Lakukanlah Kebaikan Sesuai dengan Kemampuan

BARANG siapa tidak mampu atau tidak memiliki cukup gairah untuk mengerjakan kebaikan seluruhnya, tidaklah sepatutnya ia meninggalkannya seluruhnya. Tetapi, hendaknya ia mengerjakan sekadar kemampuan dan kecakapannya. Sebab, sesuatu kebaikan akan bergabung dengan kebaikan lainnya.

Yang kecil akan menarik yang besar ke arahnya, yang sedikit akan mengundang yang lebih banyak, dan seperti yang sering dikatakan, “Kebaikan merupakan kebiasaan.”

Demikian pula orang yang tidak dapat meninggalkan kejahatan seluruhnya. Ia harus berusaha meninggalkan sejauh yang dapat ditinggalkannya. Kebaikan yang bercampur dengan kejahatan lebih baik dan lebih ringan daripada kejahatan yang murni. Perbuatan-perbuatan baik dapat menghapus perbuatan-perbuatan buruk (Al-Quran).

Abu Dzar meriwayatkan, Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“Ikutilah keburukan yang telah kau lakukan dengan perbuatan kebaikan sehingga menghapus (akibatnya)-nya.”

Nabi juga bersabda:

“Jika engkau telah telanjur berbuat keburukan, ikutilah dengan berbuat kebaikan sehingga dengan demikian engkau menghapusnya. Yang rahasia diikuti dengan yang rahasia, yang terang-terangan diikuti dengan yang terang-terangan.” (Imam Ahmad)

Apabila seseorang ditimpa bala’ (bencana) dengan sesuatu kejahatan atau maksiat yang diperbuatnya, janganlah sekali-kali ia serta-merta berpaling dari Allah serta meninggalkan perbuatan kebaikan dan ketaatan secara keseluruhan sehingga tidak ada lagi jalan antara dia dan Tuhannya untuk “berdamai” dan kembali kepada-Nya. Hendaknya ia mengambil pelajaran dari kisah seorang penjahat yang kerjanya menyamun, membunuh, dan merampok harta benda milik kaum Muslim, lalu suatu ketika seorang saleh melihatnya melakukan kejahatan-kejahatan itu sedangkan ia (si penjahat) dalam keadaan berpuasa.

Orang saleh tadi berkata kepadanya, “Hai, bagaimana engkau mengerjakan semua kejahatan ini, sedangkan engkau sedang dalam keadaan berpuasa?”

Penjahat itu menjawab, “Benar, aku ingin tetap menyediakan tempat untuk ‘perdamaian’ kembali dengan Tuhanku dan tidak menutup semua jalan antaraku dengan Dia.”

Orang saleh tersebut kemudian berkata, “Tidak lama setelah itu, aku menyaksikannya sedang bertawaf keliling Ka’bah setelah bertobat, dan ketika ia melihat diriku, segera ia berkata, ‘Alhamdulillah, puasaku pada waktu itu telah membuatku ‘berdamai’ kembali dengan Tuhanku.”

Jelaslah bahwa seorang hamba Allah hendaknya selalu dalam keadaan kebaikan yang murni dan ketaatan yang penuh. Namun, apabila ia tak mampu melakukannya disebabkan dorongan nafsunya yang menghalanginya atau bahkan menjerumuskannya ke dalam suatu kejahatan dan kemaksiatan, hendaknya ia tetap bergantung dan berpegang erat-erat dengan apa saja ketaatan kepada Allah yang dapat dikerjakannya, sejauh kemampuannya. Sungguh Allah adalah sebaik-baik Penolong Yang Maha Terpuji.*/Al-‘Allamah ‘Abdullah Al-Haddaddari bukunya Meraih Kebahagiaan Sejati-Jalan Hidup Para Nabi dan Orang Suci

 

HIDAYATULLAH