Menafakuri Makna Gerhana Bulan dan Tanda-Tanda Kiamat

Rabu malam kemarin (31/01/2018), dunia baru saja diperlihatkan salah satu kuasa Allah, gerhana bulan total atau super blue blood moon. Fenomena langka itu pun tidak dilewatkan rakyat Indonesia yang berbondong-bondong menyambut kedatangan gerhana yang terakhir kali terjadi pada 150 tahun silam tersebut. Namun, adakah makna dari gerhana bulan semalam?

Pada era digital sekarang, kita lebih sering menundukkan pandangan karena sibuk berselancar di dunia maya via ponsel pintar. Gerhana malam itu setidaknya membuat kita mengadahkan wajah ke langit untuk merenungan ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala yang maha indah. Umat Islam pun menyambut salah satu bukti ciptaan Allah tersebut dengan melaksanakan shalat sunnah Khusuf, bermunajat sembari bertobat.

Sejumlah masjid menggelar shalat khusuf atau shalat sunnah gerhana. Shalat sunah gerhana berjamaah ini dilaksanakan untuk mengagumi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala.

Sangat disayangkan bila peristiwa luar biasa yang 153 tahun sekali terjadi itu dilewatkan dan shalat sunah GBT berjamaah merupakan wujud syukur manusia sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Gerhana Bulan Total tersebut, diawali dan diakhiri oleh Gerhana Bulan Penumbra dan Gerhana Bulan Sebagian. Kepala Pusat Studi Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, DIY, Yudhiakto Pramudya, mengatakan Gerhana Bulan Penumbra mulai terjadi pada tanggal 31 Januari 2018 pukul 17.51 WIB. “Pada saat tersebut, tidak tampak banyak perubahan pada warna bulan yang terlihat,” ujarnya, Rabu (31/1).

Bulan akan mulai tampak ada perubahan warna pada saat memasuki fase Gerhana Bulan Sebagian yaitu pada pukul 18.48 WIB. Perlahan, lanjut dia, warna merah akan mendominasi piringan Bulan sampai saat pukul 19.52 WIB. Pada saat tersebut, bulan memasuki fase Gerhana Bulan Total.

Keadaan ini berlangsung sekitar satu jam yaitu berakhir pada pukul 21.08 WIB. Setelah fase Gerhana Bulan Total berakhir, warna kemerahan berangsur hilang. Fase ini adalah Gerhana Bulan Sebagian. Bulan akan kembali memasuki fase Gerhana Bulan Penumbra pada pukul 22.11 WIB. Dan fase gerhana berakhir pada pukul 23.08 WIB.

“Sehingga secara keseluruhan, kita akan menikmati gerhana selama lebih dari lima jam,” kata pria yang juga merupakan anggota Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah ini.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, gerhana semalam adalah fenomena langka. “Dengan gerhana bulan yang diikuti supermoon, bluemoon dan bloodmoon. Seratus lima puluh tahun itu sangat lama, bahkan usia manusia tidak sampai segitu,” kata Dwikorita di kantornya, Jakarta, Rabu (31/1).

Dia mengatakan supermoon adalah penampakan bulan penuh dengan tingkat lebih terang dan besar dari biasanya karena posisi bulan dan bumi sangat dekat. Pada waktu yang sama, kata dia, purnama dan gerhana akan tampak lebih besar dari biasanya. Selanjutnya soal bluemoon, mantan rektor Universitas Gadjah Mada itu mengatakan istilah bulan biru itu merujuk pada fenomena terjadinya gerhana dua kali dalam bulan yang saja, yaitu pada Januari. Gerhana tersebut terjadi pada awal dan akhir Januari.

Kemudian, kata dia, istilah bloodmoon itu merujuk pada penampakan bulan yang cenderung berwarna merah. Warna merah darah itu terjadi saat bulan memasuki area bayangan bumi di bagian umbra atau ketika gerhana bulan total memasuki fase puncaknya. Dia mengatakan gerhana bulan total itu umumnya membuat penampakan bulan di langit gelap sepenuhnya. Akan tetapi, fenomena bulan pada Rabu petang saat gerhana bulan total itu akan berwarna merah dan itu jarang terjadi.

Tanda-Tanda Kiamat

Selain fenomena alam, gerhana juga disebut sebagai salah satu makin dekatnya hari akhir atau kiamat. Dalam buku yang merupakan salah satu karya terbesar ulama salaf terkemuka, Imam Al-Qurthubi, berjudul At-Tadzkiratu fi ahwal al-mawta wa ahwal al-akhirah yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti Antara lain, penerbit Akbar dengan judul Rahasia Kematian, Alam Akhirat, & Kiamat, menjabarkan tentang tanda-tanda kiamat dan perjalanan di akhirta. Seperti Tentang shirat (jembatan), syafaat, surga, neraka, Imam Mahdi, Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj, turunnya Nabi Isa, 10 tanda yang akan terjadi menjelang kiamat, tanda-tanda kiamat terjadi setelah 200 tahun, dan keluarnya binatang melata.

Berkaitan dengan 10 tanda yang akan terjadi menjelang kiamat, penulis mengutip sejumlah hadis. Antara lain, yang diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa ia bercerita, “Kami sedang duduk-duduk di bawah naungan sebuah tembok di Madinah. Sementara Rasulullah, berada di dalam kamar. Beliau menengok kami dan bertanya, ‘Sedang apa kalian duduk-duduk di situ?’ Kami menjawab, ‘Sedang berbincang-bincang.’ Beliau bertanya, ‘Tentang apa?’ Kami menjawab, ‘Tentang kiamat.’

Beliau bersabda, ‘Kiamat tidak akan tiba sebelum kalian melihat 10 tandanya. Pertama-tama ialah matahari terbit dari barat, kabut, Dajjal, binatang melata, lalu tiga peristiwa gerhana bulan (yakni gerhana yang terjadi di sebelah timur, gerhana yang terjadi di sebelah barat, dan gerhana yang terjadi di semenanjung Arab). Lalu, datangnya Isa, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, dan terakhir ialah munculnya api dari Yaman di sebuah jurang ‘Aden. Siapa pun yang berada di belakangnya, ia akan digiring ke padang mahsyar.”

Namun, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof Dr Thomas Djamaluddin menyatakan gerhana bukan sebuah tanda bahwa kiamat sudah dekat, tetapi murni fenomena alam yang bisa dikaji secara ilmiah. “Gerhana adalah fenomena alam, bukan tanda kiamat sudah dekat dan bahkan fenomena alam seperti ini juga disebutkan dalam Alquran,” kata Thomas Djamaluddin di Pangkalanbaru.

Thomas mengemukakan itu menjawab pertanyaan apakah fenomena alam itu bertanda bumi sudah tua dan kiamat sudah dekat. “Kalau umur bumi sekarang 4,5 miliar tahun, ini tergolong muda dari planet lain dan tidak ada hubungan atau keterkaitan dengan kiamat sudah dekat,” ujar Thomas seraya mengatakan edukasi tentang gerhana perlu disampaikan secara benar untuk menghindari anggapan mitos.

Sepanjang sejarah, gerhana bulan atau matahari memang telah melahirkan banyak mitos. Namun, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisikan (BMKG) Stasiun Jambi, Nurangesti Widyastuti meminta gerhana tidak dikaitkan dengan hal-hal mistik karena gerhana bulan supermoon(bulan super besar) adalah fenomena astronomi. “Jangan dikaitkan kejadian itu dengan hal-hal mistik dan klenik karena itu merupakan fenomena astronomi yang bisa terjadi,” katanya di Jambi.

Dalam merespons gerhana, Islam memberikan ajaran yang jelas dan multidimensi, yaitu spiritualisasi, saintifikasi, sekaligus demitologisasi, kata Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ dalam tulisannya berjudul ‘Gerhana: Spiritualisasi dan Saintifikasi’ di Republika.co.id.

Pada masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam masih hidup, gerhana matahari pernah terjadi sebanyak tiga kali, sedangkan gerhana bulan terjadi lima kali. Dalam konteks ini, Nabi shallallahu alaihi wasallam mensyariatkan pelaksanaan salat gerhana sebagai bentuk spiritualisasi. Artinya, peristiwa gerhana dimaknai sebagai sarana dan media untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala melalui ibadah shalat khusuf.

Demitologisasi terhadap peristiwa gerhana sangat penting dilakukan agar umat beragama memiliki pemikiran kritis, ilmiah, dan modern, sehingga tidak terjebak dalam minda negatif yang penuh dengan unsur takhayul dan khurafat, musuh kemajuan sains dan teknologi.

Demitologi yang ditegaskan Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut mengharuskan umat Islam melakukan saintifikasi terhadap fenomena alam dengan melakukan observasi gerhana, riset, dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya astronomi.

Gerakan saintifikasi dan literasi merupakan elan vital dan roh kemajuan sains dan teknologi. Saintifikasi dalam sistem pendidikan Islam menghendaki keterbukaan minda dan pemikiran dengan menjadikan alam semesta sebagai ‘laboratorium besar’, untuk riset dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Gerhana sebagai salah satu ayat Allah yang ditunjukkan di alam raya ini tidak sekadar peristiwa alamiah, tetapi juga peristiwa ilmiah yang menarik diobservasi, dicermati, dan diteliti secara saintifik.

Anjuran shalat sunah gerhana yang diteladankan Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengandung pesan bahwa keagungan dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala berupa gerhana bulan, mengharuskan umat memiliki paradigma holistik integratif dalam memaknai ayat semesta.

Menurut ahli astronomi, Prof Thomas Djamaluddin, masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah mengenal kalender Qamariyah. Namun, belum ada konsistensi karena bisa disesuaikan dengan musim atau kepentingan penguasa, tulis Ali Akbar, Doktor Arkeologi lulusan Universitas Indonesia dalam tulisannya di Republika.co.id.

Nama-nama bulan ada yang terkait dengan musim. Ramadhan terkait dengan musim panas, sementara Rabiul Awal dan Akhir terkait musim semi. Penyesuaian dengan musim menyebabkan penambahan bulan (nasi’). Allah subhanahu wa ta’ala melalui Surat At-Tawbah (9):36-37 menghapus praktik nasi’ dan menegaskan jumlah bulan hanya 12.

Petunjuk dan aturan Allah subhanahu wa ta’ala itulah yg hendaknya dipakai ketika memahami satuan waktu dalam Alquran yang sekaligus menjadi acuan dalam beribadah. Cukup banyak ayat dalam Alquran perihal satuan waktu misalnya hari, bulan, dan tahun.

Al-Baqarah (2):183-185 antara lain menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Jika ada yang sakit atau dalam perjalanan, lalu berbuka, maka wajib berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.

Ustaz Abdul Somad pun sempat menjelaskan fenomena alam tersebut. Dalam satu ceramahnya di Youtube, Ustaz Somad mengatakan, dulu ketika putra Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, Ibrahim meninggal dunia, masyarakat saat itu menyimpulkan jika bulan bersedih karena anak Nabi Muhammad meninggal. Tetapi, kata Ustaz Somad, Nabi Muhammad marah.

“Siapa yang menegok bulan ketika sedang gerhana. Kenapa gerhana bulan? Karena anak Nabi meninggal, namanya Ibrahim umurnya 18 bulan. Lalu mereka mengatakan, tengoklah, bulan pun bersedih karena anak Nabi meninggal. Nabi marah dan berkata, bulan gerhana bukan karena ada yang mati atau ada yang hidup, tapi tanda-tanda kuasa Allah,” kata Ustaz Abdul Somad.

Karena itu, kata Ustaz Somad, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan shalat khusuf atau shalat gerhana ketika fenomena alam itu terjadi. “Di sebagian tradisi kalau bulan nampak gerhana, maka dipukullah sendok, mangkok, piring. Kenapa? karena bulan sedang dimakan ular naga. maka biar bulan dimuntahkan dipukul pukul. itu khurafat, dusta, bohong,” ucap dia.

 

Dikutip dari REPUBLIKA