Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa (2-Habis)

Rasulullah SAW menceritakan kisah seorang pembunuh yang telah menewaskan 100 orang.

Atas saran orang alim itu, sang pembunuh segera hijrah dari negeri asalnya. Pria yang telah menewaskan seratus nyawa itu ingin memulai babak baru kehidupan, di negeri tujuan yang berisi banyak orang salih.

Kisahnya diceritakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW, sebagaimana riwayat Imam Muslim. Rasulullah SAW menuturkan, “Dia (sang pembunuh 100 jiwa) pun berangkat. Saat tiba di persimpangan jalan, ajal datang menjemputnya. Lalu (datanglah) Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab; (keduanya) memperebutkannya.

Malaikat Rahmat berkata, ‘Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah.’ Sementara, Malaikat Azab berkata, ‘Dia belum melakukan satu kebaikan pun.’

Akhirnya, turun sesosok malaikat yang berwujud manusia. Kemudian, keduanya (Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab) sepakat untuk menjadikannya penengah. Dia berkata, ‘Ukurlah jarak di antara tanah (tempat kematian sang pembunuh). Lalu perhatikan, ke arah mana dia lebih dekat. Maka berarti dia termasuk penghuni tempat itu.’

Masing-masing pun mengukurnya. Ternyata, pria tersebut lebih dekat ke arah (negeri) yang hendak dia tuju. Maka Malaikat Rahmat kemudian menemani jiwanya.”

Menurut Umar Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya, Shahihul Qashash an-Nabawy, kisah tersebut membuka pintu harapan bagi siapapun orang beriman yang hendak meraih ampunan Allah SWT.

Ingat kembali surah az-Zumar ayat ke-53. Artinya, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‘”

Allah melarang kita untuk berputus asa dan meyakinkan kita betapa ampunan-Nya amat luas. Lihatlah, pria yang telah membunuh seratus nyawa. Atas izin Allah SWT, langkah kakinya digerakkan dalam hijrah menuju kehidupan yang lebih islami. Walaupun dia sudah meninggal sebelum mencapai negeri tujuan, ternyata taubatnya sudah diterima Allah SWT.

Demikian pula. Menurut Syekh Umar Sulaiman, dari kisah ini dapatlah dipetik suatu hikmah. Betapa rahib yang menjadi korban ke-100 merupakan orang yang pandai beribadah, tetapi belum tentu berilmu. Kata-katanya yang menghakimi–bahwa taubat sang pembunuh tidak mungkin diterima–terbukti keliru.

Rahib tersebut kurang bijak bila dibandingkan dengan ulama yang menasihati sang pembunuh agar hijrah dari negeri asalnya. Ulama tersebut menilai, siapapun hamba Allah berkesempatan mendapatkan naungan dan ampunan-Nya. Dengan begitu, terbukalah jalan menuju pintu taubat; tertutuplah celah kembali kepada kemaksiatan.