Matan Taqrib: Utang itu Boleh Dipindahkan (Hawalah), Bagaimana Caranya?

Orang yang berutang bisa saja memindahkan utangnya kepada pihak lain di mana pihak lain punya kewajiban padanya. Hal ini disebut dengan hawalah. Lihat penjelasannya dari matan Taqrib berikut ini.

Hukum Hawalah (Pemindahan Utang)

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

وَشَرَائِطُ الحَوَالَةِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ : رِضَاءُ الُمِحْيِل وَ قَبُوْلُ المُحْتَالِ وَكَوْنُ الحَقِّ مُسْتَقَرّاً فِي الذِّمَّةِ وَإِتِّفَاقُ مَا فِي ذِمَّةِ المُحِيْلِ وَالمُحَالِ عَلَيْهِ فِي الجِنْسِ وَالنَّوْعِ وَالحُلُوْلِ وَالتَّأْجِيْلِ وَتَبْرَأُ بِهَا ذِمَّةُ المُحِيْلِ.

Syarat hawalah itu ada empat yaitu:

  1. Rida dari muhiil (orang yang berutang dan ingin mengalihkan utangnya)
  2. Muhtaal (orang yang berutang pada muhiil) menerima.
  3. Utang yang dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan.
  4. Adanya kesamaan utang antara muhil dan muhaal ‘alaih (orang yang menerima pengalihan utang dari muhil) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya, dan waktu pembayarannya.

Dengan hawalah, tanggungan utang muhiil dianggap selesai.

Penjelasan:

Hawalah secara bahasa berarti memindahkan.

Hawalah dalam istilah syari berarti akad yang berkonsekuensi memindahkan utang dari satu pihak ke pihak yang lain.

Catatan:

  • Hawalah disebutkan setelah ash-shulhu karena antara hawalah dan ash-shulhu bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan.
  • Hawalah ini adalah bentuk pengecualian dari jual beli utang dengan utang karena butuhnya syariat akan hal ini.

Dalil mengenai pemindahan utang adalah,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ » .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penundaan (pembayaran utang dari) seorang yang kaya adalah sebuah kezaliman. Jika salah seorang dari kalian dipindahkan kepada seorang yang kaya, maka ikutilah.” (HR. Bukhari, no. 2288 dan Muslim, no. 1564)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin mengatakan makna hadits “Penundaan (pembayaran utang dari) seorang yang kaya adalah sebuah kezaliman”, yaitu seseorang enggan melunasi utang yang menjadi kewajibannya, padahal ia kaya dan mampu untuk melunasi. Ini adalah suatu bentuk kezaliman karena enggan menunaikan kewajiban. Karena setiap orang wajib melunasi utangnya dengan segera ketika ia punya kemampuan. Jangan sampai dalam keadaan mampu, malah menunda-nunda melunasi. Karena menunda melunasi utang dalam keadaan mampu, itu termasuk kezaliman. Wal ‘iyadzu billah.

Di kitab yang sama, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan yang diolah bahasanya sebagai berikut:

“Siapa yang memindahkan utang kepada orang yang mampu, maka ikutilah. Misalnya, Ahmad berutang kepada Zaid sebesar 100 riyal. Ahmad berkata kepada Zaid, “Saya akan meminta ‘Amr sebesar 100 riyal untuk melunasi utangku padamu. ’Amr akan melunasi utangku padamu sebesar 100 riyal.” Zaid dalam hal ini harus menerima karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Jika salah seorang dari kalian dipindahkan kepada seorang yang kaya, maka ikutilah”, kecuali ‘Amr (sebagai muhal ‘alaih) adalah orang fakir atau biasa enggan bayar utang atau dekat kepada seseorang sehingga sulit diadukan kepada hakim. Demikian diambil dari Islamweb.net.

Rukun hawalah:

  1. Muhiil: yang memindahkan utang kepada yang lain, dalam kasus di atas adalah Ahmad. Muhiildisyaratkan adalah orang yang dibolehkan melakukan akad (ahlan lil ‘aqdi).
  2. Muhtaal: yang berutang kepada muhiil, dalam kasus di atas adalah ‘Amr. Muhtaal disyaratkan adalah orang yang dibolehkan melakukan akad (ahlan lil ‘aqdi).
  3. Muhaal ‘alaih: yang menerima pengalihan utang kepada muhtaal dari muhiil, dalam kasus di atas adalah Zaid. Muhaal ‘alaih disyaratkan adalah baligh dan berakal.
  4. Muhaal bihi: utang yang ada pada muhtaal (‘Amr), harus dilunasi pada muhiil (Ahmad). Utang itu akan dilunasi pada muhaal ‘alaih.
  5. Dain lil muhiil: Adanya utang muhiil (Ahmad) yang harus dilunasi oleh muhtaal (‘Amr).
  6. Shighah: ada ucapan sebagaimana syarat dalam jual beli.

Syarat hawalah itu ada lima yaitu:

  1. Rida dari muhiil (orang yang berutang dan ingin mengalihkan utangnya)
  2. Muhtaal (orang yang berutang pada muhiil) menerima.
  3. Utang yang dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan.
  4. Adanya kesamaan utang antara muhiil dan muhaal ‘alaih (orang yang menerima pengalihan utang dari muhil) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya, dan waktu pembayarannya. Kesamaan ini mesti ada agar tidak terjadi sesuatu yang berlebih, sehingga jadi utang yang memperoleh manfaat, jatuhnya pada riba.
  5. Utang itu diketahui jumlah dan sifat.

Catatan: Muhaal ‘alaih (dalam kasus di atas adalah Zaid) tidak dipersyaratkan ia harus qabul (menerima) dalam hal hawalah, cukup qabul dari si muhtaal (‘Amr).

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
  • Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
  • Fatwa dari Islamweb, https://www.islamweb.net/ar/fatwa/317074/

Diselesaikan pada 27 Safar 1444 H, 24 September 2022

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/34690-matan-taqrib-utang-itu-boleh-dipindahkan-hawalah-bagaimana-caranya.html