Madzhab al-Ghazali?

Madzhab al-Ghazali?

Penting untuk dipahami, bahwa aqidah Imam Asy’ari itu sama dengan aqidah Imam Syafi’i, bahkan dengan aqidah generasi Salaf dari sahabat Rasulullah ﷺ

IMAM ABU HAMID, Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali adalah sosok ulama hebat. Imam al-Haramain, guru al-Ghazali, memberinya gelar Bahrun Mughriq (Lautan yang menenggelamkan). Ulama di zamannya sepakat memberikan gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam).

Dalam disiplin ilmu apapun, nama al-Ghazali selalu muncul, disebut, bahkan dijadikan rujukan. Seakan-akan al-Ghazali itu bukan satu orang, tapi kumpulan sosok hebat dalam satu diri. Wajar jika Syeikh Musthafa al-Maraghi menyebut al-Ghazali sebagai Ensiklopedia pada masanya.

Bukan hanya di dunia Islam, nama al-Ghazali juga dikenal luas di luar Islam. Banyak ilmuwan Barat yang membaca karya-karyanya, mengkaji pemikirannya, bahkan terpengaruh dengan pandangan-pandangannya. Singkatnya, al-Ghazali memang ulama besar kelas dunia, bukan orang awam seperti kita.

Uniknya, dengan keilmuan yang luas itu, al-Ghazali ternyata seorang ulama Syafi’i Asy’ari. Maksudnya, dalam bidang fiqih, al-Ghazali mengikuti Madzhab Syafi’i.

Sedangkan dalam aqidah mengikuti madzhab Asy’ari. Bukti bahwa al-Ghazali itu ulama bermadzhab Syafi’i bisa dilihat setidaknya dari dua alasan.

Pertama, al-Ghazali telah menulis sejumlah kitab fiqih dalam Madzhab Syafi’i. Sebut saja al-Basith, al-Wasith, al-Khulashah dan al-Wajiz. Kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam sanad fiqih Madzhab Syafi’i.

Karya-karya fiqih al-Ghazali ini sangat mempengaruhi ulama berikutnya seperti Imam Nawawi, Imam Rofi’i, Ibn Hajar, al-Romli dan ulama lainnya. Ada yang membuat ringkasan (mukhtashar), komentar (syarah), catatan pinggir (hasyiyah) dan sebagainya. Begitu juga karya al-Ghazali dalam bidang ushul fiqih seperti al-Mankhul dan al-Mushtashfa yang mendapat pengakuan tinggi di kalangan ulama.

Kedua, atas sumbangan ilmiahnya itu, para ulama memasukkan al-Ghazali dalam kelompok ulama Madzhab Syafi’i (Thabaqat al-Syafi’iyyah). Kedudukan al-Ghazali di dalam Madzhab Syafi’i ini bukan ulama biasa, tapi mencapai derajat mufti bahkan mujtahid.

Imam dalam bidang Hadits, al-Hafizh Hibatullah Ibn al-Najjar menyatakan bahwa al-Ghazali adalah imam para fuqaha’ secara mutlak, seorang rabbani umat, dan mujtahid pada masanya. Bahkan Imam Muhammad ibn Yahya al-Nisaburi, menyebut al-Ghazali sebagai Imam Syafi’i kedua (al-Syafi’i al-Tsani).

Adapun dalam bidang aqidah, bukti bahwa al-Ghazali seorang Asy’ari juga bisa dilihat dari dua alasan. Pertama, al-Ghazali juga menulis sejumlah karya di bidang aqidah seperti al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Qawaid al-Aqaid, dan sebagainya. Bahkan di sebagian kitab tasawufnya, seperti Ihya’ ‘Ulumiddin, al-Arba’in fi Ushuliddin, juga menyentuh pembahasan aqidah.

Apalagi al-Ghazali juga menulis karya dalam bidang logika (mantiq) seperti dalam kitab Mi’yar al-‘Ilmi, Mihakk al-Nazhar, dan di bagian awal kitab al-Mushtahsfa. Bagi para pengkaji yang jeli, maka akan nampak bahwa dalam masalah aqidah, al-Ghazali mengikuti kerangka pemikiran Madzhab Asy’ari. Cara berargumen yang memadukan argumen naqli dan aqli khas Madzhab Asy’ari tampak dalam karya-karya al-Ghazali.

Kedua, berdasarkan karya-karya itu, para ulama juga memasukkan al-Ghazali sebagai ulama Madzhab Asy’ari. Para ulama dan sejarawan Muslim tanpa ragu menyebut al-Ghazali sebagai ulama pelanjut dan pembela Madzhab Asy’ari.

Sebut saja Ibn Asakir, Ibn Khaldun, dan sebagainya. Memang ada sebagian yang menyangka bahwa al-Ghazali kemudian meninggalkan Madzhab Asy’ari dan mengikuti Madzhab Salaf sebagaimana pandangannya dalam kitab Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.

Padahal, jika dibaca dengan teliti, justru al-Ghazali mempertegas metodologi madzhab Asy’ari dalam kitabnya itu, tentang kesucian Allah SWT dari sifat-sifat makhluk-Nya. Di kitab itu juga al-Ghazali masih menggunakan metodologi ta’wil di beberapa pandangannya sebagaimana dalam Madzhab Asy’ari.

Dari fakta ini mungkin muncul beberapa pertanyaan. Mengapa sampai hari ini kita tidak mendengar madzhab al-Ghazali dalam bidang fiqih atau bidang aqidah?

Lalu, mengapa al-Ghazali mengikuti madzhab yang berbeda dalam dua bidang itu? Mengapa tidak mengikuti madzhab fiqih dan aqidah Syafi’i saja? Atau mengapa tidak mengikuti madzhab fiqih dan aqidah Asy’ari sekalian? Lalu bagaimana memahami beberapa pertanyaan ini? Melalui tulisan singkat ini, saya coba berbagi pandangan secara sederhana.

Madzhab al-Ghazali

Tentang madzhab, baik fiqh atau aqidah, untuk mengambil kesimpulan langsung dari al-Qur’an dan Sunnah itu bukan perkara mudah. Syaratnya banyak dan ketat, baik syarat intelektual maupun syarat moral.

Ini penting dipahami, agar tidak semua orang gegabah mendakwa ijtihad. Orang yang berilmu pun tidak otomatis bisa berijtihad langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, apalagi orang awam.

Imam al-Ghazali adalah ulama yang sangat beradab. Dengan ketinggian ilmunya, al-Ghazali tetap tahu diri. Meski diakui sebagai seorang mujtahid, namun al-Ghazali tetap mengakui otoritas keilmuan yang lebih tinggi.

Ijtihad dan mujtahid itu tidak sama levelnya. Dalam disiplin ilmu fiqh misalnya, ada mujtahid mutlak/mustaqill, ada mujtahid muntasib, mujtahid muqayyad, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa dan sebagainya.

Imam yang empat seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah mujtahid mutlak / mustaqill. Keempat ulama ini adalah ulama yang telah mencapai level mampu menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan teori ushul yang mereka rumuskan sendiri.

Tidak semua ulama mampu mencapai derajat ini. Bahkan murid langsung keempat imam madzhab ini pun tidak otomatis menjadi mujtahid seperti mereka. Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan, al-Buwaithi, al-Muzani, adalah mujtahid. Namun level ijtihad mereka masih di bawah level ijtihad keempat imam madzhab itu.

Begitu juga dengan al-Ghazali yang ijtihadnya masih merujuk kepada ushul yang dirumuskan Imam Syafi’i dalam bidang fiqih, dan kepada Imam Asy’ari dalam bidang aqidah. Adapun adanya perbedaan furu’ dalam bidang fiqih maupun aqidah diantara al-Ghazali dengan pendiri madzhabnya, itu adalah hal yang biasa terjadi dalam bermadzhab.

Pembahasan ini bisa dikaji dalam bidang ushul fiqih dan ushuludin secara lebih jauh. Silakan mengaji lagi kedua disiplin ilmu yang penting itu kepada para guru yang ahli.

Selanjutnya, mengapa al-Ghazali mengikuti madzhab fiqih Syafi’i dan aqidah Asy’ari? Belakangan, pertanyaan semacam ini muncul di tengah masyarakat. Bukan khusus untuk al-Ghazali, tapi ditujukan kepada umat Islam secara luas.

Bahkan pertanyaan ini kadang diikuti pertanyaan berikutnya. Apakah aqidah Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari itu sama atau beda? Kalau sama, mengapa tidak mengikuti aqidah Syafi’i juga? Kalau beda, aqidah siapa yang benar? Aqidah Imam Syafi’i atau aqidah Imam Asy’ari?

Akhirnya, berbagai pertanyaan ini ditutup dengan pernyataan, “Kalau aqidah Imam Syafi’i benar, maka ikuti itu saja, tidak perlu mengikuti Madzhab Asy’ari”. Begitu kira-kira gambarannya.

Saya tidak tahu apa motif di balik deretan pertanyaan ini. Apakah si penanya itu tidak pernah mendengar tentang Madzhab Asy’ari? Atau dia tidak memahami ajaran aqidah Madzhab Asy’ari? Atau memang dia alergi terhadap madzhab aqidah Asy’ari?

Lalu, apakah benar dia kemudian mengaji aqidah madzhab Imam Syafi’i? Kalau benar, kitab apa diantara karya Imam Syafi’i yang jadi rujukannya? Atau jangan-jangan dia hanya berkata mengikuti aqidah Imam Syafi’i, padahal yang dipelajari dan diajarkan justru kitab dari ulama lain? Bukan kitab imam Syafi’i juga bukan kitab ulama salaf yang lain.

Sebenarnya, jika mau jujur, pertanyaan ini bisa ditujukan ke ulama madzhab lain dan disiplin ilmu yang lain. Misalnya, mengapa ada ulama bermadzhab fiqih Maliki tapi bermadzhab aqidah Asy’ari juga? Atau ulama bermadzhab fiqih Hanafi tapi bermadzhab aqidah Maturidi?

Mengapa juga dalam bidang qiro’at tidak mengikuti Madzhab Syafi’i sekalian? Atau bidang hadits dan sebagainya? Apakah qiro’at Imam Syafi’i salah? Apakah hadits riwayat Imam Syafi’i lemah atau palsu?

Coba bayangkan apa akibatnya jika pertanyaan semacam ini dilanjutkan? Sepertinya, pertanyaan semacam ini malah menimbulkan kekacauan berpikir.

Penting untuk dipahami, bahwa aqidah Imam Asy’ari itu sama dengan aqidah Imam Syafi’i, bahkan dengan aqidah generasi Salaf dari sahabat Rasulullah ﷺ. Menurut Imam Tajuddin al-Subki, Imam al-Asy’ari sebenarnya bukan membuat pandangan baru atau madzhab baru.

Beliau itu menegaskan kembali keyakinan madzhab Salaf dan mempertahankan aqidah sahabat Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, menurut Ibn Asakir dan al-Subki, madzhab aqidah yang yang dirumuskan kembali oleh Imam Asy’ari ini diterima luas oleh kalangan fuqoha dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan tokoh ulama Hambali.

Bahkan menurut Imam al-Baihaqi, madzhab aqidah Asy’ari ini mendukung pandangan ulama terdahulu seperti  Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam-imam ahli Hadits seperti Imam Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, banyak ulama lintas madzhab fiqih ini mengikuti madzhab Asy’ari dalam aqidah. Sebagian lagi mengikuti madzhab Maturidi.

Diantara ulama fiqih Syafi’i yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ari adalah, Imam al-Daruqutni, Imam al-Baihaqi, al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi, Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dan lain-lain. Diantara ulama madzhab Maliki yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ari ada Imam al-Hafizh al-Qadhi Abu Bakr Ibn al-Arabi, al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, al-Qadhi ‘Iyadh al- Andalusi.

Dari madzhab Hambali yang mengikuti aqidah Asy’ari ada al-Hafizh Ibn al-Jauzi. Sedangkan dari madzhab Hanafi, kebanyakan bermadzhab aqidah Maturidi.

Jadi, tentang mengikuti madzhab fiqih yang berbeda dengan madzhab aqidah itu bukan hal aneh. Dengan demikian, tidak aneh jika al-Ghazali bermadzhab fiqih Syafi’i dan bermadzhab aqidah Asy’ari.

Justru yang aneh itu mempertanyakannya di hari ini. Padahal para ulama sejak dulu sudah memahami dan mengamalkannya.

Ini karena memang dalam beragama itu kita harus merujuk kepada otoritas ilmu. Ini bukan berarti imam Syafi’i tidak memiliki otoritas ilmu aqidah, tapi kebanyakan karya beliau memang di bidang fiqih dan ushul fiqh. Maka beliau lebih dikenal sebagai Imam dalam bidang fiqih dan ushulnya.

Begitu juga Imam Asy’ari bukan berarti tidak memiliki ilmu di bidang fiqih, hanya karya beliau banyak membahas masalah aqidah. Akhirnya jadilah dirinya rujukan utama di bidang aqidah.

Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah

Lalu, apakah wajib mengikuti Madzhab Asy’ari? Tentu saja tidak wajib. Ada madzhab lain yang juga termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Imam al-Safarini al-Hanbali, dalam kitabnya Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah, (1/73) Ahlussunnah itu ada tiga golongan. Atsariyyah dengan pemimpinnya adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Asy’ariyyah yang dipimpin oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dipimpin oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Ketiga madzhab ini mewakili madzhab Ahlussunnah dalam bidang aqidah. Madzhab yang menjaga aqidah umat dari berbagai penyimpangan dan bid’ah pemikiran. Madzhab yang menjawab segala syubhat yang dilemparkan, khususnya terkait masalah ketuhanan, agar umat selamat dari pemahaman tasybih, tajsim, ta’thil dan berbagai kekeliruan lainnya.

Hanya saja, pengikut Madzhab Atsariyyah kemudian banyak yang bergabung ke Madzhab Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Jadi, Madzhab Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang kini lebih dikenal mewakili madzhab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dengan demikian, tidak salah dan bukan masalah jika sejak dulu sampai hari ini ada ulama yang bermadzhab fiqih Syafi’i atau Maliki tapi bermadzhab aqidah Asy’ari. Ada juga yang bermadzhab fiqih Hanafi tapi bermadzhab aqidah Maturidi.

Ini karena mengikuti sosok otoritatif dalam madzhab itu merupakan tradisi ilmu para ulama sejak beradab-abad yang lalu. Justru yang aneh itu jika mengaji dan mengajar fiqih Madzhab Syafi’i tapi bukan untuk diamalkan. Malah seringnya mengkritisi dan berkomentar miring tentang Madzhab Syafi’i.

Muncul pandangan yang memberi kesan seakan-akan fiqih Syafi’i tidak sesuai dalil yang shahih atau dalilnya lemah, lalu akhirnya ditinggalkan. Ada juga pandangan yang mencela orang yang mengikuti madzhab Syafi’i.

Menurutnya, kita tidak wajib mengikuti madzhab, tapi wajib mengikuti dalil, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Ada juga yang tampak ingin menggiring opini umat agar mengikuti Madzhab Syafi’i dalam semua bidang keilmuan. Termasuk dalam masalah aqidah. Ini secara tidak langsung mengajak orang meninggalkan madzhab aqidah Asy’ari sebagai bagian dari madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah.

Lebih konyol lagi jika ada yang berpendapat bahwa madzhab aqidah Asy’ariyyah itu sesat dan bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Padahal, dalam Majmu’ Fatawa, (4/16) Ibn Taimiyyah menyatakan;

“Siapa yang melaknat ulama Asy’ariyyah, maka dia dita’zir. Dan laknatan dia (atas ulama Asy’ariyyah) kembali kepada dirinya sendiri. Siapa yang melaknat orang yang tidak layak dilaknat, maka ia akan terkena laknatnya sendiri. Para ulama itu penjaga perkara-perkara furu’ (cabang) dalam agama. Para ulama Asy’ariyyah itu penjaga perkara-perkara ushul (pokok) dalam agama.”

Lagipula, jika madzhab aqidah Asy’ari itu dianggap sesat, maka para ulama pengikutnya juga otomatis sesat. Kalau mereka sesat, lalu siapakah ulama yang lurus dan selamat? Apakah kita tega memvonis ulama shaleh itu sebagai orang-orang sesat?

Kembali kepada Imam al-Ghazali. Dari sosok Hujjatul Islam ini kita bisa belajar adab. Dengan ketinggian ilmu yang ada padanya, al-Ghazali tetap bersikap rendah hati. Dia mengakui otoritas ulama pendahulunya yang lebih layak untuk diikuti. Tidak mendabik dada dengan sombongnya sambil berkata “Saya berlepas diri dari Madzhab Syafi’i dan Asy’ari. Sekarang saya deklarasikan madzhab sendiri, Madzhab al-Ghazali.” Tidak sama sekali. Padahal, mungkin banyak orang memandang al-Ghazali layak membangun madzhab sendiri. Namun Sang Hujjatul Islam ini sangat tahu diri untuk tetap masuk ke dalam barisan para ulama yang ahli.

Dalam bidang fiqih, al-Ghazali adalah ulama Syafi’i. Dalam bidang aqidah al-Ghazali adalah ulama Asy’ari.

Meski demikian, al-Ghazali tetaplah seorang ulama yang memiliki pandangan ilmiah dan sikap yang beradab. Sang Hujjatul Islam ini bukanlah seorang yang bertaqlid buta kepada Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari.

Dalam beberapa perkara furu’ fiqih bisa jadi ada perbedaan pandangan antara al-Ghazali dengan imam Syafi’i. Dengan istilah lain, Imam al-Ghazali itu bermadzhab secara ikhtiyari bukan idhthirari.

Maksudnya, al-Ghazali menjadi ulama Syafi’i karena ada kesamaan dalam ijtihadnya. Begitu juga dalam masalah furu’ aqidah sangat wajar jika al-Ghazali berbeda pandangan dengan imam Asy’ari. Dalam ranah ilmiah, perbedaan furu’ semacam ini ini bukanlah hal tabu dan tercela, tapi menunjukkan keluasan ilmu para ulama itu.

Sebagai penutup tulisan, mari bandingkan dengan kita yang hidup di zaman ini. Adakah yang ilmunya melebihi al-Ghazali? Atau menyamainya? Bahkan mendekati level keilmuannya? Tidak! Tidak akan ada!

Jadi, kalau al-Ghazali saja tidak membuat madzhab sendiri dalam kedua bidang itu, pantaskah kita yang awam ini berlagak seperti mujtahid? Layakkah kita yang buta bahasa Arab ingin merujuk langsung al-Qur’an dan Sunnah dalam masalah fiqih dan aqidah?

Silakan dijawab masing-masing tanpa perlu menunjuk kepada orang lain. Mudah-mudahan kita bisa memahami kedudukan al-Ghazali dalam madzhab yang ada dalam Islam. Lalu kita semakin beradab kepada para ulama yang telah menjaga peradaban Islam, sehingga kita bisa memahami dan mengamalkan Islam secara lurus, luas dan luwes. Wallahu a’lam bi al-shawab.*

Oleh: Dr Muhammad Ardiansyah, Mudir Ponpes at-Taqwa Depok

HIDAYATULLAH