Memakmurkan Masjid di Tengah Wabah Covid-19

Setelah WHO menyatakan wabah virus Corona (Covid 19) telah menjadi pandemi, dan memperhatikan desakan dari berbagai pakar dan kelompok dengan makin massifnya wabah di tengah masyarakat, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan keadaan darurat Covid 19.

Masyarakat diminta untuk tinggal di rumah (stay at home) dan menjaga jarak dalam berinteraksi (physical/social distancing). Dalam pada itu keluar pula fatwa MUI bahwa untuk kawasan atau daerah yang terpapar wabah Covid 19, demi menghindari meluasnya penularan wabah, maka ummat Islam diminta untuk tidak menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Shalat Jum’at diganti dengan shalat dzuhur di rumah.

Beberapa pemerintah daerah menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat dan fatwa MUI tersebut dengan membuat surat edaran yang isinya meminta kepada pengurus masjid dan masyarakat untuk tidak menyelenggarakan shalat jum’at dan dan shalat berjama’ah di masjid.

Pada umumnya surat edaran tersebut memohon kiranya shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid ditiadakan selama dua pekan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masa inkubasi Covid 19 adalah 14 hari. Maka untuk memutus mata rantai penyebaran wabah Covid 19 harus dilakukan social distancing di masjid selama dua pekan.

Tapi sampai saat ini, ketika himbauan dan fatwa MUI tersebut telah berlalu tiga pekan, ummat Islam belum juga kembali shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid. Sudah 3 kali shalat Jum’at tidak diselenggarakan di masjid. Tentu dengan pengecualian beberapa masjid yang pengurus dan masyarakat sekitarnya sepakat untuk “tidak taat” pada fatwa tersebut.

Dapat diduga bahwa untuk hari jum’at depan dan beberapa waktu kedepan tetap tidak akan diselenggarakan shalat jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Apalagi grafik wabah covid semakin menanjak. Pemerintah telah menetapkan Darurat Bencana Covid 19 sampai 29 Mei 2020.

Jika “darurat tidak shalat di Masjid” tersebut tetap mengikuti darurat covid 19 yang telah ditetapkan pemerintah , maka bukan saja masjid akan kosong dari shalat jum’at dan shalat lima berjama’ah, tapi juga bulan Ramadhan tahun ini –yang sebentar lagi akan tiba– akan dilalui ummat Islam dengan “hambar” tanpa shalat tarawih. Dan juga tanpa shalat Idul Fitri.

Secara fiqih tentu tidak salah menetapkan pelarangan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di Masjid. Banyak dalil yang bisa jadi rujukan. Ulama-ulama kita tentu telah mendalami berbagai dalil agama dan argumentasi ilmiyah untuk kemudian menetapkan fatwa. Karena itu fatwa yang sama juga dikeluarkan oleh hampir semua lembaga fatwa di negaranegara muslim.

Tapi sebagaimana dalam tradisi fiqih, adanya pandangan yang berbeda adalah suatu hal yang biasa. Maka jika ada saudara-saudara kita yang memilih tetap menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid dapat pula diberi ruang pemakluman dalam konteks ini.

Menurut penulis, ada “jalan tengah” yang sesungguhnya dapat dilakukan untuk kembali ke Masjid di tengah wabah Covid 19 ini. Masjid tidak perlu terlalu lama kosong tidak ditempati shalat. Kita tidak harus pasrah menunggu sampai musim wabah Covid 19 lewat kemudian kembali shalat di masjid.

Dengan sedikit perjuangan atau mujahadah maka dalam waktu dua pekan kemudian kita sudah bisa kembali memakmurkan masjid. Dan ini berarti kita pun akan menjalani Ramadhan tahun ini tetap bersama dengan keberkahan shalat tarawih sebagaimana biasanya.

Program ini dilakukan dengan kerjasama antara pengurus Masjid dan pemerintah pada level bawah, yaitu ketua RT atau RW. Mereka bekerjasama mendata dan memastikan masyarakat sekitar Masjid untuk mesterilkan diri dari Covid 19 dengan cara stay at home selama 14 hari, dan untuk hari-hari selanjutnya tetap menjaga physical/sosial distancing.

Ini tentu memerlukan kejujuran dan komitmen kuat dari semua warga. Kalau perlu diperketat hanya untuk mereka yang memang sudah terbiasa atau rutin shalat berjama’ah dimasjid.

Semakin kecil suatu Masjid, apalagi Mushalla, semakin mudah melakukan program ini. Masjid dalam lingkungan pesantren dan kompleks perumahan dapat melakukan ini dengan baik. Mungkin program ini agak sulit dilakukan untuk Masjid Raya atau masjid-masjid besar. Saya kira itu tidak masalah.

Yang jelas jika program ini menjadi kesadaran umum ummat Islam dan dapat berjalan dengan baik, maka sebagian besar masjid dan ummat Islam dapat kembali memakmurkan Masjid dengan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid. Dan tidak kalah pentingnya adalah ummat dapat memenuhi “panggilan spiritual” shalat tarawih dengan perasaan aman.*

Oleh: Abd. Aziz Mudzakkar

*Penulis adalah Pengasuh Ponpes Hidayatullah Makassar.

HIDAYATULLAH