Konsisten Beramal Shalih

Konsisten Beramal Shalih

Peribahasa mengatakan: ada asap, ada api. Jadi, “api” apakah yang mengepulkan “asap” kemuliaan dari dalam diri mereka? Kita berharap dapat menguak sedikit rahasia ini, dan meraih manfaat dengan meneladaninya.

Di dalam Al-Qur’an, sebenarnya Allah telah mengisyaratkan rahasia di balik semangat mereka, dengan berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218).

Perasaan senada juga diabadikan oleh Allah dalam surah Al-Ma’idah ayat 83-84: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui; seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi. Mengapa kami tidak mau beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?”

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pengharapan kepada rahmat dan karunia Allah-lah yang mendorong seseorang konsisten di jalan-Nya. Pengharapan adalah bahan bakar bagi api iman, sehingga terus berkobar, menerangi, menghangatkan. Tanpa pengharapan, iman akan padam dan membeku sehingga mandul dan tidak menghasilkan amal shalih. Maka, wajar jika salah satu aspek terpenting dalam iman adalah ar-raja’ (pengharapan).

Bayangkanlah seseorang yang berlari 42 km dalam lomba marathon, atau menempuh ratusan kilometer dalam lomba balap sepeda. Mengapa mereka terus maju, walau pun didera kelelahan yang amat sangat?

Ya, karena mereka berharap bisa sampai ke garis finis dan mengambil hadiahnya, atau tujuan-tujuan lain. Jika saja tidak ada harapan apa pun di balik kerja kerasnya, padahal ia terus berjuang mati-matian, maka kita pantas mempertanyakan kewarasan akalnya.

Namun, semata-mata memiliki pengharapan kepada Allah tidak selalu mencukupi untuk melecut semangat beramal shalih. Fakta menunjukkan betapa banyaknya orang yang cita-citanya setinggi langit, namun usahanya tidak pantas dihargai.

Mengapa mereka berani memelihara angan-angan hebat, dan pada saat bersamaan tidak malu untuk duduk berpangku tangan, enggan memeras keringat guna mewujudkannya? Ya, karena mereka tidak merasa takut terhadap akibat perbuatannya.

Maka, Islam memperkenalkan konsep al-khauf (takut), sebagai penyeimbang dari ar-raja’ (pengharapan). Keduanya harus setimbang dalam diri seorang muslim, agar ia konsisten beramal shalih.

Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhir (ulama’ Tabi’in) bercerita: kami pernah mendatangi Yazid bin Shauhan, dan beliau berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, bermurah hatilah dan berbuat baiklah; karena sesungguhnya sarana seorang hamba untuk sampai kepada Allah itu ada dua saja, yaitu takut dan harap.” (Riwayat al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab).

Abu ‘Ali Ahmad bin Muhammad ar-Rudzabari (w. 322 H) juga berkata, “Takut dan harap itu ibarat sepasang sayap burung. Jika keduanya sejajar, maka burung pun akan seimbang dan sempurnalah terbangnya. Jika salah satu dari keduanya berkurang, maka akan berkurang pulalah keseimbangan dan kesempurnaan terbangnya. Jika kedua-duanya lenyap, maka burung itu pasti terancam kematian. Oleh karenanya ada dikatakan: ‘seandainya takut dan harap dalam (hati) seorang mukmin itu ditimbang, niscara akan sejajar.” (Riwayat al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab).

Perasaan takut dan harap memang harus dijaga agar tetap seimbang. Sebab, jika jiwa seseorang cuma didominasi ketakutan, ia akan menjadi gila. Sebaliknya, jika hanya dipenuhi pengharapan, ia akan lalai dan sembrono. Hanya saja, apa yang seharusnya diharapkan dan ditakuti, agar semangat beramal shalih senantiasa terpelihara?

لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤمِنُ مَا عِنْدَ الله مِنَ العُقُوبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الكَافِرُ مَا عِنْدَ الله مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أحَدٌ

“Seandainya seorang Mukmin mengetahui adzab yang ada di sisi Allâh, niscaya tidak ada seorang pun yang akan terlalu berambisi untuk meraih Surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui kasih sayang Allâh, niscaya tidak ada seorang pun yang akan berputus asa dari meraih Surga-Nya.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah).

Jadi, jangan merasa aman dari ancaman hukuman dan siksa Allah yang tiada taranya. Sebab kita bukan makhluk yang bersih dari kesalahan dan dosa.

فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُۥٓ أَحَدٌ

وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُۥٓ أَحَدٌ

Allah berfirman: “Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (QSL:  Al-Fajr: 25-26).

Akan tetapi, jangan segan untuk bernaung di bawah keteduhan rahmat-Nya yang lebih lapang dari seluruh jagad raya. Rasulullah ﷺ bersabda:

ن لله مائة رحمة أنزل منها رحمة واحدة بين الجن والإنس والبهائم والهوام، فيها يتعاطفون، وبها يتراحمون، وبها تعطف الوحش على ولدها، وأخر الله تسعا وتسعين رحمة يرحم بها عباده يوم القيامة

“Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu di antaranya diturunkannya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tetumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad dari Abu Sa’id).

Semoga seimbangnya perasaan takut dan harap ini mampu mendorong kita beramal shalih, dan konsisten di dalamnya. Amin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Alimin Mukhtar, Pengasuh PP Arrahmah-Malang

HIDAYATULLAH