Memandang Hari-Hari di Dunia

Engkau Hanyalah Kumpulan Hari

Hari demi hari dijalani, berbagai fase terlewati. Fase dalam kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, berkeluarga, dan akhirnya menua. Kita ada di salah satu fase tersebut. Sudah cukup lama kita menjalani hari, dan betapa banyak yang sering kaget sendiri ketika mengingat-ingat waktu yang telah dilewatinya. Memandang umurnya sudah sudah cukup tua dan tak tahu akan sampai kapan kakinya masih bisa menapak. Kumpulan hari-hari dalam kehidupannya selalu berkurang seiring berlalunya waktu. Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan,

ابن آدم إنما أنت أيام كلما ذهب يوم ذهب بعضك

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.” (Hilyatul Awliya’, 2: 148)

Begitu pula Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Rabi’ah menasihati Sufyan Ats-Tsauri,

إنما أنت أيام معدودة، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك، ويوشك إذا ذهب البعض أن يذهب الكل وأنت تعلم، فاعمل.

“Sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dirimu juga akan hilang. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, lalu hilanglah seluruh dirimu, sedangkan Engkau mengetahuinya. Oleh karena itu, beramallah.” (Shifatush Shofwah, 2: 245)

Singkatnya Dunia

Allah Ta’ala memberikan permisalan kehidupan dunia,

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِه نَبَاتُ الْاَرْضِ فَاَصْبَحَ هَشِيْمًا تَذْرُوْهُ الرِّيٰحُ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا – ٤٥

“Dan buatkanlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air hujan yang Kami turunkan dari langit, menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu mengering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45)

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa permisalan kehidupan dunia ini bagaikan hujan yang turun ke bumi, membuat subur tumbuhan, membuat tumbuhan tersebut berbunga dan membuat senang orang-orang yang melihatnya. Saat mereka lalai dengan keindahannya, tiba-tiba jadilah tumbuhan itu kering dan diterbangkan oleh angin. Maka hilanglah tumbuhan dan bunga yang bermekaran indah tersebut, tersisalah tanah yang kering.

Itulah dunia, pengejar dunia sungguh terkagum dengan pencapaiannya, mengumpulkan dirham dan dinar, memetik kelezatan dunia, menceburkan diri dalam syahwat di hari-harinya. Saat dia menikmati kenikmatan tersebut hingga ia mengira bahwa dirinya akan tetap terus seperti itu, tiba-tiba maut datang menjemput atau hartanya hilang. Pergilah kesenangannya, lenyaplah kelezatan dan kebahagiaannya. Tinggallah dia bersama amal baik atau amal buruknya. Ketika itu, orang yang zalim akan menggigit jarinya karena menyadari hakikat keadaan dirinya. Dia berangan-angan bisa kembali ke dunia, bukan untuk kembali melanjutkan memuaskan hawa nafsunya, akan tetapi untuk menebus kelalaiannya di masa lalu dengan taubat dan amal shalih. (Tafsir As Sa’di, 1: 478).

Betapa banyak yang terbuai dengan indahnya dunia hingga lupa akhiratnya, padahal kenikmatan di dunia itu sangatlah singkat, Allah Ta’ala permisalkan seperti  singkatnya  tetumbuhan hijau yang akan segera mengering. Allah Ta’ala menceritakan tentang singkatnya dunia yang dirasakan di saat hari berbangkit,

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوٓا۟ إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَىٰهَا

“Pada hari ketika mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (QS. An-Nazi’at: 46)

Imam Hasan Al Bashri  rahimahullaahu  mempermisalkan singkatnya dunia dengan seseorang yang sedang tidur dan bermimpi indah,

مَا الدُّنْيَا كُلُّهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا إِلَّا كَرَجُلٍ نَامَ نَوْمَةً رأى فِي مَنَامِهِ مَا يُحِبُّ ثُمَّ انْتَبَهَ

“Tidaklah gambaran kehidupan dunia seluruhnya dari awal sampai akhirnya, kecuali seperti seorang yang tidur, dia melihat dalam tidurnya apa yang dia senangi, kemudian dia tersadar bangun.” (Al-mujalasah wa jawahirul ‘ilmi, 5: 227)

Perjalanan Itu Masih Panjang

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yang bisa melampui umur tersebut (HR. Ibnu Hibban no. 2980. Syaikh Al-Albani mengatakan: hasan shahih, Syaikh Syu’aib Al Arnaut mengatakan: isnadnya hasan)

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa umur kita di dunia sekitar 60 hingga 70 tahun. Waktu yang sangat pendek apabila dibandingkan dengan perjalanan setelah mati nanti. Setelah kematian, manusia masih melewati masa di alam barzakh yang kita belum tahu berapa lama masing-masing kita berada di alam tersebut. Bisa jadi jarak antara kematian kita dengan hari kiamat nanti masih sangatlah lama. Setelah kita dibangkitkan dari kubur, kita masih akan melewati perjalanan lagi. Hari-hari di padang Mahsyar bisa terasa sangat lama.

Allah Ta’ala berfirman,

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij: 4)

Ibnu Abi Hatim berkata, “Ahmad bin Sinan Al-Wasithiy menuturkan kepada kami, dia berkata: ‘Abdurrahman bin Mahdiy menuturkan kepada kami, dia berkata: dari Israil dari Simak dari ‘Ikrimah dari ‘Ibnu ‘Abbas: -dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun-, dia mengatakan: hari kiamat. Sanadnya shahih.

Ats Tsauri meriwayatkan dari Simak bin Harb, dari ‘Ikrimah: -dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun-, yakni hari kiamat. Ini merupakan perkataan Adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid. ‘Ali bin Abi Thalhah berkata: dari Ibnu ‘Abbas dalam perkataannya: -Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun- , dia mengatakan: ini adalah hari kiamat, Allah  Ta’ala menjadikan sehari setara dengan lima puluh ribu tahun bagi orang-orang kafir.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8: 222)

Meskipun begitu singkatnya kehidupan di dunia, namun kehidupan di dunialah yang akan menjadi sebab penentu bahagia atau sengsaranya perjalanan panjang setelah kematian nanti. Karena pada hakikatnya, kita sedang mengumpulkan bekal di dunia ini untuk kehidupan abadi. Dunia adalah tempat persinggahan untuk mempersiapkan masa depan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَ تَرَكَهَا

Apa peduliku dengan dunia? Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2377, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Orang yang singgah untuk berteduh dan beristirahat tentu bersifat sementara. Setelah itu, dia akan melanjutkan perjalanan. Ada yang beristirahat secukupnya, namun juga ada yang terbuai dengan kenyamanan di tempat persinggahan sampai akhirnya waktunya habis. Setelah semua terlambat, barulah dia menyesal dan sadar bahwa dia akan menuju ke tempat perhentian perjalanan: surga atau neraka.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaahu berkata,

الناس منذ خلقوا لم يزالوا مسافرين, ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻬﻢ ﺣﻂٌّ ﻋﻦ ﺭِﺣﺎﻟﻬﻢ ﺇﻻَّ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨَّﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﻨﺎﺭ

“Manusia sejak diciptakan senantiasa menjadi musafir, batas akhir perhentian perjalanan mereka adalah surga atau neraka.” (Al-Fawaid, 1: 190)

Penulis: apt. Pridiyanto

Artikel Muslim.or.id