Melestarikan Nilai Keislaman dengan Pawai Ta’aruf Muharam

Pawai ta’aruf menyambut Tahun Baru Islam oleh warga Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dilaksanakan di tengah-tengah guyuran hujan lebat sepanjang Sabtu (1/10) siang. Namun, hujan tak sedikitpun membuat warga desa dan para peserta beranjak untuk rehat dari  pawai ini. Meski harus berbasah-basah, agenda budaya dan religi menyambut tahun 1438 Hijriyah ini tetap berjalan hingga purna.

Walaupun kostum Walisongo (Sembilan Wali) serta berbagai atribut mereka basah, para peserta tetap bersemangat mengikuti pawai ini. “Hujan bukan penghalang, buktinya tetap meriah,” ungkap Aripin (16 tahun), salah seorang peserta yang mengenakan kostum Walisongo ini.

Dalam pawai ta’aruf ini, para peserta mengusung berbagai atribut seperti replika Kabah, replika Alquran, replika masjid, umbul-umbul dan lainnya. Kostum yang dikenakan pun beragam dan semarak dengan warna.

Ikut memeriahkan pawai ta’aruf ini adalah penampilan berbagai kesenian tradisional yang hidup dan dilestarikan oleh warga di wilayah Kecamatan Suruh, parade drumblek hingga kesenaian rebana. Tak ketinggalan berbagai hasil bumi dari desa ini.

Ketua Panitia Pawai Ta’aruf Busyairi mengakui, hujan memang mengganggu jalannya pawai ta’aruf. Kondisi ini menyebabkan waktu pelaksanaannya harus molor. Namun, di tengah guyuran hujan lebat ini, warga tetap bersemangat mengikuti.

Demikian pula dengan warga yang ikut menyaksikan kemeriahan pawai ta’aruf ini. Hingga mereka tetap bertahan di tengah guyuran hujan. “Ini menandakan warga pun juga antusias dengan agenda kai ini,” katanya.

Dikatakan Busyairi, Desa Jatirejo merupakan salah satu potensi wisata religi yang belum tergarap di Kabupaten Semarang. Di desa ini tersimpan bukti sejarah yang berkaitan langsung dengan Sunan Kalijaga, salah satu penyebar Islam di tanah Jawa.

Dia  menyebut Bale Panjang, di kompleks pemakaman sesepuh desa yang dulu pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga. Selain itu juga tersimpan wajan berukuran besar serta tombak yang diyakini juga merupakan peninggalan Sunan Kalijaga.

Termasuk makam Sunan Jati, salah satu pengikut Sunan Kalijaga yang melaksanakan syiar dan menetap di desa ini. “Peninggalan wajan berukuran besar serta tombak ini masih tersimpan aman di masjid Jatirejo,” ungkap Busyairi.

Perihal, jejak dan bukti peninggalan Sunan Kalijaga ini diamini oleh Hadzik, salah satu keturunan Sunan Jati. Bahkan, tombak yang tersimpan ini masih digunakan sebagai tongkat khatib pada setiap pelaksanaan shalat Jumat di masjid ini.

Selain pawai ta’aruf, dalam menyambut Tahun baru Hijriyah ini warga Desa Jatirejo juga menggelar acara haul yang dilaksanakan pada malam menjelang pergantian tahun di lokasi Bale Panjang. “Ini untuk memperingati wafatnya Sunan Jati,” katanya.

Busyairi mengatakan, di desanya juga hidup sebuah kesenian yang konon juga merupakan warisan dari masa Sunan Kalijaga dan Sunan Jati. Kesenian yang bernafaskan religi  ini bernama ‘Kuntulan’.

Dia mengakui, di desanya tak banyak warga yang mempertahankan kesenian ini. Sehingga bisa dikatakan hampir punah. “Makanya, untuk melestarikannya kita tampilkan dalam pawai ta’aruf kali ini,” katanya.

Seni Kuntulan ini, sejatinya merupakan perpaduan dari seni (gerak) tari dengan kesenaian rebana. Para penarinya mengenakan pakaian putih dengan hiasan rumbai- rumbai warna warni, memakai peci dan kacamata hitam serta membawa kipas.

Saat menari, mereka diiringi rebana dengan syair- syair Jawa serta shalawat. Jika disimak, syair- syair Jawa tersebut merupakan petuah hidup yang sarat dengan nilai- nilai keislaman.

Sedangkan momentum tahun baru Islam dipilih sebagai saran mempererat silaturahim antar-warga. “Sekaligus mengingatkan umat Muslim agar senantiasa merefleksi lembaran hidupnya dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang lebih baik,” tutur Busyairi.

 

sumber: Repulika Online