Maafkan Aku Ya Ramadhan

Ramadhan telah tiba. Kita selalu menantinya karena bulan ini amat istimewa. Berkah bertabur setiap harinya. Waktu demi waktunya menawarkan harapan tak terperikan.

Sepanjang siang dan malamnya terdapat pembebasan dari api neraka dan doa yang akan dikabulkan. Belum lagi ada Lailatul Qadar, malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Pada malam itu maghfirah turun melimpah dan pahala amal dilipatgandakan tercurah ruah.

Kita lantas menyambutnya dengan ucapan yang terus berulang: “Marhaban Ya Ramadhan”. Bahkan, jauh hari sebelumnya kita pun memanjatkan doa: “Ya Allah pertemukanlah aku dengan Ramadhan. Jadikan amal ibadahku pada bulan ini diterima di sisi-Mu.”

Namun, benarkah kita sungguh siap menyambut Ramadhan? Nyatanya, setiap kali ia hadir terkadang kita masih ribet dengan urusan sana-sini. Sibuk dengan berbagai rutinitas seolah tiada beda dengan bulan-bulan yang lain. Ribut dengan sesama sampai lupa bahwa kita perlu berjeda. Sampai titik ini, kita sesungguhnya mengucapkan, “Maafkan aku Ya Ramadhan. Aku tak sempat menyambutmu.”

Kalaupun ada penyesuaian kegiatan bernuansa Ramadhan, tetap saja miskin dari orientasi ukhrawi. Silaturahim rajin dilaksanakan lebih demi menjaga relasi. Buka puasa bersama digelar untuk ajang berbincang duniawi. Shalat Tarawih hanya dijalankan dalam bilangan hari. Selebihnya, tenggelam dalam hiruk pikuk menyongsong Idul Fitri.

Begitu Ramadhan pergi, tak kunjung tampak perbaikan diri. Lagi-lagi, terpaksa keluar kata, “Maafkan aku wahai Ramadhan. Kehadiranmu tak kusadari.”

Padahal, Ramadhan adalah momentum terbaik untuk memperbaiki diri. Allah SWT mewajibkan kaum beriman untuk berpuasa agar mereka dapat berubah jadi lebih baik. Tersirat dari makna surah al-Baqarah 183-186, setidaknya ada tiga kinerja kaum beriman yang dapat dicapai melalui puasa. Yaitu, menjadi orang yang bertakwa, hidup penuh rasa syukur, dan tetap setia dalam kebenaran.

Ramadhan adalah bulan introspeksi. Saat tepat untuk mengevaluasi perjalanan hidup selama 11 bulan yang dijalani. Marilah kita mulai hal itu dengan sederet pertanyaan. Sudahkah kita beragama dengan baik dan benar? Baik dalam arti menjadikan agama sebagai jalan meniti kebaikan serta menabur kebajikan. Benar dalam arti tidak menyimpang dari sumber-sumber pokok ajaran agama. Atau kita menyelewengkan simbol agama untuk tujuan tak mulia?

Sepanjang tahun, esensi agama—yakni memanusiakan manusia—mungkin sering kita lupakan. Maka, pada momen ini kita kembali bertanya pada diri sendiri. Apakah dalam menjalankan ajaran Islam, kita telah benar-benar dalam rangka menebarkan rahmat bagi alam semesta?

Apakah kita telah dan akan terus berupaya melindungi dan menjaga harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan sesama kita dalam beragama? Ataukah dalam berislam, kita justru telah merendahkan atau bahkan meniadakan sisi-sisi kemanusiaan kita sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan sampai mana kita mampu kembali ke jati diri kemanusiaan yang suci. Sejauh mana kita mampu meneladani Sang Nabi, sosok paling manusiawi di muka bumi.

Ramadhan kali ini kita memang perlu lebih banyak bertanya agar tak salah langkah dalam berpuasa. Puasa kita bakal sia-sia jika hanya menahan mulut dari makan dan minum semata. Puasa harus pula mencegah diri dari perbuatan maksiat dan perkataan hina. Sembari membersihkan diri, marilah kita hindari informasi hoaks, kebohongan, fitnah, caci maki, provokasi, dan sejenisnya yang dapat menodai kemuliaan bulan suci.

Sebaliknya, marilah kita memperkuat iman disertai kesadaran tentang makna kemanusiaan. Marilah merajut kembali persaudaraan dan persahabatan agar sadar bahwa kita tidak sendirian hidup di dunia. Semoga dengan cara ini, dosa-dosa kita diampuni dan negeri ini diberkahi.

Selamat bermuhasabah dan beribadah di bulan yang penuh maghfirah. Jangan sampai ketika ia telanjur pergi, kita lagi-lagi tak sanggup membendung kata, “Maafkan aku Ya Ramadhan”.

 

Oleh: Lukman Hakim Saifuddin,

Menteri Agama RI

 

REPUBLIKA