Larangan Merasa Paling Benar dalam Beragama

Larangan Merasa Paling Benar dalam Beragama

Merasa paling benar dalam beragama bisa jadi diakibatkan dari ceramaha Ustaz yang menggunakan kemajuan teknologi sebagai fasilitas berdakwah.  Ajaran Islam yang dulunya dipelajari melalui sumber dari khazanah kitab-kitab ulama masa lampau dengan bimbingan para kiai sekarang telah mulai digantikan oleh video-video ceramah para ustaz dan mubalig di media sosial. Persoalannya yaitu tidak semua ustaz dan mubalig memiliki kapasitas keilmuan agama sebagaimana para ulama-ulama produk pesantren.

Bahkan, tidak hanya pada persoalan kapasitas keilmuan, banyak juga ustad dan mubalig yang justru menampilkan akhlak yang tidak baik. Mengajak untuk saling membenci dengan menyerang kelompok lain yang berbeda hingga mengatakan sesuatu yang tidak layak diucapkan oleh seorang mubalig. Sehingga kebiasaan saling menyalahkan, mengkafirkan dan merasa dirinya yang lebih benar terjadi di dunia maya dan terbawa hingga ke dunia nyata.

Hal ini semestinya tidak boleh terjadi. Karena para ulama telah bersepakat untuk berhati-hati dan mawas diri agar tidak terjebak untuk mudah menyalahkan orang lain bahkan mengkafirkan dan merasa benar sendiri. Bahkan imam Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai tokoh sentral Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang mengkafirkan sesama umat Islam. meskipun mereka telah melakukan dosa besar. Ia mengajak untuk beragama dengan tanpa mengkafirkan sesama ahlul qiblat.

وَ نَدِيْنُ بِأَنْ لاَ نُكَفِّرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ يَرْتَكِبُهُ كَالزِّنَا وَ السِّرْقَةِ وَ شَرِبَ الْخَمْرَ

Artinya:

Kita beragama dengan tidak mengkafirkan seseorang yang termasuk ahli qiblat (muslim) karena dosa yang ia lakukan seperti zina, mencuri dan meminum khamr

Jika seorang muslim yang melakukan dosa besar saja tidak boleh dikafirkan apalagi dalam urusan-urusan yang bersifat profan. Seperti perbedaan pandangan politik, tafsir atas pemahaman keagamaan, hal-hal yang mencakup urusan furu’iyyah, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk saling menyalahkan dan merasa dirinya paling benar atau merasa “paling islami” dibanding dengan yang lain.

Sahabat Ali bin Abi Thalib yang memiliki keistimewaan sebagai kunci gerbang kota ilmu (ana madinatul ‘ilmi wa ‘aliyu mafatihuhu) mengajarkan supaya terhindar dari sikap merasa benar sendiri dalam beragama.

Caranya yaitu seorang muslim harus menjadi manusia terbaik di hadapan Allah, menjadi manusia terburuk di hadapan dirinya sendiri dan menjadi orang biasa di hadapan manusia.

كُنْ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرَ النَّاسِ وَ كُنْ عِنْدَ النَّفسِ شَرَّ النَّاسِ وَ كُنْ عِنْدَ النَّاسِ رَجُلاً مِنَ النَّاسِ

Artinya:

jadilah sebaik-baik manusia di sisi Allah, seburuk-buruk manusia di hadapan dirimu dan jadilah orang (biasa) di hadapan manusia

Dengan menjadi orang biasa pada umumnya manusia di komunitas sosialnya serta merasa menjadi manusia terburuk, seseorang akan terjaga dari kesombongan yang menyebabkan merasa benar sendiri.

Hal ini yang sering dilupakan oleh umat Islam dewasa ini. Mereka menganggap seakan-akan diri mereka lebih baik dari yang lain. Sehingga menutup kemungkinan datangnya kebenaran dari orang lain.

Secara praktis, Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebagaimana dikutip Imam Nawawi dalam kitab Nasaihul Ibad memberikan panduan yang jelas dalam berinteraksi dalam kehidupan sosial.

اِذَا لَقِيْتَ اَحَدًا مِنَ النَّاسِ رَأَيْتَ الْفَضْلَ لَهُ عَلَيْكَ وَتَقُوْلُ عَسَي اَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ اللهِ خَيْرًا مِنِّيْ واَرْفَعُ دَرَجَةً فَاِنْ كَانَ صَغِيْرًا قُلْتَ هَذَا لَمْ يَعْصِ اللهَ وَاَنَا قَدْ عَصَيْتُ فَلَا شَكَّ اَنَّهُ خَيْرٌ مِنِّيْ، وَاِنْ كَانَ كَبِيْرًا قُلْتَ هَذَا قَدْ عَبَدَ اللهَ قَبْلِيْ، وَاِنْ كَانَ عَالِمًا قُلْتَ هَذَا اُعْطِيَ مَالَمْ اَبْلُغْ وَنَالَ مَالَمْ اَنَلْ وَعَلِمَ مَا جَهِلْتُ وَهُوَ يَعْلَمُ بِعِلْمِهِ، وَاِنْ كَانَ جَاهِلًا قُلْتَ هَذَا عَصَي اللهَ بِجَهْلٍ وَاَنَا عَصَيْتُهُ بِعِلْمٍ وَلَا اَدْرِيْ بِمَ يُخْتَمُ لِيْ اَوْ بِمَا يُخْتَمُ لَهُ، وَاِنْ كَانَ كَافِرًا قُلْتَ لَا اَدْرِيْ عَسَي اَنْ يَسْلِمَ فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ الْعَمَلِ وَعَسَي اَنْ اَكْفُرَ فَيُخْتَمُ لِيْ بِسُوْءِ الْعَمَلِ

Artinya:

jika engkau bertemu seseorang maka anggaplah ia lebih utama darimu dan engkau berkata mungkin saja di sisi Allah ia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dariku. Jika ia lebih kecil engkau berkata orang ini belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku sungguh telah berbuat maksiat maka tidak ada keraguan bahwa dia lebih baik dariku.

Jika ia lebih tua engkau berkata orang ini telah beribadah kepada Allah sebelumku, jika ia seorang yang alim engkau berkata orang ini telah diberi sesuatu yang tidak aku terima, ia memperoleh apa yang aku tidak peroleh, ia mengetahui apa yang aku tidak tahu dania mengetahui dengan ilmunya.

Jika ia seorang yang bodoh engkau berkata orang ini telah bermaksiat kepada Allah sebab kebodohannya sedangkan aku telah bermaksiat kepada Allah karena ilmu aku tidak mengetahui bagaimana akhir hidupku atau hidupnya.

Jika ia seorang kafir engkau berkata aku tidak mengetahui mungkin kelak dia menjadi seorang muslim kemudian hidupnya diakhiri dengan amal yang baik sedangkan mungkin aku kelak menjadi kafir kemudian hidupku berakhir dengan amal buruk

Para ulama telah mengajarkan bagaimana sikap kita dalam beragama. Akhlak adalah inti dari misi kenabian. Maka sangat bertolak belakang jika sikap sombong, merasa paling benar menjadi model beragama kita.

Kerendahan hati, mengakui kekurangan, dan terus berusaha menjadi terbaik adalah cara beragama yang diajarkan oleh para pewaris nabi. Semoga kita semua dijauhkan dari sifat merasa yang paling benar di antara yang lain. Amin.

BINCANG SYARIAH