Konsistensi Hadapi Cobaan

Cobaan, baik kesengsaraan maupun kesenangan, bertubi-tubi menimpa para ulama. Mereka tegar dan bersabar menghadapi semua itu demi kemaslahatan kaum Muslimserta kejayaan Islam. Dari Mush’ab bin Sa’d, Nabi Muhammad pernah ditanya siapa orang yang paling berat ujiannya.

“Para nabi, kemudian (ulama) yang paling mulia, lalu (kaum saleh) yang lebih mulia (daripada setelahnya). Apa yang dialami para imam, ulama, dan nabi menunjukkan kedudukannya dalam iman dan ketinggian derajatnya di sisi Allah.”

Dikisahkan Syekh Ahmad Farid dalam Biografi 60 Ulama Ahlus Sunnah, salah satu ulama yang menghadapi ujian adalah Imam Abu Hanifah (150 H). Imam Abu Hanifah lahir pada 80 H di Kufah, semasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah.

Abu Hanifah mendapat hukuman karena tidak bersedia menerima jabatan yang ia kira di luar kemampuannya. Ketika ditawari jabatan qadhi, Abu Hanifah menjawab, “Aku tidak layak.” Penguasa kala itu terus memaksanya. Abu Hanifah pun mendapat 110 kali cambukan karena menolak jabatan tersebut.

Khalifah kemudian memerintahkan agar menjebloskannya ke dalam penjara. Abu Hanifah dipenjara dan disiksa hingga akhir hayatnya di penjara Baghdad. Di tengah kondisi umat sekarang, kisah ulama yang menolak jabatan hingga rela dicambuk, bahkan dipenjara jadi terasa ganjil.

Malik bin Anas juga pernah mendapat hukuman karena mempertahankan prinsip yang dia yakini. Malik bin Anas (179 H) adalah seorang ulama ahli hadis dan fikih, penulis kitab al-Muwaththa. Ia dikenal dengan kehati-hatiannya dalam berfatwa. Imam Malik mengatakan, “Perisai seorang yang berilmu adalah ‘aku tidak tahu’ dan jika seseorang melalaikannya, dia binasa.”

Imam Malik dicambuk lantaran menuturkan hadis, “Tidak ada talak atas orang yang dipaksa.” Imam Ahmad mengatakan, “Ia dicambuk oleh salah seorang pejabat, aku tidak tahu siapa namanya. Dia dicambuk karena persoalan talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa. Menurut Imam Malik, talak tersebut tidak sah, lalu dia dicambuk karenanya.”

Menurut Abu Dawud, pejabat tersebut bernama Ja’far bin Sulaimanyang saat itu menjabat gubernur Madinah. Imam Malik didera dan dicambuk punggungnya. Salah satu tangannya ditarik hingga persendian bahunya lepas. Sebagian lagi menceritakan, tatkala dipukul, dia digunduli dan dinaikkan ke atas keledai. Lalu, dikatakan kepadanya, “Serukanlah kesalahanmu.” Namun, Imam Malik tetap teguh pada pendiriannya.

Ulama yang paling terkenal menghadapi beratnya siksaan adalahImam Ahmad bin Hanbal (241 H). Imam Ahmad adalah benteng terakhir akidah umat pada masa al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Sebagian ulama mengatakan, “Seandainya bukan karena Imam Ahmad, niscaya orang-orang seluruhnya telah menjadi Mu’tazilah.”

Imam Ahmad mengalami fitnah dari empat khalifah, yaitu al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al Watsiq, dan al-Mutawakkil. Di antara mereka, ada yang memberi ancaman, mencambuk dan menahan, mengasingkan dan ekstradisi, ada pula yang menawarkan jabatan.

Peristiwa itu dikenal sebagai mihnah (inquisition), yang berarti cobaan atau ujian. Menurut istilah, mihnah adalah ujian keyakinan para ahli fikih dan ulama ahli hadis tentang keyakinan Alquran serta sanksi hukum yang harus mereka terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.

Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid menilai, mihnah yang muncul dari perdebatan mengenai status Alquran apakah qadim atau hadis merupakan bencana besar bagi sejarah Islam karena telah mengorbankan nyawa dan darah ulama.

Peristiwa ini bermula dengan naiknya al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid sebagai khalifah. Al-Ma’mun memandang Alquran sebagai makhluk, sebagaimana keyakinan Mu’tazilah. Ia memaksa para ulama dan qadhi untuk mengikuti pendapat tersebut. Banyak di antara mereka memenuhi seruan itu sebagai bentuk taqiyyah (pura-pura) lantaran tidak sanggup menahan beratnya siksaan. Namun, Imam Ahmad menolak meskipun dia diancam dan disiksa dengan berbagai cara. Dia dibawa ke istana dalam keadaan terbelenggu, dipenjara, dicambuk, bahkan diusir dari negerinya.

Orang-orang ramai berkumpul setiap kali mendengar pengadilanImam Ahmad. Pada kesempatan lain, al-Mu’tashim memanggil para fuqaha dan qadhi untuk berdebat dengan Imam Ahmad hingga berlangsung tiga hari. Setiap kali mereka mendebatnya dan memaksakan pendapat Alquran itu makhluk, dia mengatakan, “Bagaimana mungkin aku berpendapat dengan sesuatu yang tidak memiliki dasar?”

Tatkala al Watsiq menjabat khalifah setelah al-Mu’tashim, Imam Ahmad tidak mengalami kekerasan fisik apa pun. Hanya, khalifah mengirimkan utusan untuk menyampaikan supaya Imam Ahmadtidak tinggal di negeri itu. Imam Ahmad kemudian bersembunyi di sejumlah tempat hingga al-Watsiq meninggal.

Imam Ahmad dibebaskan dari segala tuduhan pada masa kekhalifahan al Mutawakkil. Ketika al Mutawakkil menjabat khalifah pada 202 H, dia menolak pendapat tiga khalifah terdahulu. Dia mengecam mereka yang menyatakan Alquran adalah makhluk. Pada masa ini, Imam Ahmad menghadapi fitnah baru, yaitu fitnah dunia. Al-Mutawakkil memuliakan Imam Ahmad dengan gelimang harta, tapi semua ditolak. Dia mengatakan, “Aku selamat dari mereka selama 60 tahun, kemudian aku diuji dengan mereka.” Imam Ahmad tidak menerima sedikit pun dan menjalani sisa usianya dengan zuhud.

 

sumber: Republika Online