Memperbanyak Shalat Sunnah sebelum Datangnya Khatib Jum’at

Anjuran memperbanyak shalat sunnah ketika menunggu khatib Jum’at

Jika seseorang sudah hadir di masjid dalam rangka shalat Jum’at, yang dianjurkan adalah memperbanyak shalat sunnah tanpa dibatasi dengan bilangan raka’at tertentu. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju masjid, dia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya, lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum’at itu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Demikian pula dalam hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى الْمَسْجِدِ، لَا يُؤْذِي أَحَدًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْإِمَامَ خَرَجَ، صَلَّى مَا بَدَا لَهُ، وَإِنْ وَجَدَ الْإِمَامَ قَدْ خَرَجَ، جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ جُمُعَتَهُ وَكَلَامَهُ، إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي جُمُعَتِهِ تِلْكَ ذُنُوبُهُ كُلُّهَا، أَنْ تَكُونَ كَفَّارَةً لِلْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا

“Ketika seorang muslim mandi di hari Jum’at, kemudian berangkat ke masjid, lalu dia tidak menyakiti (mengganggu) seorang pun, jika dia menjumpai imam shalat Jum’at belum datang, dia pun shalat sebanyak yang dia mampu. Adapun jika dia melihat imam sudah datang, dia pun duduk, mendengarkan khutbah dan diam, sampai imam menyelesaikan shalat Jum’at dan khutbahnya, jika dia tidak diampuni pada hari Jum’at tersebut dosa-dosa dia seluruhnya, maka hal itu adalah penggugur dosa sampai hari Jum’at berikutnya.“ (HR. Ahmad 38: 547, Ibnu Khuzaimah 3: 138, Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir 4: 160-161, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib 1: 360)

Faidah-faidah dari hadits di atas

Hadits-hadits di atas mengandung beberapa faidah sebagai berikut:

Pertama, yang dianjurkan ketika seseorang sudah memasuki masjid dalam rangka shalat Jum’at adalah shalat sunnah sebanyak yang dia kehendaki (tidak dibatasi bilangan raka’at tertentu) sampai imam (khatib) shalat Jum’at tiba di masjid [1]. (Lihat Nailul Authar, 6: 335)

Status shalat sunnah ini adalah shalat sunnah muthlaq, bukan shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Shalat sunnah muthlaq adalah shalat yang dilakukan tanpa terikat dengan waktu tertentu, sebab tertentu, atau jumlah raka’at tertentu. [2] Hal ini karena shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qabliyyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, mayoritas ulama bersepakat bahwa sebelum shalat Jum’at tidak ada shalat sunnah yang dikaitkan dengan waktu tertentu atau dibatasi oleh bilangan raka’at tertentu. Hal ini karena ketentuan semacam itu harus ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan hal itu sama sekali tidak disyariatkan, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah madzhab Imam Malik, Asy-Syafi’i, mayoritas para shahabat, dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad … “ (Majmu’ Fataawa, 24: 189. Lihat pula pembahasan bagus dalam masalah ini dalam kitab Al-Ajwibah An-Naafi’ah karya Syaikh Al-Albani)

Adapun perbuatan sebagian orang, lebih-lebih di Masjidil Haram, berupa shalat dua rakaat atau empat rakaat yang langsung dikerjakan setelah adzan Jum’at yang pertama, dengan keyakinan bahwa shalat tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at sebagaimana ada shalat sunnah qabliyyah untuk shalat dzuhur, maka perbuatan tersebut tidak ada dalilnya.

Demikian pula, perbuatan tersebut tidak bisa dilandasi dengan dalil hadits,

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Terdapat shalat di antara dua adzan.” (HR. Bukhari no. 601 dan Muslim no. 838)

Karena yang dimaksud dengan “dua adzan” dalam hadits tersebut adalah adzan dan iqamat (iqamat juga bisa diistilahkan dengan adzan). Taruhlah bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah dua adzan, maka kita tidak menjumpai contoh praktik pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at kecuali adzan pertama dan iqamat. Sedangkan antara adzan dan iqamat adalah khutbah Jum’at, tidak ada shalat sunnah yang disyariatkan di antara keduanya di hari Jum’at. Sehingga tidak tepat menjadikan hadits di atas sebagai dalil adanya shalat sunnah qabliyyah Jum’at dengan menetapkan bilangan rakaat tertentu, baik dua atau empat rakaat.

Ibnul Haaj rahimahullah berkata,

“Manusia hendaknya dilarang dari apa yang mereka ada-adakan berupa shalat setelah adzan pertama untuk shalat Jum’at. Perbuatan ini menyelisihi contoh dari salafus shalih, karena mereka dulu terbagi dalam dua kelompok. Sebagian mereka mendirikan shalat sunnah ketika masuk masjid, dan terus-menerus shalat sampai imam (khatib) naik mimbar. Jika khatib sudah naik mimbar, mereka menghentikan shalat sunnah. Sebagian lagi, mereka shalat sunnah, lalu duduk (menunggu), sampai shalat Jum’at didirikan. Jadi, tidak ada lagi shalat sunnah yang dikerjakan setelah duduk (setelah mereka berhenti mengerjakan shalat sunnah, pent.), dan tidak ada duduk lagi (duduk kedua) setelah mengerjakan shalat sunnah (berikutnya). Perbuatan salaf tersebut berbeda dengan perbuatan orang jaman sekarang, dimana orang di jaman sekarang ini mereka duduk sampai muadzin mengumandangkan adzan pertama, kemudian mereka berdiri lagi untuk shalat sunnah (kemudian duduk lagi setelahnya, pent.) … “ (Al-Madkhal, 2: 239 karya Ibnul Haaj)

Kedua, shalat tersebut boleh dikerjakan di waktu kapan pun, karena di dalam hadits dikatakan,

ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ

“ … lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam … “

Dzahir (makna yang tertangkap) dari hadits di atas adalah bolehnya shalat sunnah di hari Jum’at tersebut sebelum zawal (bergesernya matahari ke arah barat). Ini adalah di antara kekhususan hari Jum’at tersebut, dikecualikan dari waktu larangan shalat, yaitu sejak matahari tepat di tengah-tengah sampai bergeser ke barat. Dalil pengecualian ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Maka dianjurkan shalat sunnah sebanyak yang dia mampu, tidak ada yang menghentikan shalat sunnah tersebut kecuali ketika imam (khatib) shalat Jum’at sudah tiba (di masjid). Oleh karena itu, banyak ulama salaf mengatakan, di antaranya ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang kemudian diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

خروج الإمام يمنع الصلاة وخطبته تمنع الكلام

“Keluarnya (datangnya) imam menghentikan shalat (sunnah), sedangkan khutbah imam menghentikan pembicaraan.”

Jadi, mereka jadikan yang menghentikan shalat (sunnah) adalah kedatangan imam di masjid, bukan pertengahan siang (ketika matarahari tepat di tengah-tengah).” (Zaadul Ma’aad, 1: 378) [3]

Adapun tata caranya, dikerjakan seperti shalat biasa (tidak ada tata cara khusus) dan dikerjakan dua rakaat salam – dua rakaat salam. [2]

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id