Merujuk keterangan yang diungkapkan oleh Roger Geraudy, disebutkan bahwa di antara faktor yang mendorong kehadiran orang Yahudi ke wilayah Syam–yang didudukinya saat ini–ialah semangat keagamaan. Zionisme sebagai gerakan keagamaan mengharapkan gunung Zion yang terletak wilayah Syam untuk dijadikan sebagai tempat suci bagi golongan mereka dan orang Yahudi di seluruh dunia. Mereka menganggap hal itu sebagai janji Tuhan yang perlu direalisasikan. Zionisme yang berevolusi menjadi gerakan politik lantas memanfaatkan harapan tersebut untuk mendirikan negara bagi orang Yahudi di seluruh dunia. Adapun wilayah yang mulanya diincar ialah Argentina atau Uganda.
Setelah gerakan Zionisme internasional mengetahui keinginan Zionisme keagamaan untuk menjadikan wilayah Syam menjadi tempat suci Yahudi, maka kemudian gerakan Zionisme internasional menetapkan tempat tersebut menggantikan pilihan awalnya, yakni Argentina atau Uganda, untuk dijadikan negara Yahudi. Berdasar alasan tersebut, George Lenczowski menambahkan bahwa legitimasi yang diperoleh orang Yahudi untuk mempunyai negara sendiri itu diperoleh atas putusan Kongres Zionis pada tahun 1897 yang berlangsung di Bazel, Swiss.
Keinginan untuk mendirikan negara Yahudi pun semakit kokoh pascapenegasan dukungan atas berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina dalam Deklarasi Berfour pada tahun 1917. Bahkan cita-cita berdirinya negara Yahudi semakin nyata lagi setelah wilayah Palestina ditempatkan di bawah protektariat Inggris oleh Liga Bangsa-bangsa pada tahun 1922.
Orang-orang Yahudi–khususnya dari Eropa–yang berpindah ke Palestina ternyata semakin banyak, setelah golongan mereka mengalami pengejaran dan terancam dimusnahkan pada masa kekuasaan Hitler di Jerman. Selain alasan tersebut, kepindahan mereka juga dikatakan sebagai perjalanan menuju tanah yang terbentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Eufrat di Irak, yang mereka klain sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka.
Klaim tersebut banyak terdengar lantaran Perdana Menteri Israel yang pertama, Golda Mier, menyatakan bahwa, “Negeri ini (Israel) berdiri merupakan akibat dari janji Tuhan sendiri. Oleh karenanya, memohon pengakuan dan keabsahan merupakan sebuah tindakan yang menggelikan.” Manachem Begin juga pernah menyatakan bahwa, “Negeri ini merupakan janji Tuhan untuk kami, sehingga kami mempunyai hak penuh atasnya.”
Membaca kedua ungkapan di atas, terdapat satu dalil keagamaan yang mereka gunakan sebagai justifikasi atas tegaknya Israel, yakni “Janji Tuhan”. Kredo yang sering diserukan mendampingi istilah-istilah lain, seperti “Bangsa Pilihan” dan “Israel Raya” yang terbentang dari Mesir hingga Irak itu, menunjukkan bahwa golongan mereka seakan melihat peta wilayah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka.
Klaim mereka sebagai keturunan Ibrahim (yang disebut mereka dengan Abraham), lantas menjadikan mereka seolah-olah menjadi orang yang memperjuangkan hak mereka dengan dasar “Janji Tuhan”. Padahal apabila dibaca ulang, bisa jadi yang dimaksud “Janji Tuhan” atas tanah yang mereka sucikan itu berkonsekuensi atas tanggung jawab untuk menjaganya, bukan berkonsekuensi atas hak untuk memilikinya.
Apabila dugaan di atas benar, yakni bagi mereka hanya sebatas tanggung jawab, maka dapat dimengerti bahwa yang mereka serukan tidak lain merupakan sebuah kedustaan. Kemudian jika benar terdapat janji atas hak untuk memiliki, maka menjadi hal yang janggal tatkala mereka memperjuangkan perkara yang dianggapnya baik, yakni “Janji Tuhan”, tetapi dengan cara-cara yang tidak baik. Hanya menjadi sebuah paradoks, ketika mereka menuntut kebenaran tetapi melegalkan tindak penaklukan, pengusiran, penindasan, dan pembunuhan.
Kerancuan selanjutnya ialah tatkala orang-orang Yahudi menyerukan klaim dan mengaitkan Israel dengan adanya hak historis sebagai bangsa yang pertama menduduki wilayah Palestina. Karena jika merejuk penelusuran Thomas Kiernan, para antropolog menduga bahwa orang-orang Yahudi Eropa bagian Timur hanya memiliki sedikit–sebagian lain menganggap tidak memiliki–hubungan biologis dengan Palestina. Bahkan menurut Roger Geraudy, orang Yahudi sejatinya tak memiliki legalitas dengan dasar historis, injili, maupun yuridis atas tempat yang didudukinya saat ini.
Berdasar uraian di atas, terdapat garis merah yang menandakan adanya kemungkinan bahwa pendudukan yang dilakukan oleh orang Yahudi dari penjuru dunia ke Palestina bukanlah karena kerinduan mereka pada “negeri nenek moyang dan leluhur mereka”, melainkan lebih sebagai akibat dari pengejaran-pengejaran yang mereka alami di berbagai wilayah. Mulai dari kepindahan golongan mereka dari Spanyol pada abad 15, hingga pengejaran dari Rusia di akhir abad 18.
Apabila dugaan yang diungkap oleh para ahli sejarah di atas memang benar, maka tidak sepantasnya jika upaya pendudukan dan pengusiran yang dilakukan oleh para pengungsi terhadap penduduk yang lebih dulu mendiami suatu wilayah itu dapat dibenarkan. Selanjutnya, yang lebih pantas diharapkan bukanlah sekadar kebenaran sejarah semata, tetapi yang lebih penting lagi ialah harapan supaya konflik di antara dua negara (Palestina-Israel) dapat mencapai titik damai. Wallahu a’lam bish shawab.