jawa, Abdussalam, bertemu dengan seorang Eropa yang baru berganti nama.

Sesudah bersalaman, dia memperkenalkan diri sebagai Abdusyukur. “Saya mualaf. Baru lima bulan menganut agama Islam,”kata Abdusyukur seperti dituliskan Abdussalam dalam memoarnya di dalam buku Naik Haji di Masa Silam 1482-1964 karya Henri Chambert Loir.

Abdusyukur berkisah, sudah lama dia berkelana mencari Tuhan. Dia mendalami berbagai agama yang tak juga memuaskan hatinya. “Enam bulan berselang, saya tengah berjalan-jalan di Kota Paris yang permai itu. Terdengar oleh saya azan di menara masjid di kota itu. Bagaikan ada perintah halus ke dalam hati saya untuk menjadi orang Islam. Saya jumpai imam masjid itu. Di tangannyalah saya menjadi umat Islam. Sekarang ini, saudara..”katanya sambil menangis tersedu-sedu.

Pada awal abad ke-19, Islam bukan hal baru di Eropa, termasuk Prancis. Setelah Perang Dunia I, sebuah masjid raya didirikan di Paris sebagai rasa terima kasih kepadatirailleurs Muslim, sebutan bagi pasukan infrantri Prancis pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa. Mereka direkrut dari wilayah-wilayah jajahan Prancis, salah satunya Aljazair. Negeri nenek moyang pelatih Real Madrid dan bekas pemain sepak bola terbaik dunia, Zinedine Zidane. Lewat masjid, pemerintah hendak memberi penghargaan kepada para 100 ribu tirailleurs yang tewas saat bertempur melawan Jerman.

Pada 1944, tercatat ada 550 ribu tentara Afrika-Prancis. Banyak di antara mereka direkrut, baik terpaksa maupun sukarela, dari koloni-koloni Prancis. Dari jumlah itu, sebanyak 134 ribu dari Aljazair, 73 ribu dari Maroko, 26 ribu asal Tunisia, dan 92 ribu dari koloni lain di Afrika.  Selain bertempur pada Perang Dunia 1, tentara multiras itu diterjunkan dalam pertempuran di Italia pada 1943 untuk mengusir Jerman dari Monte Cassino.

Masjid itu berdiri pada 1926. Mengikuti gaya Mudejar yang mewarisi arsitektur Andalusia, masjid ini memiliki sebuah menara setinggi 33 meter. Selama Perang Dunia ke-2, saat Prancis dicaplok Nazi, Jerman, imam masjid Si Kaddour Benghabrit pernah menjadikan masjid itu untuk melindungi pengungsi Aljazair dan Yahudi Eropa. Benghabrit menjamin akan menyediakan kamar, perjalanan yang aman hingga sertifikat kelahiran Muslim palsu untuk melindungi mereka dari eksekusi Jerman.

Meski demikian, Prancis tetaplah Prancis. Negara yang trauma dengan adanya kekuasaan di tangan kaum borjouis dan pemuka agama. Revolusi Prancis pada 1789 menghancurkan dominasi Gereja Katolik. Hingga sekarang, Prancis memberi contoh kepada banyak negara demokrasi di Eropa tentang praktik pemisahan kekuasaan antar agama dan negara alias sekularisme.

Hanya, sekularisme di negeri Menara Eifel tak berarti menutup hidayah bagi pencari Tuhan seperti Abdusyukur. Seperti dikisahkan oleh Abdussalam, Abdusyukur malah memeluk Islam usai mendengar lantunan azan di Paris. Hingga, mualaf itu pun berkesempatan untuk menunaikan rukun Islam kelima untuk berangkat haji.

Saat menjalankan wukuf di Arafah, Abdusyukur melihat ratusan ribu Muslim dibalut pakaian putih. Suara-suara zikir manusia bergema dari bukit tandus itu. Mereka menengadahkan tangan untuk menjadi sebenar-benarnya hamba.

“Kami memuji Allah yang Ia telah menjadikan kami umat kekasih-Nya Muhammad SAW. Dan dengan nikmat yang satu ini sudah padalah (cukuplah) bagi kami. Benar saudara, katanya. Biar saya tak mempunyai kapal udara, tidak punya mobil, tidak punya gedung yang permai, dengan kurnia-Nya saya menjadi umat Islam ini, sudah lebih dari dunia dengan isinya.”

 

sumber: Republika Online