Manhajus Salikin: Pembatal Shalat

Apa saja pembatal shalat yang dibahas dalam kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di.

# Fikih Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di

Kitab Shalat

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya Manhajus Salikin,

تَبْطُلُ الصَّلاَةُ :

-1بِتَرْكِ رُكْنٍ أَوْشَرْطٍ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ عَمْدًا أَوْسَهْوًا أَوْجَهْلاً

-2وَبِتَرْكِ وَاجِبٍ عَمْدًا

-3وَبِالكَلاَمِ عَمْدًا

-4وَبِالقَهْقَهَةِ

-5وَبِالحَرَكَةِ الكَثِيْرَةِ عُرْفًا المُتَوَالِيَةِ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ

لِأَنَّهُ فِي الأُوَلِ تَرَكَ مَا لاَ تَتِمُّ العِبَادَةُ إِلاَّ بِهِ وَبِالأَخِيْرَاتِ فَعَلَ مَايُنْهَى عَنْهُ فِيْهَا

“Shalat itu batal karena:

  1. dengan meninggalkan rukun atau syarat padahal ia mampu melakukannya; meninggalkan di sini dengan sengaja, lupa, atau tidak tahu.
  2. meninggalkan wajib shalat secara sengaja,
  3. berbicara dengan sengaja,
  4. tertawa (dengan keluar suara),
  5. bergerak banyak dalam shalat secara ‘urf (anggapan orang) disebut banyak, dilakukan berturut-turut, dan bukan darurat.

Dua yang pertama jadi pembatal karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengannya. Sedangkan tiga berikutnya dianggap membatalkan shalat karena melakukan yang dilarang di dalam shalat.”

Shalat batal berarti belum gugur kewajiban

Bab kali ini menjelaskan tentang pembatal dan hal yang dimakruhkan, di mana tidak disyariatkan sujud sahwi karena tidak ada dalil akan hal itu. Shalat yang rusak (batal) berarti shalat tersebut belum melepas kewajiban, ia dituntut melakukan shalat tersebut kembali, baik dalam bentuk adaa-an (kerjakan shalat pada waktunya) maupun qadha-an (kerjakan shalat di luar waktunya). Sedangkan makruh berarti sesuatu yang diperintahkan untuk ditinggalkan dengan larangan tidak tegas.

Kaedah meninggalkan syarat, rukun, dan wajib shalat

  1. Jika seseorang meninggalkan syarat, rukun, atau wajib shalat dengan sengaja padahal mampu melakukannya, maka shalatnya tidaklah sah.
  2. Jika meninggalkan syarat, rukun dalam keadaan tidak tahu atau lupa, maka wajib dilakukan kembali lalu melakukan sujud sahwi.
  3. Jika meninggalkan wajib shalat dalam keadaan tidak tahu atau lupa, maka ditambal dengan sujud sahwi.
  4. Jika meninggalkan syarat atau rukun shalat karena tidak mampu, maka tidak ada kewajiban apa pun sebagai pengganti.

Kaedah meninggalkan perintah dan melakukan larangan karena lupa

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).

Peringatan!

Orang yang tidak tahu tidak ada udzur, kalau ia lakukan kesalahan untuk shalat saat ini, maka ia mengulangi shalat yang saat itu saja. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang jelek shalatnya (yaitu Khalad bin Raafi’, cerita hadits ini ada dalam hadits Abu Hurairah dan hadits Rifa’ah bin Raafi’). Adapun shalat yang dulu-dulu tidak perlu diulangi. Karena beban hukum ada ketika telah sampainya ilmu. Lihat Ghayah Al-Muqtashidin, 1:286.

Ada kaedah dari Ibnu Taimiyah yang berbunyi,

أَنَّ الْحُكْمَ لَا يَثْبُتُ إلَّا مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الْعِلْمِ

“Hukum tidaklah ditetapkan kecuali setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 19:226).

Dalil kaedah ini adalah firman Allah,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al Isra’: 15).

Kenapa sampai meninggalkan syarat, rukun, dan wajib shalat membatalkan shalat?

Dalam Ghayah Al-Muqtashidin (1:286) disebutkan bahwa hal ini dikarenakan meninggalkan sesuatu yang shalat tidaklah sempurna kecuali dengannya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)

Masih berlanjut pembahasan tentang pembatal shalat insya Allah.

Referensi:

  1. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Syarh Manhaj AsSalikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23840-manhajus-salikin-pembatal-shalat.html