Marah Pertanda Tunduknya Kita kepada Setan

KEMARAHAN selalu didefinisikan sebagai ekspresi menuruti hawa nafsu, penuh emosi dan lambang tunduknya kita pada setan. Hal ini tidaklah keliru bila merujuk pada perbuatan tercela yang mengikutinya dan alasan apa yang mendasarinya.

Bila kemarahan semata-mata untuk membela diri dan menjatuhkan orang lain, inilah yang disebut dengan marah yang tercela. Namun, bila kita mampu meluruskan niat kita, membuang kotoran jiwa, keinginan dunia dan makhluk. Kemarahan tercela tersebut mampu bergeser menuju kemarahan yang terpuji.

Kemarahan yang terpuji adalah kemarahan yang menjadikan Allah Ta’ala sebagai alasan. Kemarahan yang muncul karena melihat kemunkaran dan kemaksiatan yang merajalela. Kemarahan yang ditujukan untuk membela agama yang haq, bukan sekadar membela dirinya atau golongannya. Dan sungguh, Tuhanlah Dzat yang paling mengetahui murni tidaknya niat seorang hamba. Semoga kita tidak termasuk hamba yang berteriak lantang seolah membela agama Allah, padahal sebenarnya jiwa dan hatinya mengeras karena karat kemunafikan.

Takkan ada dua hati dalam satu rongga dada. Begitu pula takkan ada ketulusan dan kemunafikan yang bersemayam dalam satu tindakan. Kenalilah jiwa amarah kita, apakah ia terpuji ataukah tercela? Apakah ia karena Allah atau hanya nafsu semata? Percayalah, tiada ketentraman kecuali berdua bersama-Nya, tiada kedamaian kecuali dekat dengan-Nya dan tiada pengobat kerinduan selain pemenuhan ketaatan pada-Nya.

Adapun ketaatan itu pula yang mampu menambah kadar keimanan kita di sisi Allah, dan akan berkurang dengan kemaksiatan pada-Nya. Maka semoga kita mampu mengendalikan amarah kita dengan tetap bersabar menghadapi orang-orang yang buruk perangainya dan bodoh pikirannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

“Dan jika orang-orang jahil mencela mereka, mereka berkata, ‘Salam. (selamat)'”(QS Al-Furqan [25]: 63)

Akan tetapi, jika mereka mendurhakai Allah Ta’ala, kita tidak boleh hanya berdiam diri saja. Pada saat seperti inilah diharapkan bahwa kemarahan kita dengan cara berbicara pada mereka menjelma menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Bukankah kewajiban kita untuk menegakkan syi’ar syi’ar Islam dan berjuang dalam amar ma’ruf nahi munkar? Semoga Allah mengokohkan pijakan kita di atas kebenaran.

Akhirul kalam, silahkan marah, asal tetap terpuji.

INILAH MOZAIK